Minggu, 24 Juli 2022

 

Dari Mana Biaya Membangun Proyek Transisi Energi

Retno Sulistyowati :  Jurnalis Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 23 Juli 2022

 

 

                                                           

SELAMA berada di Jakarta, agenda Kris Peeters sangat berwarna. Pada Selasa, 19 Juli lalu, Vice President European Investment Bank (EIB) ini melenggang di “catwalk” Citayam Fashion Week di kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat, bersama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Esoknya, Peeters bertandang ke kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan membicarakan hal serius: pendanaan transisi energi.

 

Saat itu Peeters bersama Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Piket, bertukar pikiran dengan Menteri Energi Arifin Tasrif. Kepada Tempo, Kamis, 21 Juli lalu, Arifin menceritakan pertemuan yang berlangsung selama satu jam itu. Peeters, kata Arifin, menyatakan komitmen EIB mendanai sejumlah sektor strategis, terutama yang berhubungan dengan isu perubahan iklim. “Dia happy dengan program (transisi energi) yang kami siapkan,” ujarnya.

 

Keseriusan EIB mendukung Indonesia antara lain diwujudkan dengan pembukaan kantor perwakilan di Jakarta. “Di Asia Tenggara cuma ada di Indonesia,” tutur Arifin. Hadirnya EIB di Indonesia tak lepas dari lobi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

 

Program transisi energi memang diminati lembaga donor. Arifin mengatakan bukan hanya EIB yang tertarik. Banyak lembaga keuangan internasional yang mengapresiasi komitmen Indonesia mencapai net zero emission alias target nol emisi karbon pada 2060. “Kita punya resources, potensinya sangat besar. Ini yang menyebabkan lembaga pendanaan internasional tertarik.”

 

Pemerintah telah membuat peta jalan netral karbon untuk memenuhi Perjanjian Paris. Rencana itu memuat tata waktu strategi penurunan emisi karbon dioksida (CO2) periode lima tahunan, dimulai pada 2021. Hingga 2025, penurunan emisi ditargetkan 198 juta ton CO2. Pada 2030 atau lima tahun kedua, target penurunan emisi sebesar 314 juta ton. Hingga 2060, pemerintah menargetkan penurunan emisi 1.526 juta ton CO2.

 

Arifin mengatakan saat ini penurunan emisi Indonesia baru 84-85 juta ton CO2. Sektor kehutanan menjadi pengurang emisi terbesar. Di sektor energi, penyumbang emisi terbanyak adalah industri, termasuk transportasi dan pembangkit listrik yang sebagian besar masih menggunakan batu bara.

 

Batu bara dan sumber energi fosil lain ternyata menjadi tantangan untuk bertransisi ke sumber energi baru dan terbarukan (EBT). Sumber energi fosil membuat tarif listrik kompetitif. Menurut data Kementerian Energi, cadangan batu bara per 19 Januari lalu sebanyak 31,7 miliar ton. Tahun lalu realisasi produksi batu bara mencapai 614 juta ton atau 98,2 persen dari target. Namun hanya 21 persen atau 133 juta ton yang dipakai untuk pembangkit listrik dan kebutuhan lain di dalam negeri.

 

Regulasi yang mewajibkan produsen batu bara memenuhi kebutuhan domestik (domestic market obligation/DMO) membuat biaya produksi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) relatif rendah. “Harga DMO membantu pemerintah menyediakan listrik yang terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah,” ucap Arifin.

 

Indonesia juga memiliki minyak dan gas bumi yang cukup banyak. Yang terbaru, ada temuan cadangan minyak dan gas di Blok Andaman, perairan Selat Malaka, Aceh. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi Tutuka Ariadji menyebutkan potensi gas di Andaman mencapai 6 triliun kaki kubik (TFC).

 

Ada tiga blok yang sedang digarap, yaitu Andaman I oleh Mubadala Petroleum asal Uni Emirat Arab, Andaman II (Premier Oil asal Inggris), dan Andaman III (Repsol Andaman BV asal Spanyol). “Kalau dikumpulkan, ketiganya bisa lebih besar dari Blok Masela. Mungkin bisa jadi discovery terbesar di dunia,” ujar Tutuka pada Rabu, 20 Juli lalu.

 

Namun temuan ini tak bisa menghalangi transisi energi. Menurut Menteri Arifin, Indonesia harus melakukan beberapa hal untuk memenuhi komitmen penurunan emisi. Salah satu yang bisa digarap cepat adalah konversi atau pengalihan pembangkit listrik tenaga diesel ke gas. Program ini berjalan sejak 2020. “Kami berharap bisa dipercepat.”

 

Arifin menegaskan bahwa program konversi energi bermanfaat ganda, yakni mengurangi emisi hingga 50 persen dan lebih menghemat biaya. Apalagi saat ini harga minyak melambung. Dengan konversi energi, kata dia, Indonesia bisa menghemat anggaran lebih dari US$ 120 juta per tahun. Dalam konversi ini diperlukan gas 80 juta kaki kubik per hari (MMSCFD). Upaya ini pun butuh dana besar. Hitung-hitungan pemerintah mendapati program transisi energi memerlukan anggaran US$ 1 triliun atau sekitar Rp 15 ribu triliun.

 

Arifin menyebutkan banyak inisiatif pendanaan dari luar negeri. Dia memberi contoh, Bank Dunia menyiapkan US$ 5 miliar. Komitmen dukungan juga datang antara lain dari Kreditanstalt für Wiederaufbau Bankengruppe, Agence Française de Développement, dan Bank Pembangunan Asia (ADB). Arifin pun menyebutkan lembaga asal Jepang menyampaikan komitmen pembiayaan US$ 10 miliar. “Bagaimana (dana) itu nanti bisa ditampung, apakah sistem blended financing yang memungkinkan semua masuk ke situ, nanti disalurkan ke sektor prioritas.”

 

Pemerintah, Arifin menambahkan, menyiapkan program yang bisa dikerjakan lebih dulu dan menjadi prioritas untuk dibiayai. Lembaga donor meminta kepastian regulasi yang bisa memberi gambaran tentang tingkat pengembalian (return) yang baik.

 

Bagi lembaga donor, Indonesia bernilai tinggi karena memiliki sumber energi terbarukan. Kementerian Energi mencatat potensi energi surya sebesar 3.295 gigawatt (GW) dan yang baru dimanfaatkan 217 megawatt. Sumber lain adalah energi hidro 95 GW, bioenergi 57 GW, bayu 155 GW, panas bumi 24 GW, dan arus laut 60 GW.

 

Pemerintah juga mematangkan regulasi pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi Dadan Kusdiana mengatakan ihwal PLTN ada dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan serta Undang-Undang Ketenaganukliran. PLTN akan masuk sistem kelistrikan pada 2040 untuk mengimbangi intermitensi energi surya dan angin. “Perlu ada baseload, menggantikan energi surya yang tidak ada pada malam hari.”

 

•••

 

LADANG angin seluas 100 hektare di perbukitan Kecamatan Watang Pulu, Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, berproduksi optimal pada Rabu, 13 Juli lalu. Sebanyak 30 kincir angin yang masing-masing bisa menghasilkan 2,5 megawatt (MW) listrik berputar kencang di area pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) milik PT UPC Renewables Indonesia, anak usaha UPC Renewables Limited asal Hong Kong.

 

Di sekitar tiang-tiang turbin yang menjulang itu, tanaman jagung menghampar. Warga Tonrongnge, Dusun Pabbaresseng, sedang memanen jagung ketika Tempo berkunjung ke Desa Mattirotasi siang itu. Sampah sisa tanaman jagung yang dibakar menumpuk di bawah tiang Turbin 4.

 

PLTB Sidrap yang menelan investasi US$ 150 juta atau Rp 2,24 triliun adalah salah satu proyek EBT yang mendapat pembiayaan dari lembaga keuangan global. Senior Developer UPC Renewables Indonesia Niko Priyambada mengatakan tak sulit mencari pembiayaan proyek ini lima tahun lalu.

 

Niko mengklaim UPC memiliki rekam jejak membangun proyek EBT di berbagai negara. Dia memberi contoh PLTB Khalladi 120 MW di Maroko dan PLTB Feicheng I 49,5 MW di Zhejiang, Cina. Ada pula dua proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di India, yaitu PLTS Paryapt 50 MW di Gujarat dan PLTS Sitara 100 MW di Rajasthan. UPC juga sedang menyelesaikan konstruksi PLTB di Vietnam serta PLTS di Australia dan India.

 

Menurut Niko, beberapa lembaga pembiayaan yang pernah bekerja sama dengan UPC menawarkan pinjaman untuk PLTB Sidrap yang berkapasitas 75 MW. Pada 2017, UPC mendapat pendanaan dari The Overseas Private Investment Corporation—sekarang bernama United States International Development Finance Corporation.

 

Setahun kemudian, PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF) ikut membiayai PLTB Sidrap. IIF, yang didirikan PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) bersama Bank Dunia, ADB, International Finance Corporation, dan Deutsche Investitions-und Entwicklungsgesellschaft mbH (DEG), membuka peluang masuknya investor swasta. Pada 2020, UPC melakukan refinancing. Yang mendanai kini Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC), PT Bank BTPN (dulu bernama SMBC Indonesia), DEG, SMI, dan IIF.

 

PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) alias PLN ikut menggalang dana untuk membiayai transisi energi. Salah satunya berupa fasilitas penerusan pinjaman luar negeri dari pemerintah (subsidiary loan agreement). PLN juga mencari pinjaman langsung dari beberapa lembaga keuangan. Sebagai contoh, proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi Sorik Merapi 240 MW di Mandailing Natal, Sumatera Utara, yang menelan investasi Rp 2,6 triliun dibiayai Bank Dunia.

 

PLN juga akan mendapat pinjaman dari AFD untuk menggarap PLTB. Vice President Komunikasi Korporat PLN Gregorius Adi Trianto mengatakan ADB mengkaji penghentian dini (early retirement) PLTU. “Saat ini belum ditetapkan nilainya.”

 

Transisi energi juga dibahas dalam pertemuan menteri keuangan dan bank sentral negara anggota G20 di Nusa Dua, Bali, pada Sabtu, 16 Juli lalu. Pertemuan ini membicarakan peta jalan keuangan berkelanjutan G20. Hasilnya adalah kerangka kerja untuk transisi keuangan, peningkatan kredibilitas komitmen lembaga keuangan bagi transisi energi menuju net zero emission, dan peningkatan instrumen keuangan berkelanjutan. "Ini momentum untuk memanggil anggota G20 dan negara lain untuk memberikan komitmen pendanaan perubahan iklim dengan inisiatif yang nyata dan dapat diterapkan,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/166492/dari-mana-biaya-membangun-proyek-transisi-energi

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar