Harus diakui bahwa praktik
pemilihan kepala daerah secara langsung (pemilukada) masih relatif baru
dalam sejarah politik kita. Dahulu sebelum 2005 pemilukada diserahkan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Kewenangan untuk memilih
tokoh yang dianggap layak untuk memimpin wilayahnya ada di tangan mereka.
Kemudian terjadi perubahan setelah dikeluarkannya UU No 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Sejak itu, kepala daerah dan wakilnya dipilih
secara langsung oleh rakyat. Sejak itu pula, terjadi hingar bingar politik
baru di daerah, di samping penyelenggaran pemilu legislatif lima tahunan.
Dengan segala plus minusnya,
seluruh kepala daerah di Indonesia dipilih melalui kontes demokrasi
langsung tersebut. Untuk 2013 saja, akan terjadi 152 pemilukada, dengan
perincian 12 provinsi, 67 kabupaten dan 24 kota (Kompas, 22 Januari 2013).
Memang, banyak optimisme
mendukung praktik demokrasi ini, baik dari sisi teoritik maupun praktik
kekuasaan. Namun, di balik penilaian optimis tersebut, muncul berbagai
pandangan yang mempersoalkan pemilukada dari sisi praksisnya, karena
keprihatinan terhadap akibat dari pengerahan massa antar pendukung yang
bisa berujung pada konflik horizontal. Bila hal semacam ini muncul secara nasional,
berakibat instabilitas politik.
Lantas untuk apalagi
pemilukada kalau hasilnya tidak diterima masyarakat, bahkan menimbulkan
hilangnya rasa aman di masyarakat? Dari sisi ekonomi, jelas pemilukada
membutuhkan biaya yang jauh lebih besar dibandingkan pemilihan secara
terbatas oleh anggota DPRD. Penyelenggara pemilukada, harus mengusahakan
seoptimal mungkin agar kontes demokrasi langsung ini tidak terkendala oleh
masalah keuangan. Artinya, dana APBD yang mestinya bisa digunakan untuk
program lain yang secara langsung bermanfaat bagi warga, harus dibagi untuk
kegiatan politik ini.
Selain itu, pemilukada telah
melahirkan kompleksitas tersendiri dalam penyelenggaraan pemerintahan. Bila
masa lalu, bentuk pertanggungan jawab kepala daerah dapat secara konkrit
ditujukan kepada wakil rakyat tersebut disebabkan DPRD yang memilih kepala
daerah. DPRD tentu dapat langsung menggugat kepala daerah yang tidak
menunjukkan kinerja yang baik, bahkan sampai melengserkannya (impeachment).
Sekarang, ketika berhadapan dengan DPRD maka kepala daerah dapat
bersembunyi di balik suara rakyat yang memilihnya. Bahkan, terhadap pejabat
negara siapa pun, termasuk Presiden RI.
Akan tetapi, karena kita telah
sepakat untuk memilih demokrasi sebagai sistem politik yang diharapkan dapat
meneruskan proses state formation
memelihara persatuan dan kesatuan, tinggal bagaimana memperbaiki kualitas
demokrasi yang kita anut.
Untuk itu, perlu
dipertimbangkan sejumlah saran. Pertama, para elite politik di daerah harus
dapat melakukan rasionalisasi dan depersonalisasi kekuasaan. Sikap elite
seperti ini perlu dibuktikan dengan cara memberi teladan dalam meraih
kekuasaan, bagaimana kekuasaan dipergunakan, serta untuk apa kekuasaan
diperebutkan. Prinsip kekuasaan hanya sekedar untuk kekuasaan itu sendiri
harus mulai ditinggalkan jauh-jauh, dan digantikan dengan sebuah paradigma
baru kekuasaan yang menekankan pentingnya legitimasi rakyat dan pemihakan
kepada sumber legitimasi tersebut.
Kedua, tema dan cara kampanye
para kandidat dalam menggalang dukungan, yang lebih mengutamakan mobilisasi
suara dan popularitas seperti sekarang, mesti digantikan dengan kampanye
dialogis, interaktif, yang mendukung proses pendidikan politik. Para
pemimpin mesti dapat meyakinkan pendukungnya tentang bagaimana berpolitik secara
benar, jauh dari kesan hura-hura dan pesta.
Ketiga, partai politik mesti
bekerja lebih keras lagi untuk meningkatkan eksistensinya. Strategi ini
akan mendongkrak citra partai di mata pemilih. Bila selama ini parpol lebih
dikenal hanya sekedar kendaraan politik para kandidat pemimpin daerah, ke
depan, sungguh-sungguh menjadi mesin politik yang bekerja secara optimal
dalam memperjuangkan kader dan pilihannya. Sedangkan pragmatisme dalam
berpartai sangat tidak menguntungkan citra lembaga demokrasi tersebut
karena kinerja partai menjadi bersifat musiman.
Keempat, aturan perundangan
dalam pemilukada khususnya dan penyelenggaraan pemerintahan pada umumnya
mesti terus diperbaiki, mengikuti kompleksitas tantangan yang dihadapi.
Dalam hubungannya dengan penyelenggaraan pemilukada, misalnya, mesti
diusahakan agar tidak terlalu mengandalkan faktor uang di dalamnya. Aturan
pemilukada harus memberi kesempatan seluas mungkin pada proses pemilihan
yang mengutamakan kualitas kader ketimbang popularitas dan kemampuan ekonomi
sang calon dan pemilukada mesti ditujukan untuk lebih memberdayakan daerah.
Kelima, seandainya pemerintah
provinsi lebih mencerminkan fungsi dekonsentrasi ketimbang desentralisasi,
maka terlalu mahal bila gubernur dan wakilnya dipilih melewati pemilukada
seperti sekarang. Jika DPRD Provinsi masih diperlukan, mereka yang mesti
memilih dan mengawasi pihak eksekutif. Dengan demikian, sebagian anggaran
pemerintah yang mestinya dibelanjakan untuk pemilihan gubernur, dapat
dimanfaatkan untuk keperluan yang langsung dirasakan masyarakat.
Keenam, dalam kaitannya dengan
upaya penghematan, harus diupayakan praktik pemilukada yang lebih murah,
tidak jor-joran seperti sekarang. Ketentuan mengenai dana dan cara
kampanye, pada khususnya, mesti dirumuskan secara eksplisit dengan tujuan
menghindari pemborosan dan pesta demokrasi yang tidak berurusan dengan
peningkatan kualitas demokrasi. Bahkan, penerapan teknologi informasi
disegerakan, secara bertahap harus diperkenalkan cara pemilu yang
menggunakan elektronik (e-voting)
akan sangat berarti dalam mengurangi pertemuan secara fisik di antara
pemilih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar