Dari Mana Biaya Membangun Proyek
Transisi Energi Retno Sulistyowati : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 23
Juli
2022
SELAMA berada di Jakarta,
agenda Kris Peeters sangat berwarna. Pada Selasa, 19 Juli lalu, Vice
President European Investment Bank (EIB) ini melenggang di “catwalk” Citayam
Fashion Week di kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat, bersama Gubernur DKI
Jakarta Anies Baswedan. Esoknya, Peeters bertandang ke kantor Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral dan membicarakan hal serius: pendanaan
transisi energi. Saat itu Peeters bersama
Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Piket, bertukar pikiran dengan
Menteri Energi Arifin Tasrif. Kepada Tempo, Kamis, 21 Juli lalu, Arifin
menceritakan pertemuan yang berlangsung selama satu jam itu. Peeters, kata
Arifin, menyatakan komitmen EIB mendanai sejumlah sektor strategis, terutama
yang berhubungan dengan isu perubahan iklim. “Dia happy dengan program
(transisi energi) yang kami siapkan,” ujarnya. Keseriusan EIB mendukung
Indonesia antara lain diwujudkan dengan pembukaan kantor perwakilan di
Jakarta. “Di Asia Tenggara cuma ada di Indonesia,” tutur Arifin. Hadirnya EIB
di Indonesia tak lepas dari lobi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Program transisi energi
memang diminati lembaga donor. Arifin mengatakan bukan hanya EIB yang
tertarik. Banyak lembaga keuangan internasional yang mengapresiasi komitmen
Indonesia mencapai net zero emission alias target nol emisi karbon pada 2060.
“Kita punya resources, potensinya sangat besar. Ini yang menyebabkan lembaga
pendanaan internasional tertarik.” Pemerintah telah membuat
peta jalan netral karbon untuk memenuhi Perjanjian Paris. Rencana itu memuat
tata waktu strategi penurunan emisi karbon dioksida (CO2) periode lima
tahunan, dimulai pada 2021. Hingga 2025, penurunan emisi ditargetkan 198 juta
ton CO2. Pada 2030 atau lima tahun kedua, target penurunan emisi sebesar 314
juta ton. Hingga 2060, pemerintah menargetkan penurunan emisi 1.526 juta ton
CO2. Arifin mengatakan saat ini
penurunan emisi Indonesia baru 84-85 juta ton CO2. Sektor kehutanan menjadi
pengurang emisi terbesar. Di sektor energi, penyumbang emisi terbanyak adalah
industri, termasuk transportasi dan pembangkit listrik yang sebagian besar
masih menggunakan batu bara. Batu bara dan sumber
energi fosil lain ternyata menjadi tantangan untuk bertransisi ke sumber
energi baru dan terbarukan (EBT). Sumber energi fosil membuat tarif listrik
kompetitif. Menurut data Kementerian Energi, cadangan batu bara per 19
Januari lalu sebanyak 31,7 miliar ton. Tahun lalu realisasi produksi batu
bara mencapai 614 juta ton atau 98,2 persen dari target. Namun hanya 21
persen atau 133 juta ton yang dipakai untuk pembangkit listrik dan kebutuhan
lain di dalam negeri. Regulasi yang mewajibkan
produsen batu bara memenuhi kebutuhan domestik (domestic market
obligation/DMO) membuat biaya produksi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU)
relatif rendah. “Harga DMO membantu pemerintah menyediakan listrik yang
terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah,” ucap Arifin. Indonesia juga memiliki
minyak dan gas bumi yang cukup banyak. Yang terbaru, ada temuan cadangan
minyak dan gas di Blok Andaman, perairan Selat Malaka, Aceh. Direktur
Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi Tutuka Ariadji menyebutkan
potensi gas di Andaman mencapai 6 triliun kaki kubik (TFC). Ada tiga blok yang sedang
digarap, yaitu Andaman I oleh Mubadala Petroleum asal Uni Emirat Arab,
Andaman II (Premier Oil asal Inggris), dan Andaman III (Repsol Andaman BV
asal Spanyol). “Kalau dikumpulkan, ketiganya bisa lebih besar dari Blok
Masela. Mungkin bisa jadi discovery terbesar di dunia,” ujar Tutuka pada
Rabu, 20 Juli lalu. Namun temuan ini tak bisa
menghalangi transisi energi. Menurut Menteri Arifin, Indonesia harus
melakukan beberapa hal untuk memenuhi komitmen penurunan emisi. Salah satu
yang bisa digarap cepat adalah konversi atau pengalihan pembangkit listrik
tenaga diesel ke gas. Program ini berjalan sejak 2020. “Kami berharap bisa
dipercepat.” Arifin menegaskan bahwa
program konversi energi bermanfaat ganda, yakni mengurangi emisi hingga 50
persen dan lebih menghemat biaya. Apalagi saat ini harga minyak melambung.
Dengan konversi energi, kata dia, Indonesia bisa menghemat anggaran lebih
dari US$ 120 juta per tahun. Dalam konversi ini diperlukan gas 80 juta kaki
kubik per hari (MMSCFD). Upaya ini pun butuh dana besar. Hitung-hitungan
pemerintah mendapati program transisi energi memerlukan anggaran US$ 1
triliun atau sekitar Rp 15 ribu triliun. Arifin menyebutkan banyak
inisiatif pendanaan dari luar negeri. Dia memberi contoh, Bank Dunia
menyiapkan US$ 5 miliar. Komitmen dukungan juga datang antara lain dari
Kreditanstalt für Wiederaufbau Bankengruppe, Agence Française de
Développement, dan Bank Pembangunan Asia (ADB). Arifin pun menyebutkan
lembaga asal Jepang menyampaikan komitmen pembiayaan US$ 10 miliar.
“Bagaimana (dana) itu nanti bisa ditampung, apakah sistem blended financing
yang memungkinkan semua masuk ke situ, nanti disalurkan ke sektor prioritas.” Pemerintah, Arifin
menambahkan, menyiapkan program yang bisa dikerjakan lebih dulu dan menjadi
prioritas untuk dibiayai. Lembaga donor meminta kepastian regulasi yang bisa
memberi gambaran tentang tingkat pengembalian (return) yang baik. Bagi lembaga donor,
Indonesia bernilai tinggi karena memiliki sumber energi terbarukan.
Kementerian Energi mencatat potensi energi surya sebesar 3.295 gigawatt (GW)
dan yang baru dimanfaatkan 217 megawatt. Sumber lain adalah energi hidro 95
GW, bioenergi 57 GW, bayu 155 GW, panas bumi 24 GW, dan arus laut 60 GW. Pemerintah juga
mematangkan regulasi pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Direktur
Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi
Dadan Kusdiana mengatakan ihwal PLTN ada dalam Rancangan Undang-Undang Energi
Baru dan Terbarukan serta Undang-Undang Ketenaganukliran. PLTN akan masuk
sistem kelistrikan pada 2040 untuk mengimbangi intermitensi energi surya dan
angin. “Perlu ada baseload, menggantikan energi surya yang tidak ada pada
malam hari.” ••• LADANG angin seluas 100
hektare di perbukitan Kecamatan Watang Pulu, Kabupaten Sidenreng Rappang,
Sulawesi Selatan, berproduksi optimal pada Rabu, 13 Juli lalu. Sebanyak 30
kincir angin yang masing-masing bisa menghasilkan 2,5 megawatt (MW) listrik
berputar kencang di area pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) milik PT UPC
Renewables Indonesia, anak usaha UPC Renewables Limited asal Hong Kong. Di sekitar tiang-tiang
turbin yang menjulang itu, tanaman jagung menghampar. Warga Tonrongnge, Dusun
Pabbaresseng, sedang memanen jagung ketika Tempo berkunjung ke Desa
Mattirotasi siang itu. Sampah sisa tanaman jagung yang dibakar menumpuk di
bawah tiang Turbin 4. PLTB Sidrap yang menelan
investasi US$ 150 juta atau Rp 2,24 triliun adalah salah satu proyek EBT yang
mendapat pembiayaan dari lembaga keuangan global. Senior Developer UPC
Renewables Indonesia Niko Priyambada mengatakan tak sulit mencari pembiayaan
proyek ini lima tahun lalu. Niko mengklaim UPC memiliki
rekam jejak membangun proyek EBT di berbagai negara. Dia memberi contoh PLTB
Khalladi 120 MW di Maroko dan PLTB Feicheng I 49,5 MW di Zhejiang, Cina. Ada
pula dua proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di India, yaitu PLTS
Paryapt 50 MW di Gujarat dan PLTS Sitara 100 MW di Rajasthan. UPC juga sedang
menyelesaikan konstruksi PLTB di Vietnam serta PLTS di Australia dan India. Menurut Niko, beberapa
lembaga pembiayaan yang pernah bekerja sama dengan UPC menawarkan pinjaman
untuk PLTB Sidrap yang berkapasitas 75 MW. Pada 2017, UPC mendapat pendanaan
dari The Overseas Private Investment Corporation—sekarang bernama United
States International Development Finance Corporation. Setahun kemudian, PT
Indonesia Infrastructure Finance (IIF) ikut membiayai PLTB Sidrap. IIF, yang
didirikan PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) bersama Bank Dunia, ADB,
International Finance Corporation, dan Deutsche Investitions-und
Entwicklungsgesellschaft mbH (DEG), membuka peluang masuknya investor swasta.
Pada 2020, UPC melakukan refinancing. Yang mendanai kini Sumitomo Mitsui
Banking Corporation (SMBC), PT Bank BTPN (dulu bernama SMBC Indonesia), DEG,
SMI, dan IIF. PT Perusahaan Listrik
Negara (Persero) alias PLN ikut menggalang dana untuk membiayai transisi
energi. Salah satunya berupa fasilitas penerusan pinjaman luar negeri dari
pemerintah (subsidiary loan agreement). PLN juga mencari pinjaman langsung
dari beberapa lembaga keuangan. Sebagai contoh, proyek pembangkit listrik
tenaga panas bumi Sorik Merapi 240 MW di Mandailing Natal, Sumatera Utara,
yang menelan investasi Rp 2,6 triliun dibiayai Bank Dunia. PLN juga akan mendapat
pinjaman dari AFD untuk menggarap PLTB. Vice President Komunikasi Korporat
PLN Gregorius Adi Trianto mengatakan ADB mengkaji penghentian dini (early
retirement) PLTU. “Saat ini belum ditetapkan nilainya.” Transisi energi juga
dibahas dalam pertemuan menteri keuangan dan bank sentral negara anggota G20
di Nusa Dua, Bali, pada Sabtu, 16 Juli lalu. Pertemuan ini membicarakan peta
jalan keuangan berkelanjutan G20. Hasilnya adalah kerangka kerja untuk
transisi keuangan, peningkatan kredibilitas komitmen lembaga keuangan bagi
transisi energi menuju net zero emission, dan peningkatan instrumen keuangan
berkelanjutan. "Ini momentum untuk memanggil anggota G20 dan negara lain
untuk memberikan komitmen pendanaan perubahan iklim dengan inisiatif yang
nyata dan dapat diterapkan,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar