Keadilan
Sosial Kasus Sandal
Sudjito, GURU BESAR DAN KETUA PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM UGM
Sumber
: KOMPAS, 6 Januari 2012
Duduk perkara dan sidang pengadilan atas
kasus ”pencurian” sandal sudah dibuka lebar-lebar oleh berbagai media, baik
media cetak maupun elektronik.
AAL (15 tahun), pelajar SMK di Palu itu,
dinyatakan terbukti mencuri sandal jepit polisi Polda Sulteng. Walau bersalah,
dia tidak dihukum, tetapi dikembalikan ke orangtuanya. Publik tergagap-gagap
dan bertanya, beginikah penegakan hukum di Indonesia? Pro dan kontra atas kasus
itu pun berlangsung dalam perdebatan yang tak jelas juntrungnya. Perdebatan
bukan hanya pada lapisan masyarakat yang ”awam” hukum, melainkan juga mereka
yang ”ahli” hukum. Publik menafsirkan dan memaknai kasus sandal itu sesuai
tingkat kepahaman masing-masing tentang hukum dan pengadilan.
Tak bisa dimungkiri, kekuatan publik dan
media sangat berpengaruh pada penanganan kasus ini. Aksi pengumpulan ribuan
sandal jepit ke Kapolri pun tak luput dari perhatian presiden meski tanpa
diikuti tanggapan apa pun. Secara sosiologis, aksi tersebut pasti berpengaruh
terhadap sikap hakim ataupun kualitas vonis yang dijatuhkannya.
Kasus yang tergolong ”kecil” dan dialami
orang awam, anak-anak, remaja, atau orang miskin/lemah seperti ini memberi
pelajaran berharga bagi publik bahwa hukum dan pengadilan negara itu amat
esoterik, hanya dapat dipahami oleh profesional di bidang hukum. Langkah ibu
AAL yang mendorong agar kasusnya dibuka di pengadilan untuk membuktikan bahwa
anaknya tak mencuri tanpa disadari sudah menceburkan dirinya ke dalam dunia
lain dan asing bagi dirinya, yaitu pengadilan.
Logika awam tak mencukupi untuk memahami
bahasa, istilah, konsep, dan berbagai doktrin hukum positif yang berlaku di
dunia pengadilan. Wajar ada pertanyaan, kok, putusannya seperti itu? Seto
Mulyadi, Ketua Komisi Dewan Pembina Komnas Perlindungan Anak Indonesia, kecewa
atas vonis hakim ini. Terbayangkan, betapa berat beban psikologis AAL harus
menanggung stigma sebagai ”pencuri” yang melekat sepanjang hidupnya.
Logika
Awam vs Hukum
Kasus ini membuktikan, logika awam dan logika
hukum positif memang berbeda. Ketika kedua logika itu berada dalam jurang
pemisah, kekecewaan publik akan muncul dalam berbagai bentuk, baik halus maupun
dengan kekerasan. Di situlah semestinya ada kesadaran bagi semua profesional
hukum untuk mempersempit jurang pemisah logika hukum tersebut.
Pada hemat saya, pelajaran terbaik dari kasus
ini adalah perlunya pembenahan terhadap sistem peradilan pidana. Profesional
hukum (polisi, jaksa, hakim, dan pengacara) bekerja berdasarkan sistem itu,
padahal kewenangan masing-masing berpotensi besar berbenturan dengan keinginan
publik. Indonesia perlu mengubah sistem itu menjadi social juctice system.
Apabila sistem ini terbangun, semua kekuatan publik dan profesional hukum dapat
berangkulan dalam satu panggung penegakan hukum sehingga logika publik dan
logika hukum positif dapat dipertemukan. Bukankah penegakan hukum itu wajib
berdasarkan Pancasila, yang sila kelima berbunyi: ”Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia”? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar