Hasil
survei Pusat Data Bersatu yang belum lama ini dilansir menyebutkan
elektabilitas Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo teratas dalam bursa calon
presiden 2014. Angkanya 21,2 persen, mengalahkan 12 calon lainnya, termasuk
Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto (18,4 persen), Ketua
Umum PDIP Megawati Soekarnoputri (13 persen), dan penyanyi dangdut Rhoma
Irama (10,4 persen).
Pemapar
survei, Didik J. Rachbini, menyebut Jokowi dibesarkan oleh "partai
media". Untuk sementara, merujuk pada hasil survei itu kekhawatiran
meteor politik Jokowi cepat atau lambat akan lebih mencorong ketimbang
pembesar partainya, atau bersifat kanibalistik, semakin nyata. Tentu saja
fenomena ini menarik dan patut dianalisis lebih lanjut, apakah memang sosok
pemimpin seperti Jokowi inilah yang diharapkan publik? Ataukah ia hanya
sekadar mencerminkan keinginan publik untuk menghadirkan sosok yang bergaya
kepemimpinan antitesis Susilo Bambang Yudhoyono?
Ketika
Jokowi terpilih untuk kedua kalinya sebagai Wali Kota Surakarta, dengan
persentase dukungan lebih dari 90 persen, sosok ini semakin naik daun.
Setelah terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta, ia benar-benar mampu
menunjukkan dirinya sebagai bintang politik yang meroket. Publik melirik
gaya kepemimpinannya yang berbeda. Ia merakyat, justru karena
keberhasilannya melepas simbol-simbol kepriayian alias elitisme politiknya.
Ia tidak canggung bercengkerama dengan khalayak. Tidak hanya menunjukkan
empatinya. Tetapi, dengan kewenangan yang dimilikinya, dia juga cepat
menyelesaikan persoalan.
Para
pengkritik memang sering melontarkan komentar bahwa gaya
"blusukan" Jokowi parsial dan tidak menyentuh akar masalah.
Tetapi tampaknya publik lebih suka gaya kepemimpinannya yang
humanis-komunikatif dan proses kebijakannya yang dialogis-transparan, bukan
hasil akhirnya. Tentu banyak yang kecewa atas kepemimpinan Jokowi yang
sudah lebih dari 100 hari ini. Tetapi ia sudah telanjur hadir sebagai
model.
Dengan
begitu, Jokowi segera diposisikan sebagai antitesis kepemimpinan arus utama
Yudhoyono. Model kepemimpinan Jokowi seperti menjadi semacam ekstrem lain.
Dari sudut inilah, dan berkat liputan media yang kontinu, kalau bukan
dramatik, sebagaimana disinggung Didik J. Rachbini, meroketnya
elektabilitas Jokowi segera bisa dipahami. Tetapi, apakah hal demikian akan
membuatnya terpukau dan diam-diam merancang skenario pemenangan calon
presiden?
Jawaban
sementara Jokowi singkat dan jelas. Ia memilih berkonsentrasi mengatasi
"permasalahan banjir dan macet", yang segera dimaknai bahwa ia
akan konsisten dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagai gubernur. Ini
menunjukkan bahwa Jokowi tahu diri, dalam arti tidak elok kalau, di tengah
kompleksitas persoalan Jakarta, ia nggege mongso alias ambisius untuk
menjadi presiden. Jurus anti-marketing Jokowi ini diperkirakan justru
semakin mengkhawatirkan para pesaing. Maksudnya, kerja kerasnya untuk DKI
Jakarta malah membuatnya semakin populer dan elektabel.
Jokowi
dibatasi tanggung jawab politik dan moral. Kalau Jokowi nekat memilih maju
sebagai calon presiden atau calon wakil presiden dengan kendaraan dan
alasan apa pun, ia segera terbentur masalah politis dan sekaligus etis.
Secara politik, ada dampaknya. Secara etis, ia akan memberi contoh buruk
dan menjadi model pejabat publik yang tidak konsisten dalam mengawali dan
mengakhiri masa jabatannya secara wajar.
Seandainya
pun petinggi PDIP menugasinya sebagai calon presiden 2014, Jokowi harus
berani berkata tidak. Demikian pula, ia juga harus tidak terprovokasi oleh
kelompok-kelompok politik dan kepentingan yang mendesak agar mundur dari
jabatannya sebagai gubernur dan maju sebagai capres. Toh, pemimpin sejati
tidak harus menjabat presiden.
Sebab,
kalau ya, maka Jokowi akan masuk ke labirin politik yang dilematis, kalau
bukan suatu kecelakaan politik yang susah dimaafkan. Menjadi presiden
memang membuat Jokowi punya banyak kesempatan untuk menunjukkan dirinya
sebagai pemimpin bangsa. Tetapi, manakala caranya kurang etis dan lepas
tanggung jawab dari jabatan gubernur yang belum final, tidak hanya akan ada
"rasa bersalah" yang menghantui, tetapi juga memicu arus balik
kekecewaan publik.
Memimpin DKI, di tengah-tengah elektabilitas capres yang demikian
tinggi, tidak kalah kesatria atau gagah dibanding seandainya menjadi
presiden. Jokowi menjadi bintang media, karena ruang lingkup
kepemimpinannya jelas. Belum tentu, kalau Jokowi menjabat presiden,
"partai media massa" masih memihaknya. PDIP memang belum
meresmikan capresnya. Tapi, agaknya, di tengah embusan wacana oleh tokoh
senior PDIP, Taufiq Kiemas, tentang pentingnya capres muda, kans Megawati
tetap yang terbesar. Megawati paling berpeluang untuk maju lagi sebagai
capres. Dalam tradisi PDIP, itu lebih baik ketimbang memaksakan Jokowi yang
terikat menjalankan amanat rakyat sebagai Gubernur DKI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar