Kota
Penyumbang Pangan Budi Widianarko: Guru
Besar Unika Soegijapranata, Anggota Dewan Pertimbangan Pembangunan Kota
(DP2K) Semarang |
KOMPAS, 15 Juli 2022
Akibat perang Rusia-Ukraina yang
berkepanjangan, ”hantu” krisis pangan global benar-benar menampakkan
wujudnya. Harga pangan melonjak sehingga
memunculkan kekhawatiran serius, khususnya di negara-negara yang mengandalkan
kecukupan pangannya dari impor. Sistem pangan di negara-negara tersebut mulai
goyah dan memerlukan topangan baru untuk bisa kembali tegak. Alih-alih menanti rampungnya perang dan
berbagai upaya diplomasi untuk normalisasi alur pasok bahan pangan dan sarana
produksi pendukungnya—seperti pupuk—diperlukan berbagai terobosan strategis
dan gercep (gerak cepat). Salah satunya melalui transformasi sistem pangan
kota. Dalam proyeksi Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), dua pertiga populasi dunia akan tinggal di kota. Meski
hanya menempati 2-3 persen luas permukaan bumi, dengan gaya hidup dan praktik
konsumsi warganya, kota memonopoli tiga perempat atau 75 persen sumber daya
alam (SDA) dan menyumbang lebih dari 70 persen emisi gas rumah kaca global
(UNEP, 2017; Wei dkk, 2021). Hal ini mendorong perlunya transformasi
sistem pangan kota sesegera mungkin. Sistem pangan mencakup alur produksi
pangan—dari lahan ke meja makan—beserta segenap pelaku, kelembagaan dan
infrastruktur pendukung serta dampaknya terhadap tiga aspek keberlanjutan,
yaitu sosial, ekonomi, dan lingkungan. Mengapa kota? Kota adalah bagian dari masalah dan
sekaligus solusi bagi tantangan sistem pangan. Kawasan perkotaan yang kian
meluas sering kali berasosiasi dengan meningkatnya konsumsi sumber daya dan
produksi limbah yang memberikan tekanan terhadap ekosistem dan alur pasok
pangan. Pertumbuhan populasi kota telah memicu
terkonsentrasinya penduduk di kawasan-kawasan rentan (vulnerable). Kota-kota
menjadi sumber masalah bagi sistem sosial dan ekosistem, dan dampak
negatifnya cenderung terus meningkat seiring laju urbanisasi dan perubahan.
Namun, pada saat yang sama, kota juga merupakan bagian dari solusi. Idealnya, kota bukan hanya pelahap
pangan, tetapi juga harus mampu memenuhi sebagian kebutuhan pangannya
sendiri. Sebagai konsekuensinya, sudah saatnya melibatkan isu-isu pangan
dalam perencanaan kota. UNEP (2017) menyebut kemampuan kota dalam menyediakan
sebagian pangannya sendiri dan pelibatan pangan dalam rencana kota adalah
esensi dari transformasi sistem pangan kota. Kepadatan dan kedekatan jarak
(proximity) di dalam sebuah kota sebenarnya mereduksi biaya ekonomi dan
lingkungan dalam penyediaan infrastruktur dan jasa untuk produksi pangan.
Selain itu, kota juga memiliki kapasitas kelembagaan dan teknikal yang
signifikan untuk menghadapi masalah lingkungan, termasuk masalah pangan. Yang juga tidak boleh dilupakan, kota
sudah selayaknya merupakan pusat inovasi. Bagaimana tidak? Bukankah perguruan
tinggi dan lembaga penelitian terkonsentrasi di kota? Transformasi Sistem pangan kota yang berkelanjutan
(sustainable urban food system) adalah sebuah ideal baru yang ingin dicapai oleh
kota-kota dunia. Tekanan sistem pangan yang terus meningkat terhadap planet
Bumi telah semakin dikenali, bukan saja oleh kalangan ilmiah, melainkan juga
oleh para pengambil kebijakan kota. Salah satu prakarsa global untuk
mewujudkan sistem pangan berkelanjutan adalah Pakta Milan (Milan Urban Food
Policy Pact) yang diprakarsai oleh kota Milan di Italia. Hingga pertengahan
tahun 2022 sudah 225 kota di dunia yang menjadi anggota dari pakta ini,
termasuk lima kota di Indonesia. Tercatat sudah ada 370 praktik baik sistem
pangan kota yang terdokumentasi di dalam Pakta Milan. Seperti mengukuhkan kota sebagai pusat
kreativitas dan inovasi, saat ini sudah banyak kota yang telah memulai
transformasi sistem pangannya melalui berbagai prakarsa inovatif yang mendukung
prinsip keberlanjutan. Menariknya, prakarsa-prakarsa itu tidak
hanya dimotori oleh pemerintah, tetapi juga digagas dan dikembangkan oleh
warga. Prakarsa inovatif itu juga telah bersemi dan berkembang di kota-kota
belahan bumi utara ataupun selatan. Pada intinya prakarsa-prakarsa itu
menawarkan berbagai cara baru untuk menyediakan pangan bagi kota. Salah satu kota yang mau tak mau harus
mentransformasi sistem pangannya adalah Singapura. Negara kota itu punya
sasaran yang ambisius, memenuhi 30 persen kebutuhan pangannya sendiri pada
2030 (30 by 30 Plan), dan menggenapi sisanya dengan impor dari 170 negara dan
bertani di luar negeri. Untuk mencapainya, Singapura memerlukan
pendekatan holistik dan berjangka panjang dalam tata ruang, teknologi
pertanian-pangan (agrifood) dan pengembangan tenaga ahli pertanian lokal
(agrispecialists). Apa yang dilakukan Singapura tentu bisa
dilakukan kota-kota di Nusantara ini. Bahkan harus menjadi keniscayaan bahwa
sebagian besar kota kita lebih unggul. Keunggulan itu ditopang oleh
ketersediaan lahan (termasuk pekarangan), keberadaan lembaga pendidikan
menengah (SMK) dan pendidikan tinggi di bidang pertanian-pangan, serta budaya
pertanian yang masih kental karena masih kuatnya relasi kota-desa. Di sisi lain, pertanian kota (urban
farming) mulai berkembang di kota-kota kita dan telah menjangkau berbagai
kelompok usia, termasuk kelompok milenial. Yang menjadi tantangan adalah
bagaimana mengangkat kegiatan pertanian kota jadi lebih dari sekadar ”riasan”
(gimmick) kota yang hanya bertumpu pada hobi warga. Transformasi menuju sistem pangan kota
yang berkelanjutan akan memiliki dampak multidimensi. Secara ekonomi:
penguatan ketahanan pangan lokal akan dengan sendirinya meningkatkan
ketahanan ekonomi kota. Secara sosial: kemampuan produksi pangan
lokal yang melibatkan warga dari beragam status sosial-ekonomi akan membentuk
rantai pasok lokal yang inklusif. Secara lingkungan: semakin lokal rantai
pasok pangan tentu saja semakin rendah jejak lingkungannya—seperti jejak air
dan jejak karbon—begitu pula sirkularitas juga akan terbentuk ketika limbah
pangan dilibatkan sebagai sumber daya ”baru” dalam sistem pangan. Salah satu kota yang sedang mendapat
fasilitasi untuk menjalankan transformasi sistem pangannya adalah Semarang.
Di kota ini sedang berlangsung proyek Sustainable, Healthy, Inclusive Food
System Transformation (SHIFT) Bappenas-UNEP yang dilaksanakan Yayasan
Inisiatif Indonesia Biru Lestari (WAIBI) dan Unika Soegijapranata. Semarang adalah sebuah metropolitan yang
unik karena watak agrarisnya masih kuat. Hampir 32 persen dari kota seluas
373,7 kilometer persegi itu berupa lahan pertanian, dengan luas sawah lebih
dari 22 kilometer persegi dan sekitar 16 kilometer persegi telah ditetapkan
sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Tidak mengherankan jika tahun lalu
(2021) Semarang mampu memenuhi 15 persen dari kebutuhan berasnya sendiri,
selain daging ayam (67 persen), telur ayam (54 persen), dan berbagai buah
serta sayuran. Apa yang ada di Semarang tentu dijumpai
pula di banyak kota negeri ini. Untuk memastikan bahwa kota-kota kita dapat
menjadi penyumbang pangan diperlukan sebuah visi sistem pangan kota yang
tepat dan relevan dengan kondisi setiap kota. Perumusan visi itu mesti
melibatkan segenap pemangku kepentingan pertanian-pangan di tiap-tiap kota
karena pada gilirannya merekalah yang akan mewujudkan visi ini. Kalau Singapura ”berani” punya visi
30-30, kota-kota kita tidak boleh kalah.● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/14/kota-penyumbang-pangan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar