Benarkah Harga Listrik EBT Mahal?
Wawancara Dirjen EBTKE Dody Hidayat : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 23
Juli
2022
PEMERINTAH terus mendorong
pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT). Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral menargetkan porsi EBT mencapai 23 persen dalam bauran energi
primer 2025. Selain menjalankan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik
(RUPTL) 2021-2030, pemerintah mendorong sejumlah strategi. Menurut Direktur Jenderal
Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana, salah
satu caranya adalah menerapkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral Nomor 26 Tahun 2021 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap
(PLTS Atap). “PLTS atap karena itu tidak masuk RUPTL,” kata Dadan. Wawancara
Dirjen EBTKE dilakukan pada Selasa, 19 Juli lalu. Benarkah
pembangunan pembangkit listrik EBT mahal? Siapa bilang listrik EBT
mahal. Sekarang kita lihat saja harga batu bara US$ 200-an per ton. Kalau
diubah menjadi listrik per kilowatt-jam (kWh) berapa? Kira-kira hitungannya
itu 1 kilogram batu bara menjadi 1 kWh. Kalau harga batu bara US$ 200 per
ton, harga listriknya US$ 20 sen. Artinya
bisa bersaing dengan pembangkit fosil? Tinggal dilihat saja
angkanya. Iya, harga batu bara nanti bisa turun. Tapi untuk EBT kami pastikan
tidak akan naik. Malah dari sisi kebijakan harga yang sekarang masih disusun,
harganya tinggi di awal, setelah itu turun. Kenapa tinggi di awal? Supaya
investasinya menarik. Kalau
harga batu bara normal kembali, apakah EBT masih bisa kompetitif? Mungkin pertanyaan
spesifiknya, di tingkat harga berapa akan kompetitif? Sekarang kita
bandingkan saja dengan yang sudah terkontrak, misalnya biaya listrik PLTS
(pembangkit listrik tenaga surya) terapung di Cirata US$ 5,6 sen per kWh. Itu
saat harga batu bara US$ 70-an. Sekarang
harga listrik EBT lebih kompetitif. Semestinya lebih banyak pembangkit EBT? Saat ini buat Indonesia
adalah waktu yang tepat untuk EBT karena nilai keekonomiannya lagi
bagus-bagusnya. Tentu ada penghalang, seperti kelebihan pasokan dan pasokan
yang dilindungi oleh take or pay itu. Mengapa
regulasi-regulasi EBT, seperti tentang PLTS atap, tidak bisa dieksekusi? Perusahaan Listrik Negara
(PLN) secara terbuka menyampaikan 15 persen kapasitas yang bisa dipakai untuk
PLTS atap. Meski secara legal itu sesuai dengan peraturan Menteri ESDM,
secara teknis tidak benar karena keekonomiannya tidak menarik. Kami bersama
PLN menyusun pedoman teknis. Jadi kapan sebetulnya bisa 100 persen, kapan
bisa 50 persen, atau kapan harus lebih rendah dari itu. PLN
mengatakan PLTS atap akan mengganggu sistem? Iya. Saya juga sepakat
kalau itu ditaruh di satu tempat di dalam satu trafo, skala besar. Kami sudah
memasang alat untuk mengukur iradiasi surya, khususnya di Jawa, sekarang
sudah pasang 50 alat. Kami sedang mengumpulkan bukti-bukti bahwa PLTS atap
tak akan menurunkan kualitas listrik PLN. Menteri
Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam G20 menyebutkan kebutuhan transisi energi
Rp 3.500 triliun. Apa anggaran paling besar di Kementerian ESDM? Mungkin banyak versi
angka. Kami juga punya, basisnya tergantung pembangkit apa yang akan
didorong. Pada 2060, kalau menurut proyeksi kami, pembangkit listrik EBT di
Indonesia mencapai 580 gigawatt. Road map itu disusun dengan teknologi yang
ada sekarang. Kita tahu potensi terbesar adalah energi surya. Nanti akan ada
pembangkit surya yang sangat besar. Pembangkit hidro masih banyak yang bisa
dioptimalkan. Kemudian pembangkit bayu, sekarang bisa kita lihat banyak
wilayah yang punya potensi angin yang sangat bagus untuk ukuran kita. Apakah
proyeksi 2060 itu mencakup pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN)? Dalam simulasi kami
masukkan nuklir pada 2040-2050. Regulasi
tentang PLTN sudah matang? Dalam rancangan
undang-undang EBT kan sudah masuk. Dalam Undang-Undang Ketenaganukliran juga
sudah ada. Mengapa tahun 2040? Untuk mengimbangi intermitensi pembangkit
surya dan bayu, perlu ada baseload. Nanti baseload itu secara bergantian akan
datang dari surya di siang dan harus ada pengganti. Salah satunya nuklir,
bisa juga baterai atau hidrogen. Untuk
mendorong lebih banyak pembangkit listrik EBT, apa lagi yang akan dilakukan
selain menggenjot permintaan? Kalau basisnya on-grid,
kita bisa merujuk ke RUPTL. Tapi kami juga mendorong yang lain, PLTS atap
karena itu tidak masuk RUPTL. Yang kedua co-firing—campuran batu bara dengan
biomassa—akan kami dorong karena basisnya tidak menambah kapasitas dan bisa
dipakai untuk keperluan sendiri, seperti oleh pabrik kelapa sawit, pulp and
paper, pabrik semen. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar