Rabu, 13 Februari 2013

Kudeta Terselubung ala SBY


Kudeta Terselubung ala SBY
Syamsuddin Haris ;   Kepala Pusat Penelitian Politik
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
SINDO, 13 Februari 2013


Di luar dugaan Anas Urbaningrum selaku ketua umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selaku ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat akhirnya mengambil alih kepemimpinan partai segitiga biru itu.

Apa implikasi politiknya dan sejauh mana Demokrat mampu memulihkan citra publiknya? Langkah SBY mengambil alih otoritas partai tanpa memberhentikan Anas secara formal relatif menjawab kegelisahan sebagian kader terkait masa depan partai pemenang Pemilu 2009 ini. Melalui langkah “penyelamatan” ini, para pendukung setia SBY berharap citra Demokrat pulih kembali dan diharapkan mendorong peningkatan elektabilitas yang terjun bebas di bawah 10%.

Kendati demikian, sulit dipungkiri, delapan langkah yang diambil SBY selaku ketua Majelis Tinggi adalah “kudeta” terselubung yang mengatasnamakan “penyelamatan partai”karena secara de facto menyingkirkan sekaligus mempreteli kekuasaan Anas. Indikasi paling jelas yang menunjukkan delapan butir langkah SBY sebagai kudeta terselubung adalah, pertama, tidak satu pun pasal dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Demokrat yang memberi wewenang kepada ketua Majelis Tinggi untuk mengambil alih kepemimpinan partai.

Pasal 13 ayat (5) Anggaran Dasar Demokrat mengatur enam otoritas Majelis Tinggi,namun tidak satu ayat pun yang memungkinkan ketua Majelis Tinggi mengambil alih kekuasaan eksekutif partai dari ketua umum. Kedua, tidak satu pun pasal dalam AD/ART Demokrat yang memungkinkan ketua Majelis Tinggi mengundang para ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) tanpa persetujuan ketuaumum Dewan Pimpinan Pusat yang secara formal masih dijabat Anas Urbaningrum. Pasal 6 Anggaran Rumah Tangga Demokrat mengatur, “Dewan Pimpinan Pusat mewakili partai dalam bertindak ke dalam dan ke luar”. 

Disiapkan Matang 

Apabila kita membaca dengan cermat delapan langkah penyelamatan Demokrat yang dikeluarkan oleh Majelis Tinggi, tampak jelas bahwa butir-butir tersebut telah dipersiapkan dengan matang oleh para tokoh senior Demokrat di dalam struktur Dewan Pembina yang juga dipimpin SBY.Para kader senior dalam Dewan Pembina yang sebagian di antaranya menteri dari Demokrat dan para pendiri partai bisa jadi telah mematangkan langkah penyelamatan partai sejak sebelum Presiden SBY melawat ke sejumlah negara Afrika dan Timur Tengah sekaligus beribadah umrah di Mekkah.

Manuver politik Jero Wacik, anggota Dewan Kehormatan Demokrat,struktur partai yang juga dipimpin SBY, yang meminta SBY turun tangan melakukan langkah penyelamatan partai, tampaknya bagian dari skenario kudeta terselubung tersebut. Begitu pula rangkaian layanan pesan pendek (SMS) permohonan doa SBY di depan Kakbah ke jajaran partai. Itu dalam rangka sinyal berkelanjutan skenario pelengseran Anas yang namanya tidak turut disebut SBY dalam layanan pesan pendek dari Tanah Suci.

Selain itu, SBY yang sudah lama “gerah” dengan Anas tampaknya juga memperoleh sinyal keterlibatan mantan ketua umum Himpunan Mahasiswa Islam itu dalam kasus Hambalang dari Komisi Pemberantasan Korupsi. Karena itu, tidak mengherankan jika dalam pertemuan dengan DPD Demokrat se-Indonesia di Puri Cikeas, Bogor, Minggu malam (10/2), SBY merasa perlu meminta DPD-DPD Demokrat menandatangani pakta integritas antara lain berisi ikrar kesediaan mundur jika berstatus sebagai tersangka.

Implikasi Politik 

Apabila akhirnya Anas ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, barangkali tidak begitu mudah bagi SBY selaku tokoh sentral Demokrat memulihkan kembali citra publik dan moralitas internal partai yang dibentuk pada 2001 ini.Seperti pernah dikemukakan Anas ketika “melawan” SBY, citra publik Demokrat tidak sematamata terkait skandal korupsi yang melibatkan beberapa kader partai, tetapi juga terkait erat dengan kinerja pemerintahan SBY.

Sejumlah hasil survei mengonfirmasi merosotnya popularitas pemerintahan SBY. Kendati penurunannya tidak sedrastis elektabilitas Demokrat, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan SBY-Boediono merosot dari waktu ke waktu. Faktor lain yang menyulitkan Demokrat untuk bangkit kembali mungkin terletak pada cara dan strategi penyelamatan itu sendiri.

Pengambilalihan kekuasaan partai secara de facto atas Anas, sementara secara de jure Anas dibiarkan tetap menjabat ketua umum Demokrat, bagaimanapun melahirkan implikasi baik secara internal maupun eksternal. Secara internal kudeta terselubung ala SBY melahirkan dualisme kepemimpinan partai. Dampak dualisme kepemimpinan ini antara lain adalah kemungkinan munculnya persoalan dalam pengajuan daftar calon sementara (DCS) anggota legislatif Demokrat untuk Pemilu 2014. Pasal 57 ayat (a) UU Pemilu Legislatif Nomor 8 Tahun 2012 mengatur, pengajuan daftar caleg untuk DPR ke KPU ditandatangani ketua umum dan sekretaris jenderal partai yang bersangkutan. 

Pertanyaannya, apakah SBY atau Anas yang akan menandatangani DCS Partai Demokrat pada awal April 2014? Secara eksternal cara penyelamatan partai model SBY juga merupakan preseden buruk bagi upaya demokratisasi internal partai di Indonesia. Terlepas dari fakta bahwa SBY adalah figur sentral Demokrat, kudeta terselubung yang dilakukan terhadap Anas merupakan contoh buruk yang tidak produktif bagi institusionalisasi partai khususnya dan demokrasi pada umumnya.

Di atas segalanya, strategi penyelamatan partai ala SBY melembagakan kembali kecenderungan personalisasi partai yang akhirnya berujung pada personalisasi kekuasaan di dalam partai. Realitas ini jelas jauh lebih berbahaya bagi partai dan demokrasi kita ketimbang sekadar soal elektabilitas partai yang bersifat temporer belaka. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar