Partai Demokrat dirundung
musibah. Elektabilitasnya menurun drastis sehingga membuat gelisah
kader-kadernya. Tentu, diperlukan konsolidasi partai dalam waktu
sesingkat-singkatnya. Bahwa ada pro dan kontra adalah biasa. Namun,
konsolidasi partai yang ditempuh, senang atau tidak senang, sangat mujarab
dan antisipatif. Dalam waktu relatif singkat, seluruh jajaran partai di
tingkat pusat dan dewan pimpinan daerah (DPD) telah terkonsolidasikan.
Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, yang masih
dalam status terperiksa, sudah "divonis". Kesan orang, ia menjadi
sumber masalah partai. Bahwa ia harus mempersiapkan diri untuk menghadapi
kasus hukum yang dikesankan pasti terjadi. Sebuah langkah yang berani.
Sebab, kalau ternyata Anas Urbaningrum batal menjadi tersangka, konsolidasi
yang ditempuh di partai justru bisa menjadi bumerang.
Tetapi, itulah politik. Bagaimana membuat yang tidak
mungkin menjadi mungkin. Sebaliknya, bagaimana membuat yang mungkin menjadi
tidak mungkin. Kalau menunggu Anas menjadi tersangka baru bertindak,
mungkin sudah terlambat. Partai Demokrat akan makin kedodoran. Waktu akan
menjawab, bagaimana nasib konsolidasi yang ditempuh. Hal ini terlepas bahwa
konsolidasi itu telah disetujui oleh segenap jajaran Partai Demokrat
melalui penandatanganan pakta integritas.
Terkesan mengesankan, Partai Demokrat masih sangat
mengandalkan peran SBY. Dengan peran yang begitu besar, seluruh jajaran
partai menandatangani pakta integritas. Apalagi, ada ketentuan dalam pakta
integritas bahwa kader tidak setuju dipersilakan keluar dari Partai
Demokrat. Di pihak lain, memang sulit menolak pakta integritas itu,
mengingat secara normatif, mengandung nilai-nilai yang sulit ditolak.
Kini, tinggal masalah-masalah teknis yang akan
menentukan keberhasilan konsolidasi Partai Demokrat. Meski sekadar masalah
teknis, ini bisa saja menjadi kerikil tajam kalau pengorganisasiannya
lemah. Bagaimana menyusun daftar calon DPR/MPR yang sangat diperebutkan
semua kader Partai Demokrat?
Dari sekadar masalah teknis, bisa saja menjadi masalah
prinsipil, kalau ternyata menimbulkan konflik baru antarkader. Akankah SBY
terpaksa turun lagi untuk menengahi masalah seperti itu?
Masalah ini mungkin tidak mudah bagi Majelis Tinggi
Partai Demokrat, yang sekarang juga bertindak atas nama Dewan Pimpinan
Pusat Partai. Apalagi, secara prosedural hukum yang berlaku, peran DPP yang
dipimpin Anas Urbaningrum tidak bisa begitu saja dianggap tidak ada. Bisa
saja akan sangat menyita banyak waktu SBY, sehingga tugasnya sebagai
presiden bisa terganggu. Pada gilirannya, akan berdampak negatif terhadap
elektabilitas Partai Demokrat lagi.
Mengesankan, bersyukurlah Partai Demokrat memiliki SBY.
Kalau tidak, Partai Demokrat pasti sudah pecah berkeping-keping, mengingat
banyaknya variabel yang ada di partai. Wajar karena Partai Demokrat adalah
partai baru yang cepat berkembang. Penyelesaian secara cepat dan tepat
memang diperlukan. Bahwa diperlukan jalan pintas, meski kurang prosedural
sehingga menimbulkan kritik, khususnya dari kalangan di luar Partai
Demokrat, adalah wajar.
Namun, hendaklah disadari bahwa kalangan luar partai
adalah sekadar penonton, yang hanya bisa bertepuk sebelah tangan. Setuju
atau tidak setuju, konsolidasi Partai Demokrat telah berjalan mulus. Hal
ini terlepas bahwa semua itu masih akan tergantung pada hasil pemilu, pada
rakyat yang akan menjadi hakim demokrasi.
Akankah Partai Demokrat masih tampil sebagai partai
terbesar? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar