Sesat
Pikir Kepemilikan Media
R. Kristiawan,
MANAJER
PROGRAM MEDIA DAN INFORMASI YAYASAN TIFA, JAKARTA
Sumber
: KOMPAS, 13 Januari 2012
Artikel Sabam Leo Batubara berjudul
”Menyikapi Kepemilikan Media” (Kompas, 26 Desember 2011) menyatakan, pemusatan
kepemilikan media penyiaran swasta tidak melanggar undang-undang. Leo juga
mengambil contoh sistem Amerika dan Australia, di mana kepemilikan media
penyiaran swasta berpusat pada beberapa kelompok bisnis saja.
Ada beberapa catatan mendasar untuk merespons
artikel itu. Pertama, regulasi media penyiaran berbeda dengan regulasi media
cetak. Artikel Leo mengambil preseden bisnis media cetak di Indonesia dengan
oplah tinggi (Kompas, 500.000 eksemplar). Berangkat dari contoh tersebut dia
berargumen bahwa penyiaran swasta juga bisa melakukan dominasi penyiaran.
Meminjam
Milik Publik
Pembandingan ini jelas menyesatkan, apalagi
dalam teori regulasi media tidak bersifat apple to apple, perbandingan yang
dapat disetarakan. Secara bisnis, media cetak swasta boleh melakukan penetrasi
pasar sekuat-kuatnya—sepanjang diterima pembaca—karena modus distribusi
informasinya tidak memakai saluran frekuensi milik publik.
Berbeda dengan media penyiaran swasta yang
hanya bisa beroperasi karena dipinjami frekuensi, sebagaimana disinggung
paragraf kedua artikel Leo. Pembatasan terhadap media penyiaran swasta juga
perlu dilakukan karena prinsip kelangkaan frekuensi (scarcity theory) dan
pervasiveness, yaitu kemampuan media penyiaran masuk ke ranah domestik tanpa
diundang.
Ujungnya, penguasaan opini publik sangat bisa
terjadi karena pemusatan kepemilikan media. Dalam prinsip pluralisme opini, ini
jelas bertentangan dengan demokrasi. Ide-ide tentang siaran alternatif, seperti
Kompas dan Tempo TV, juga susah mendapatkan izin frekuensi karena spektrumnya
telanjur dikuasai segelintir pengusaha saja.
Meletakkan urusan kepemilikan media ke
wilayah hukum persaingan usaha juga bentuk kesesatan yang lain. Alasannya sangat
sederhana. Usaha penyiaran tidak diatur dalam bisnis biasa seperti bisnis
sepatu atau bisnis tahu. Ini tak lain mengingat bisnis penyiaran menggunakan
frekuensi milik publik, di mana frekuensi bersifat pinjaman, bukan hak milik
lembaga penyiaran. Urusan penyiaran diatur dalam UU Penyiaran.
Secara hukum, bisnis media cetak dan media
penyiaran juga berbeda. Pemusatan bisnis media penyiaran diatur oleh UU
Penyiaran, sedangkan pemusatan bisnis media cetak diatur oleh UU No 5/1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat serta UU
Pers (UU No 40/1999) dengan mekanisme swasensor dan Dewan Pers sebagai lembaga
etik. Karena itu pula praktik jual beli frekuensi dilarang.
Artikel Leo mengaburkan perbedaan mendasar
ini. Leo mungkin juga lupa bahwa yang bersangkutan pernah menandatangani petisi
menolak praktik jual beli frekuensi penyiaran bersama Masyarakat Pers dan
Penyiaran Indonesia pada tahun 2007. Pada titik ini, layak untuk mempertanyakan
dimensi aksiologis dari proposisi-proposisi yang disampaikan artikel itu.
Catatan kedua, kepemilikan media penyiaran di
Indonesia sudah sangat gamblang dibatasi. Pasal 20 UU Penyiaran menyatakan,
lembaga penyiaran swasta, jasa penyiaran radio dan jasa penyiaran televisi
masing-masing hanya dapat menyelenggarakan satu siaran dengan satu saluran
siaran pada satu cakupan wilayah siaran. Cakupan wilayah siaran adalah
provinsi. Dalam hal ini klausul pembiaran pelanggaran—seperti disuarakan KIDP—
valid karena terbukti hampir semua lembaga penyiaran besar memiliki lebih dari
satu siaran di Provinsi DKI Jakarta.
Negara
Maju
Selain kedua hal di atas, pengambilan Amerika
Serikat dan Australia sebagai contoh praktik pemusatan kepemilikan media
penyiaran disertai dengan data yang tidak valid. Amerika justru menerapkan
pembatasan kepemilikan media penyiaran dengan ketat. Satu bisnis penyiaran
tidak boleh mencakup lebih dari 39 persen jumlah total televisi nasional (TV
households). Di Australia juga senada. Sebesar-besarnya usaha penyiaran, tetap
tidak boleh menjangkau lebih dari 75 persen dari jumlah total populasi.
Artikel Leo menampilkan data yang menyesatkan
dengan menyebut bahwa hanya ada tiga stasiun televisi bersiaran nasional di
Amerika Serikat. Nyatanya, di Amerika Serikat berlangsung sistem stasiun
jaringan dan stasiun lokal dengan begitu banyak kelompok stasiun, misalnya Fox
TV memiliki sekitar 34 stasiun televisi lokal dengan jangkauan sekitar 38
persen TV households. Sementara Paxson menguasai 68 stasiun televisi dengan
jangkauan 33,7 persen (Dominic, 2004)
Di samping itu, juga terdapat sekitar 25
stasiun jaringan dengan menguasai jangkauan mulai dari 5 hingga 39 persen.
Terdapat lima besar stasiun televisi jaringan, yaitu Viacom dengan jangkauan
38,9 persen televisi nasional; Fox sebesar (38,3 persen); NBC (33,9 persen);
Paxson (31,6 persen); Tribune Company (30,2 persen), dengan catatan FCC
memperhitungan jangkauan televisi dengan UHF diperhitungkan separuh (50 persen
dari penghitungan VHF [Dominic, 2007]).
Karena televisi digital mulai diterapkan,
pemotongan penghitungan daya jangkau 50 persen tidak lagi cukup punya dasar.
Sekarang banyak televisi digital mempergunakan UHF sehingga sebenarnya daya
jangkau televisi di Amerika Serikat 5-63 persen (top 30 stasiun televisi).
Alhasil, yang menjadi 8 besar adalah ION Media (63 persen), Univision (44
persen), Trinity (40 persen), CBS (38 persen), Fox TV (37 persen), NBC U (35
persen), Tribune (35 persen), dan ABC (23 persen).
Jadi, berapa pun stasiun yang dimiliki,
jangkauannya tetap tidak boleh melebihi 39 persen. Di negeri seliberal Amerika
Serikat sekalipun, prinsip public domain dari frekuensi terestrial tetap
dihargai lewat pembatasan jangkauan siaran dan kepemilikan.
Indonesia menerapkan prinsip pembatasan
teritorial, yaitu maksimal satu penyiaran swasta di satu provinsi karena
pertimbangan luas wilayah, kebinekaan yang sangat kaya, dan otonomi daerah.
Dengan kondisi Indonesia saat ini, di mana satu usaha menguasai beberapa siaran
di satu provinsi beserta puluhan stasiun lokal di dalamnya, bisa dibayangkan
persentase cakupan siaran lembaga siaran itu secara nasional dibandingkan
dengan jumlah penduduk.
Negeri yang kaya budaya ini dipaksa hanya
menonton segelintir pilihan siaran dengan bias urban Jakarta yang sangat
tinggi. Ini jelas bukan demokrasi penyiaran yang kita rindukan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar