Selasa, 12 Februari 2013

Mencari Format Baru Pemilukada


Mencari Format Baru Pemilukada
Miryam S Haryani ;   Anggota Komisi II DPR RI
SUARA KARYA, 11 Februari 2013



Harus diakui bahwa praktik pemilihan kepala daerah secara langsung (pemilukada) masih relatif baru dalam sejarah politik kita. Dahulu sebelum 2005 pemilukada diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Kewenangan untuk memilih tokoh yang dianggap layak untuk memimpin wilayahnya ada di tangan mereka. Kemudian terjadi perubahan setelah dikeluarkannya UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sejak itu, kepala daerah dan wakilnya dipilih secara langsung oleh rakyat. Sejak itu pula, terjadi hingar bingar politik baru di daerah, di samping penyelenggaran pemilu legislatif lima tahunan.

Dengan segala plus minusnya, seluruh kepala daerah di Indonesia dipilih melalui kontes demokrasi langsung tersebut. Untuk 2013 saja, akan terjadi 152 pemilukada, dengan perincian 12 provinsi, 67 kabupaten dan 24 kota (Kompas, 22 Januari 2013).

Memang, banyak optimisme mendukung praktik demokrasi ini, baik dari sisi teoritik maupun praktik kekuasaan. Namun, di balik penilaian optimis tersebut, muncul berbagai pandangan yang mempersoalkan pemilukada dari sisi praksisnya, karena keprihatinan terhadap akibat dari pengerahan massa antar pendukung yang bisa berujung pada konflik horizontal. Bila hal semacam ini muncul secara nasional, berakibat instabilitas politik.

Lantas untuk apalagi pemilukada kalau hasilnya tidak diterima masyarakat, bahkan menimbulkan hilangnya rasa aman di masyarakat? Dari sisi ekonomi, jelas pemilukada membutuhkan biaya yang jauh lebih besar dibandingkan pemilihan secara terbatas oleh anggota DPRD. Penyelenggara pemilukada, harus mengusahakan seoptimal mungkin agar kontes demokrasi langsung ini tidak terkendala oleh masalah keuangan. Artinya, dana APBD yang mestinya bisa digunakan untuk program lain yang secara langsung bermanfaat bagi warga, harus dibagi untuk kegiatan politik ini.

Selain itu, pemilukada telah melahirkan kompleksitas tersendiri dalam penyelenggaraan pemerintahan. Bila masa lalu, bentuk pertanggungan jawab kepala daerah dapat secara konkrit ditujukan kepada wakil rakyat tersebut disebabkan DPRD yang memilih kepala daerah. DPRD tentu dapat langsung menggugat kepala daerah yang tidak menunjukkan kinerja yang baik, bahkan sampai melengserkannya (impeachment). Sekarang, ketika berhadapan dengan DPRD maka kepala daerah dapat bersembunyi di balik suara rakyat yang memilihnya. Bahkan, terhadap pejabat negara siapa pun, termasuk Presiden RI. 
Akan tetapi, karena kita telah sepakat untuk memilih demokrasi sebagai sistem politik yang diharapkan dapat meneruskan proses state formation memelihara persatuan dan kesatuan, tinggal bagaimana memperbaiki kualitas demokrasi yang kita anut.

Untuk itu, perlu dipertimbangkan sejumlah saran. Pertama, para elite politik di daerah harus dapat melakukan rasionalisasi dan depersonalisasi kekuasaan. Sikap elite seperti ini perlu dibuktikan dengan cara memberi teladan dalam meraih kekuasaan, bagaimana kekuasaan dipergunakan, serta untuk apa kekuasaan diperebutkan. Prinsip kekuasaan hanya sekedar untuk kekuasaan itu sendiri harus mulai ditinggalkan jauh-jauh, dan digantikan dengan sebuah paradigma baru kekuasaan yang menekankan pentingnya legitimasi rakyat dan pemihakan kepada sumber legitimasi tersebut.

Kedua, tema dan cara kampanye para kandidat dalam menggalang dukungan, yang lebih mengutamakan mobilisasi suara dan popularitas seperti sekarang, mesti digantikan dengan kampanye dialogis, interaktif, yang mendukung proses pendidikan politik. Para pemimpin mesti dapat meyakinkan pendukungnya tentang bagaimana berpolitik secara benar, jauh dari kesan hura-hura dan pesta.

Ketiga, partai politik mesti bekerja lebih keras lagi untuk meningkatkan eksistensinya. Strategi ini akan mendongkrak citra partai di mata pemilih. Bila selama ini parpol lebih dikenal hanya sekedar kendaraan politik para kandidat pemimpin daerah, ke depan, sungguh-sungguh menjadi mesin politik yang bekerja secara optimal dalam memperjuangkan kader dan pilihannya. Sedangkan pragmatisme dalam berpartai sangat tidak menguntungkan citra lembaga demokrasi tersebut karena kinerja partai menjadi bersifat musiman.

Keempat, aturan perundangan dalam pemilukada khususnya dan penyelenggaraan pemerintahan pada umumnya mesti terus diperbaiki, mengikuti kompleksitas tantangan yang dihadapi. Dalam hubungannya dengan penyelenggaraan pemilukada, misalnya, mesti diusahakan agar tidak terlalu mengandalkan faktor uang di dalamnya. Aturan pemilukada harus memberi kesempatan seluas mungkin pada proses pemilihan yang mengutamakan kualitas kader ketimbang popularitas dan kemampuan ekonomi sang calon dan pemilukada mesti ditujukan untuk lebih memberdayakan daerah.

Kelima, seandainya pemerintah provinsi lebih mencerminkan fungsi dekonsentrasi ketimbang desentralisasi, maka terlalu mahal bila gubernur dan wakilnya dipilih melewati pemilukada seperti sekarang. Jika DPRD Provinsi masih diperlukan, mereka yang mesti memilih dan mengawasi pihak eksekutif. Dengan demikian, sebagian anggaran pemerintah yang mestinya dibelanjakan untuk pemilihan gubernur, dapat dimanfaatkan untuk keperluan yang langsung dirasakan masyarakat.

Keenam, dalam kaitannya dengan upaya penghematan, harus diupayakan praktik pemilukada yang lebih murah, tidak jor-joran seperti sekarang. Ketentuan mengenai dana dan cara kampanye, pada khususnya, mesti dirumuskan secara eksplisit dengan tujuan menghindari pemborosan dan pesta demokrasi yang tidak berurusan dengan peningkatan kualitas demokrasi. Bahkan, penerapan teknologi informasi disegerakan, secara bertahap harus diperkenalkan cara pemilu yang menggunakan elektronik (e-voting) akan sangat berarti dalam mengurangi pertemuan secara fisik di antara pemilih. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar