Menggugat
Macetnya Reformasi Birokrasi
Abdul Salam, PNS, HUMAS DAN PROTOKOL PEMKAB PROBOLINGGO, JAWA TIMUR
Sumber
: SUARA KARYA, 4 Januari 2012
Meski reformasi sudah berjalan selama 13 tahun, penataan birokrasi
seakan berada di dunia tersendiri dalam tata kelola pemerintahan Indonesia.
Perekrutan calon pegawai negeri sipil (CPNS) dengan pola spoil system,
jual-beli jabatan, mutasi buta, pungutan liar, dan lain sebagainya seakan
paradoks dengan cita-cita good governance.
Dalam sebuah seminar nasional mengenai reformasi birokrasi
diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas
Lampung (Unila) di Bandar Lampung, beberapa waktu lalu yang menghadirkan Sekjen
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Siti Nurbaya, seakan ingin menjelaskan kepada
masyarakat, betapa pemerintah di bawah rezim SBY berusaha ingin memperbaiki
kualitas pelayanan aparatur negara melalui reformasi birokrasi. Namun,
sejatinya masyarakat mulai apatis dengan upaya pemerintah dalam menata
aparatnya karena reformasi birokrasi hanya sebatas "mengutak-atik"
sesuatu yang normatif dan idealis. Pijakannya bukan pada data faktual atau
empirik, melainkan atas dasar normatif atau tata aturan yang bisa diterjemahkan
sendiri-sendiri, mulai dari kepala daerah sampai kepala negara.
Silang sengkarut tata pemerintahan yang dikelola birokrat berwatak
korup ternyata menjadi epidemi dan turun-temurun secara genetik. Aparatur
pemerintah yang seharusnya melayani rakyat justru minta kompensasi melalui
pungutan dalam setiap jasa pelayanan. Tetapi uniknya, ketika ada upaya
penertiban dan pembenahan, hanya surut sesaat yang kemudian marak lagi bahkan
cenderung merajalela.
Kenapa birokrasi begitu sulit ditata?
Tegas saja, karena kesalahan sudah dilakukan sejak awal proses
rekrutmen. Mindset para pemegang kebijakan dalam rekrutmen CPNS, baik di daerah
maupun pusat, menganggap penerimaan pegawai merupakan komoditas yang memiliki
nilai profit yang tinggi. Proses kapitalisasi kedua pihak ini kemudian menjadi
siklus yang selalu berulang setiap tahun secara berjenjang hingga menjadi
lingkaran setan yang sulit diurai.
Selain itu, rekrutmen CPNS melalui pola spoil system diyakini
memperburuk kinerja birokrat, baik lokal maupun internasional, karena seleksi
bukan didasarkan pada kualitas atau kompetensi, melainkan atas kedekatan dengan
kekuasaan.
Praktek ini biasanya marak sebagai kompensasi (rent seeking) usai
pemilu atau pemilukada. Rekrutmen yang seharusnya melalui pola merrit system,
sebagaimana yang diharapkan peneliti utama LIPI Siti Zuhro, ternyata hanya
utopis belaka.
Reformasi birokrasi makin termehek-mehek manakala kepala daerah
melakukan mutasi pegawai. Cara ini sekaligus menjadi justifikasi atas nama
penyegaran dengan memperjualbelikan jabatan dan sudah tentu tanpa
mempertimbangkan kompetensi. Oleh sebab itu, tidak heran jika ada kebijakan
kepala daerah yang menempatkan dokter hewan menjadi direktur utama rumah sakit
(manusia), guru menjadi camat, dan lain sebagainya.
Lembah KKN
Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah telah
memberi ruang bagi kepala daerah untuk mengatur sendiri pola dan teknis
pelayanan publik dan pemerintahan tanpa harus menunggu instruksi dari Pemerintah
Pusat. Dengan begitu, daerah diberi keleluasaan mengatur sumber-sumber daya,
potensi daerah, mengembangkan SDM aparatur daerah yang responsif, adaptatif,
dan memahami kebutuhan serta karakteristik daerah.
Kepala daerah diberi ruang kreasi, inovasi, dan alternatif solusi
untuk mempercepat kemakmuran rakyat, kedekatan pelayanan publik, dan
pemerintahan. Singkatnya, otonomi daerah benar-benar memberi ruang luas bagi
kepala daerah untuk mengembangkan diri dalam mengelola daerahnya.
Apa hasilnya? Alih-alih dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat,
pengangguran justru terus meningkat. Meskipun telah lebih 11 tahun pelaksanaan
otonomi daerah, hanya terbilang puluhan daerah dari 497 kabupaten dan kota,
yang berhasil menerobos kebekuan tata cara pemerintahan yang konvensional
kepada pemerintahan yang inovatif dan kreatif.
Sisanya masih berkutat di lembah korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN). Banyaknya kepala daerah yang berstatus tersangka, terdakwa, dan
terpidana memperkuat argumentasi kepala daerah lebih berorientasi pada
kekuasaan, bukan kewenangan.
Staf pengajar FISIP Unila Ari Darmastuti mengatakan, birokrasi
masih mengalami politisasi yang sangat kuat, khususnya berkenaan dengan
kepentingan pemilukada. Birokrasi yang seharusnya netral dalam pemilukada justru
sibuk dengan urusan "menentukan arah angin yang benar" agar tidak
tersingkir karena kesalahan memilih calon kepala daerah.
Reformasi seakan menjadi obat penenang manakala rakyat menuntut
perbaikan birokrasi sebagaimana juga di bidang penegakan hukum, pendidikan,
perpajakan, dan lain sebagainya. Tetapi pertanyaannya, adakah pihak yang belum
terkontaminasi oleh virus KKN untuk melakukan reformasi? Karena jika tidak ada,
reformasi birokrasi yang ditawarkan tidak lebih dari sekadar reformasi semu,
yang hanya mempersoalkan efektivitas tata aturan dan kemudian muncul regulasi
baru.
Banyaknya "penumpang gelap" reformasi yang masih
bercokol di lembaga pemerintah diduga menjadi penyebab reformasi birokrasi
tidak berjalan sesuai harapan. Mereka sangat nyaman berada pada posisi
"basah", sehingga berusaha mempertahankan status quo birokrasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar