Mengapa BNN Menolak
Legalisasi Ganja Raymundus Rikang : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 16
Juli
2022
BADAN Narkotika Nasional
(BNN) lantang menolak rencana legalisasi ganja (Cannabis sativa). Koordinator
Kelompok Ahli BNN Ahwil Loetan mengatakan ganja masih masuk narkotik golongan
I dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sehingga tak
boleh dipakai untuk pelayanan kesehatan. Meski begitu, purnawirawan komisaris
jenderal ini mengatakan BNN membuka peluang agar kanabis bisa diteliti oleh
Kementerian Kesehatan. Kepada Agung Sedayu dan
Raymundus Rikang dari Tempo di kantornya pada Selasa, 12 Juli lalu, Ahwil
Loetan mengatakan khasiat ganja untuk kesehatan masih perlu ditinjau dan
dibuktikan dengan riset dan uji klinis. “Jangan gara-gara satu orang
demonstrasi lalu kita melegalisasi ganja,” ujar Ahwil. Mengapa
BNN menolak legalisasi ganja? Tidak ada ceritanya ganja
dilegalkan. Kami pasti menolak jika wacananya adalah legalisasi ganja.
Undang-undang mengatur bahwa narkotik golongan I, termasuk ganja, dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan riset medis. Prosedur ini
yang diizinkan oleh undang-undang. Apakah
harus meminta izin kepada BNN untuk meneliti khasiat ganja buat kesehatan? Kementerian Kesehatan atau
Balai Besar Penelitian Tanaman Obat dan Obat Tradisional pasti mengajukan
izin atau surat kepada kami. Berdasarkan undang-undang, BNN yang ditunjuk
sebagai vocal point dalam penanganan narkotik. Intinya harus berkoordinasi. BNN
akan mendukung? Sepanjang untuk
kepentingan riset dan pengetahuan, kami akan mendukung. Yang dilarang itu
adalah penyalahgunaan narkotika. Toh, prosesnya masih sangat panjang karena,
selain riset, pasti ada uji klinis dan pengajuan izin penggunaan obatnya ke
Badan Pengawas Obat dan Makanan. Wacana
legalisasi ganja medis terus bergulir. Negara seperti Thailand juga
menerapkan kebijakan itu. Bagaimana tanggapan Anda? Thailand bisa menerapkan
kebijakan itu karena ditunjang infrastruktur bioteknologi yang sangat baik.
Mereka mungkin melakukan rekayasa genetik pada tanaman ganja sehingga punya
kandungan cannabidiol (CBD) yang tinggi. Tanaman ganja di Indonesia itu
CBD-nya di bawah 1 persen, sementara tetrahydrocannabinol-nya tinggi sekitar
18 persen. Padahal yang berguna untuk medis itu kandungan CBD, bukan THC yang
bisa menimbulkan halusinasi. Ada
pasien di Indonesia yang merasakan manfaat terapi ganja. Apa respons Anda? Belum ada penelitian yang
meyakinkan dunia kesehatan soal manfaat ganja. Selama ini orang mencoba-coba
saja. Itu yang membuat banyak orang memakai. Dunia kesehatan saat ini sedang
berlomba-lomba meneliti dan mencari manfaat ganja. BNN
justru menangkap mereka dengan dalih penyalahgunaan narkotik. Apakah itu benar-benar
efek yang dirasakan pasien? Saya tanya-tanya ke dokter dan mereka juga tak
bisa memastikan. Para dokter pasti berpegangan pada evidence-based. Kami
berpatokan pada UU Narkotika. Sejauh Anda memakai dan menyalahgunakan, Anda
salah. Jangan gara-gara satu orang demonstrasi lalu kita membuka legalisasi
ganja. Sedikit saja dibuka, makin banyak orang memakai. Jadi jangan coba-coba
membuka legalisasi ganja. Itu lebih banyak mudaratnya. Akhirnya
orang takut memakai dan diam-diam menanamnya karena butuh untuk pengobatan. Sepanjang tidak ketahuan,
tidak apa-apa. Begitu ketahuan, Anda akan berurusan dengan hukum.
Undang-undang masih melarang pemakaian apalagi budi daya tanaman ganja.
Aturan itu pun sudah membuka ruang untuk pemanfaatan lain dalam koridor
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Riset itu bisa berhasil atau
gagal. BNN
tidak ikut dalam rencana legalisasi ganja dan riset ganja untuk obat? Itu bukan tugas BNN, tapi
otoritas Kementerian Kesehatan. Saya mendengar Kementerian Kesehatan sudah
menyiapkan peraturan yang berisi riset tanaman ganja untuk medis. Jika suatu
saat nanti Kementerian meminta masukan BNN, kami akan memberikannya. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/laporan-utama/166430/mengapa-bnn-menolak-legalisasi-ganja |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar