Minggu, 17 Juli 2022

 

Mereka yang Sembuh Karena Manfaat Ganja

Agung Sedayu :  Jurnalis Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 16 Juli 2022

 

 

                                                           

BAGI Clarissa, bukan nama sebenarnya, ganja telah lama menjadi penyelamat. Sejak enam tahun lalu perempuan 30 tahun ini merasakan manfaat ganja setelah secara diam-diam rutin meminum minyak dari ekstrak biji ganja. “Untuk mengobati sakit radang sendi kronis,” katanya saat ditemui Tempo di sebuah restoran di Jakarta Selatan, Rabu, 13 Juli lalu.

 

Radang menjangkiti sendi-sendi Clarissa saat dia duduk di bangku sekolah menengah atas. Makin lama penyakit itu makin parah. Dia sering jatuh karena sendi kakinya tiba-tiba kehilangan tenaga. “Kalau sakitnya kambuh, semua jari saya tak bisa ditekuk. Sangat sakit,” ujar Clarissa, kini karyawan swasta di sebuah kantor di Jalan Sudirman, Jakarta.

 

Dokter sempat menyarankan dia mengkonsumsi steroid. Masalahnya, steroid hanya mengobati peradangan sementara dan memiliki dampak buruk ke tubuh jika dikonsumsi dalam jangka panjang. Fungsi hati, ginjal, dan reproduksi bisa terganggu, pertumbuhan tulang pun terhambat.

 

Clarissa mencoba mencari berbagai obat alternatif. Hingga suatu kali ia menemukan artikel yang berisi manfaat minyak ganja untuk mengobati radang sendi. Tapi di Indonesia belum ada yang menjual minyak ekstrak ganja tersebut. Clarissa lantas membeli minyak itu melalui kenalannya di Amerika Serikat dengan harga US$ 30 per botol.

 

Setelah Clarissa mengkonsumsi minyak ganja, radang sendinya lenyap sementara. Dia pun bisa bekerja secara normal. Namun, saat stok minyak ganja habis dan nyeri sendinya kumat, Clarissa mau tak mau terpaksa mengisap ganja yang didapat dari temannya. Efeknya kurang-lebih sama dengan minyak ganja. “Gunakan secukupnya. Saya tak pernah ketagihan,” ucapnya.

 

Koordinator Kelompok Ahli Badan Narkotika Nasional (BNN) Ahwil Loetan mengakui ada banyak orang mengkonsumsi ganja secara diam-diam untuk pengobatan. “Sepanjang tidak ketahuan, tidak apa-apa. Begitu ketahuan, Anda berurusan dengan hukum,” ujar Ahwil dalam wawancara khusus dengan Tempo, Selasa, 12 Juli lalu.

 

Undang-Undang Narkotika memasukkan ganja sebagai narkotik golongan I yang terlarang. Mereka yang berpenyakit berat harus berakrobat untuk mendapatkan ganja sambil menghindari risiko ditangkap penegak hukum. Namun sebagian di antaranya bernasib apes. (Baca: Ganja dalam Angka)

 

Reyndhart Rossy Siahaan, 40 tahun, warga Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, salah satunya. Pada 2015, Rossy mengalami sakit saraf terjepit hingga ia tidak bisa bekerja. Ia mencoba berobat ke berbagai rumah sakit, tapi tak kunjung pulih. Hingga akhirnya ia membeli ganja dari seorang pengedar di kotanya.

 

Rossy mengkonsumsi air rebusan ganja pada Oktober 2019. “Sejak minum air rebusan ganja itu, dia mulai sembuh dari sakitnya,” tutur Harie Nugraha Cristen Lay, kuasa hukum Rossy. pada Selasa, 12 Juli lalu. Sebulan setelah membeli ganja, Rossy ditangkap polisi. Penegak hukum menemukan 428 gram daun ganja kering di kontrakannya di Wae Kelambu, Manggarai Barat.

 

Pengadilan Negeri Kupang menjatuhkan hukuman 10 bulan penjara, dua bulan lebih ringan dari tuntutan jaksa. Dalam amar putusan pengadilan, majelis hakim menyatakan memberi keringanan hukuman karena Rossy mengkonsumsi ganja untuk keperluan pengobatan.

 

Nasib serupa dialami Ardian Aldiano, 33 tahun, warga Perumahan Wisma Lidah Kulon, Surabaya. Ardian ditangkap polisi karena menanam ganja untuk pengobatan epilepsi. Ardian mengidap epilepsi sejak duduk di sekolah menengah pertama. Penyakit itu kerap kambuh saat dia sedang tidur.

 

Kondisi itu terus berlanjut hingga Ardian menikah. “Pada malam hari pernikahan, penyakitnya kambuh, istrinya panik,” ujar Singgih Tomi Gumilang, 36 tahun, salah satu pengacara Ardian. Menurut Tomi, Ardian sudah berobat ke banyak rumah sakit dan mencoba berbagai pengobatan tradisional, tapi tak kunjung sembuh.

 

Pada 2017, dia mendapat informasi bahwa ganja bisa digunakan untuk mengobati penyakit kejang. Ardian lantas membeli ganja dari seorang bandar di Malang, Jawa Timur. “Sejak itu serangan epilepsi jarang kambuh dan dia bisa meninggalkan obat biasa,” ucap Tomi.

 

Ardian berinisiatif menanam ganja secara hidroponik di halaman belakang rumahnya. Pada 27 Februari 2020, polisi menggerebek rumahnya dan menemukan 27 pohon ganja. Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Tomi menilai hukuman itu terlalu berat karena Ardian tidak menggunakan ganja untuk teler.

 

Kisah tragis juga pernah dialami Fidelis Arie Sudewarto, warga Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, pada 2017. Fidelis menggunakan ganja untuk mengobati istrinya, Yeni Irawati, yang mengidap syringomyelia atau tumbuhnya kista berisi cairan dalam sumsum tulang belakang.

 

Kondisi Yeni membaik setelah dia mengkonsumsi ganja. Namun Badan Narkotika Nasional menangkap Fidelis pada Februari 2017. Sekitar satu bulan kemudian, saat Fidelis menjadi tahanan, kondisi kesehatan Yeni memburuk dan akhirnya meninggal. Adapun Fidelis divonis 8 bulan penjara dan denda Rp 1 miliar.

 

Jeratan hukum ini membuat banyak orang tak berani menggunakan ganja untuk keperluan medis. Singgih Tomi Gumilang salah satunya. Ia menahan diri untuk memberikan ganja kepada adik perempuannya, Mita, 31 tahun, yang menderita cerebral palsy atau kelumpuhan otak sejak usia 6 bulan. Hingga kini Mita hanya bisa berbaring dan tak bisa bicara.

 

“Saya berharap pemerintah segera menjalankan legalisasi ganja medis,” ujarnya. Dari literatur yang Tomi baca, ganja bisa menjadi alternatif pengobatan bagi penyandang cerebral palsy. Selain itu, ia mendapat cerita dari temannya, Dwi Pertiwi, yang pernah menjalankan terapi ganja medis untuk putranya yang juga menderita kelumpuhan otak.

 

Putra Dwi, Musa Ibnu Hassan Pedersen, terkena pneumonia atau infeksi yang membuat peradangan pada kantong udara paru-paru saat berusia 40 hari. Akibat salah diagnosis dan pengobatan, penyakit Musa berkembang menjadi meningitis yang menyerang otak.

 

Dwi lantas membawa Musa ke Australia untuk menjalani terapi ganja medis selama satu bulan pada 2016. Terapi itu membuat kondisi Musa yang berusia 16 tahun membaik. Lendir di paru-parunya berkurang dan dia tidak lagi kejang. Namun, setelah kembali ke Indonesia, kondisi Musa memburuk. Tanpa terapi ganja medis, produksi lendir di paru-parunya meningkat. Musa berpulang pada 26 Desember 2020 setelah berjuang melawan sesak napas.

 

Tragedi itu menjadi salah satu pemicu munculnya gugatan terhadap sejumlah pasal di Undang-Undang Narkotika yang melarang ganja digunakan untuk kepentingan kesehatan. Gugatan ke Mahkamah Konstitusi tersebut diajukan oleh Dwi bersama Santi Warastuti dan Nafiah Murhayanti, dua ibu yang anaknya juga menderita cerebral palsy.

 

Sejumlah lembaga seperti Perkumpulan Rumah Cemara, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat ikut serta menggugat. “Ada kerancuan di Undang-Undang Narkotika,” tutur peneliti ICJR, ​​Iftitahsari.

 

Pasal 4 Undang-Undang Narkotika menyatakan bahwa aturan itu bertujuan menjamin ketersediaan narkotik untuk pelayanan kesehatan. Namun pasal 8 justru melarang penggunaan narkotik golongan I, seperti ganja, untuk pelayanan kesehatan. Maret lalu, proses persidangan di Mahkamah Konstitusi rampung. Tapi putusan tak kunjung terbit.

 

Pada Ahad, 26 Juni lalu, Santi Warastuti bersama suaminya, Sunarta, berjalan kaki dari kawasan Bundaran Hotel Indonesia sambil mendorong stroller yang dinaiki putri mereka, Pika Sasikirana. Mereka juga membawa kanvas putih bertulisan “Tolong, anakku butuh ganja medis”. Aksi itu mengundang simpati publik.

 

Empat hari kemudian, Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat mengundang Santi dalam rapat dengar pendapat soal legalisasi ganja medis. Sejumlah anggota Komisi Hukum menyatakan dukungan untuk mengubah pasal larangan ganja medis.

 

Wakil Ketua Komisi Hukum Desmond J. Mahesa mengatakan DPR akan mengkaji kemungkinan mengeluarkan ganja dari daftar narkotik golongan I melalui revisi Undang-Undang Narkotika. “Agar bisa diakses oleh masyarakat yang membutuhkan pengobatan,” kata politikus Partai Gerindra tersebut.

 

Badan Narkotika Nasional berkukuh menolak legalisasi ganja medis. Koordinator Kelompok Ahli BNN Ahwil Loetan mengatakan lembaganya hanya mendukung riset ganja medis. Ahwil beralasan tanaman ganja yang tumbuh di Indonesia tak cocok untuk obat karena banyak mengandung zat tetrahydrocannabinol (THC), yang berdampak negatif pada tubuh.

 

“Sedangkan kandungan zat cannabidiol yang berfungsi sebagai obat justru rendah,” ujar Ahwil saat ditemui Tempo di kantornya, Selasa, 12 Juli lalu. (Baca: Main Tilap Penyidik Narkotik)

 

Pernyataan Ahwil dibantah oleh peneliti Yayasan Sativa Nusantara, Inang Winarso, yang menilai kandungan ganja di Indonesia tak berbeda jauh dari negara lain. Menurut dia, tingkat kandungan cannabidiol tidak ditentukan oleh tempat tumbuhnya, melainkan usia tanaman. “Makin tua akan makin tinggi kadar cannabidiol dan kadar tetrahydrocannabinol makin rendah.”

 

Ketua Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia Inggrid Tania mengatakan THC tinggi tak bisa dijadikan dasar untuk buru-buru menolak legalisasi ganja medis sebelum ada riset. Kadar THC pun bisa diturunkan melalui berbagai macam proses. “Ada banyak teknologi bisa digunakan untuk membuang zat berbahaya dalam ganja,” kata Inggrid. ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/laporan-utama/166433/mereka-yang-sembuh-karena-manfaat-ganja

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar