Penangkapan
terhadap Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) telah mengguncang Partai Keadilan
Sejahtera (PKS). Sebagian besar masyarakat bangsa ini,apalagi kaderkader
PKS akar rumput, niscaya terkejut dan barangkali sebagian nyaris tak
percaya dengan peristiwa itu.
Soalnya
tampilan dan ekspresi figur LHI terkesan sangat tenang, tak berdosa namun
tetap bersahabat, layaknya seorang ustaz yang pengetahuan agamanya sangat
mendalam. Figur itu pun, baik sebelum atau selama jadi presiden partai, tak
pernah diperiksa atau diberitakan masuk dalam daftar nama yang sudah
diperiksa KPK. LHI bersama Anis Matta memang pernah dilaporkan ke kantor
pemberantasan korupsi bentukan reformasi itu secara langsung oleh salah
satu tokoh pendiri PKS, Yusuf Supendi, namun beritanya tenggelam begitu
saja atau terkesan diabaikan.
Setidaknya
perilaku korup atau gerakan mafia LHI tak mencuat ke permukaan, berbeda
dengan beberapa politisi PKS lainnya yang namanya kerap diungkap media
massa terkait dengan praktik mafia anggaran negara di Senayan. Kendati
demikian, barangkali pun publik bangsa ini perlu disadarkan bahwa praktik
korupsi dan mafia tidak semuanya terpantau oleh media massa dan tak boleh
juga kita “tertipu” dengan tampilan seseorang.
Mereka yang
bekerja adalah aparat penegak hukum dengan berbagai modus atau
pendekatannya, termasuk di dalamnya menggunakan jaringan intelijen dengan
cara-cara invisible. KPK, sebagai
lembaga pemberantasan korupsi yang dipercaya publik sekarang ini, termasuk
kita harapkan dalam kasus yang menimpa mantan presiden PKS itu kali ini,
tentu saja sudah memiliki alat bukti yang cukup sehingga harus
menjadikannya sebagai tersangka, menangkap, dan sekaligus menahannya.
Karena
perlakuan seperti itu, kesan diskriminatif perlakuan KPK terhadap koruptor
dan mafia timbul. Mengapa? Pertama, ada sejumlah politisi dan pejabat di
negeri ini yang namanya sudah sering disebut-sebut oleh tersangka lain
sebagai bagian dari yang terlibat dalam skandal korupsi dan mafia
anggaran,dan bahkan sudah diyakini dan labelisasi koruptor atau vonis dari
masyarakat luas tentang keterlibatan mereka itu.
Catatlah
misalnya indikasi keterlibatan Menakertrans dalam kasus korupsi dana DPPID
Kemenakertrans (di mana sejumlah saksi menyebutkan keterlibatannya dan yang
bersangkutan pun sudah pernah dimintai keterangannya oleh KPK), indikasi
keterlibatan Ketum PD baik dalam kasus Wisma Atlet Palembang maupun proyek
pembangunan Sport Center di
Hambalang Bogor (sudah jadi semacam “nyanyian
wajib Nazarudin” dan pihak lain terkait), serta yang terakhir Andi Mallarangeng
yang sudah berstatus tersangka korupsi, namun hingga saat ini belum
ditahan.
Kedua, ada
fenomena “perlakuan hukum yang
melompat”. Secara prosedur setidaknya ini yang jadi pemahaman umum
bahwa pelaku korupsi atau mafia anggaran yang tak ditangkap tangan secara
langsung oleh KPK biasanya melalui tahapan pemeriksaan terlebih dahulu dan
setelah ditemukan cukup bukti barulah dinyatakan tersangka dan atau
ditahan. Ini berbeda dengan perlakuan terhadap LHI.
Ia tak
tertangkap tangan secara langsung, hanya ditemukan indikasi keterlibatannya
berdasarkan keterangan tersangka lain, langsung saja ditangkap oleh
penyidik KPK, dan kemudian ditahan. Perlakuan seperti inilah yang kemudian
menimbulkan prasangka buruk terhadap kinerja KPK sehingga tak heran kalau pihak
PKS menganggap ada konspirasi untuk menghancurkan pencitraan PKS sebagai
partai Islam modern yang bergerak untuk kepentingan dakwah bagi umat di
negeri ini.
Reaksi PKS ini
memang terkesan berlebihan dan sekaligus tak akan mungkin dapat menolong
kasus hukum LHI. Pada tingkat tertentu bahkan akan menimbulkan sinisme
publik secara luas dan atau secara politik menjadikan publik benci pada
PKS. Jika jujur diakui, parpol yang semula bernama Partai Keadilan (PK) itu
sebenarnya “tak bersih-bersih amat”
(untuk tak dikatakan “juga kotor”). Apa pun alasannya bahwa temuan KPK itu
fakta hukum yang tak terbantahkan, hanya karena prosedur dengan perlakuan
yang diskriminatiflah yang harusnya lebih jauh dipersoalkan.
Bagi penulis
dan mungkin juga Pembaca Yang Budiman
yang mengamati maraknya kasus-kasus korupsi dan mafia anggaran di Indonesia
ini, perlakuan terhadap LHI melahirkan tafsir fenomenal yang menarik
sekaligus memprihatinkan. Pertama, perang antargeng koruptor dan mafia,
termasuk mafia impor daging sapi. Di antara para pelaku, baik koruptor
maupun mafia anggaran, proyek dan termasuk impor daging sapi, mungkin saja
“saling mengintip”, dan siapa yang terkalahkan, pihak itulah yang
melaporkan kasusnya ke pihak berwajib (baca: KPK).
Tepatnya,
pesaing bisnis mafia LHI atau PKS-lah, barangkali, yang terus mengintainya,
sekaligus mem-feeding informasi
dan data pada KPK. Apalagi semua orang tahu bahwa Menteri Pertanian adalah
orang PKS dan pejabat PKS ada yang memanfaatkannya untuk bisnis sapi atau
daging impor. Andai saja, barangkali, di antara para koruptor dan mafia “saling berbagi” akan muncul saling
pengertian. Karena keserakahanlah, terjadi upaya “penghancuran”, di mana kebetulan kali ini yang kena adalah
pucuk pimpinan eksekutif PKS.
Kedua,
perlakuan terhadap LHI tampaknya terkait pula dengan derajat kedekatan
terhadap lingkar dalam kekuasaan. Sejumlah oknum pejabat dan politisi yang
sebagian sudah disebutkan di atas memiliki setidaknya dua hubungan erat
dengan Presiden SBY. Ada yang berstatus sebagai pembantu langsung atau
kabinet, ada juga yang terkait parpol yang dikendalikan SBY.
Maka itu
pulalah, barangkali, KPK memandang perlu ada perbedaan perlakuan sehingga
akan kian memperkuat keyakinan publik bahwa pengambil kebijakan di KPK “segan terhadap orang-orang SBY”.
Atau, pada tingkat tertentu, ada benarnya dugaan sementara pihak bahwa
kerja KPK sebenarnya dikendalikan oleh tangan-tangan tak terlihat, yang
sekaligus memanfaatkan “nyali
sebagian orang di KPK yang segan terhadap Istana itu”. Wallahu a’lam bissawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar