Jumat, 06 Januari 2012

Keadilan Sosial Kasus Sandal (42)


Keadilan Sosial Kasus Sandal
Sudjito, GURU BESAR DAN KETUA PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM UGM
Sumber : KOMPAS, 6 Januari 2012


Duduk perkara dan sidang pengadilan atas kasus ”pencurian” sandal sudah dibuka lebar-lebar oleh berbagai media, baik media cetak maupun elektronik.

AAL (15 tahun), pelajar SMK di Palu itu, dinyatakan terbukti mencuri sandal jepit polisi Polda Sulteng. Walau bersalah, dia tidak dihukum, tetapi dikembalikan ke orangtuanya. Publik tergagap-gagap dan bertanya, beginikah penegakan hukum di Indonesia? Pro dan kontra atas kasus itu pun berlangsung dalam perdebatan yang tak jelas juntrungnya. Perdebatan bukan hanya pada lapisan masyarakat yang ”awam” hukum, melainkan juga mereka yang ”ahli” hukum. Publik menafsirkan dan memaknai kasus sandal itu sesuai tingkat kepahaman masing-masing tentang hukum dan pengadilan.

Tak bisa dimungkiri, kekuatan publik dan media sangat berpengaruh pada penanganan kasus ini. Aksi pengumpulan ribuan sandal jepit ke Kapolri pun tak luput dari perhatian presiden meski tanpa diikuti tanggapan apa pun. Secara sosiologis, aksi tersebut pasti berpengaruh terhadap sikap hakim ataupun kualitas vonis yang dijatuhkannya.

Kasus yang tergolong ”kecil” dan dialami orang awam, anak-anak, remaja, atau orang miskin/lemah seperti ini memberi pelajaran berharga bagi publik bahwa hukum dan pengadilan negara itu amat esoterik, hanya dapat dipahami oleh profesional di bidang hukum. Langkah ibu AAL yang mendorong agar kasusnya dibuka di pengadilan untuk membuktikan bahwa anaknya tak mencuri tanpa disadari sudah menceburkan dirinya ke dalam dunia lain dan asing bagi dirinya, yaitu pengadilan.

Logika awam tak mencukupi untuk memahami bahasa, istilah, konsep, dan berbagai doktrin hukum positif yang berlaku di dunia pengadilan. Wajar ada pertanyaan, kok, putusannya seperti itu? Seto Mulyadi, Ketua Komisi Dewan Pembina Komnas Perlindungan Anak Indonesia, kecewa atas vonis hakim ini. Terbayangkan, betapa berat beban psikologis AAL harus menanggung stigma sebagai ”pencuri” yang melekat sepanjang hidupnya.

Logika Awam vs Hukum

Kasus ini membuktikan, logika awam dan logika hukum positif memang berbeda. Ketika kedua logika itu berada dalam jurang pemisah, kekecewaan publik akan muncul dalam berbagai bentuk, baik halus maupun dengan kekerasan. Di situlah semestinya ada kesadaran bagi semua profesional hukum untuk mempersempit jurang pemisah logika hukum tersebut.

Pada hemat saya, pelajaran terbaik dari kasus ini adalah perlunya pembenahan terhadap sistem peradilan pidana. Profesional hukum (polisi, jaksa, hakim, dan pengacara) bekerja berdasarkan sistem itu, padahal kewenangan masing-masing berpotensi besar berbenturan dengan keinginan publik. Indonesia perlu mengubah sistem itu menjadi social juctice system. Apabila sistem ini terbangun, semua kekuatan publik dan profesional hukum dapat berangkulan dalam satu panggung penegakan hukum sehingga logika publik dan logika hukum positif dapat dipertemukan. Bukankah penegakan hukum itu wajib berdasarkan Pancasila, yang sila kelima berbunyi: ”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar