Mengapa Pemerintah Mengundurkan Pajak
Karbon Khairul Anam : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 23
Juli
2022
MENTERI Keuangan Sri
Mulyani Indrawati hanya menjawab pendek saat ditanyai alasan pengunduran
pemungutan pajak karbon. “Kita siapkan waktu yang tepat,” katanya di sela
pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara anggota G20 di
Nusa Dua, Bali, pada Kamis, 14 Juli lalu. Pemerintah sudah dua kali
menunda pemungutan pajak karbon. Awalnya, Kementerian Keuangan akan menarik
pajak dari pihak-pihak yang mengeluarkan emisi karbon mulai 1 April lalu. Ini
sejalan dengan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang
diundangkan pada November 2021. Pelaksanaan rencana itu diundur tiga bulan
menjadi 1 Juli dan kini malah batal. Pemerintah menunda
penerapan pajak karbon yang sedianya dikenakan pada operator pembangkit
listrik tenaga uap (PLTU) karena ada risiko. Menurut Menteri Sri, situasi
ekonomi dunia saat ini tak memungkinkan bagi pemerintah untuk memungut pajak
baru. Adapun dalam wawancara dengan Tempo pada Kamis, 21 Juli lalu, Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengatakan pajak karbon mungkin
diterapkan tahun depan. Pemungutan pajak karbon
adalah bagian penting rencana transisi dari bahan bakar fosil ke energi baru
dan terbarukan sekaligus menjadi upaya untuk menekan emisi. Pajak karbon
masuk instrumen penurunan emisi non-perdagangan karbon bersama result-based
payment atau kompensasi yang diberikan oleh negara. Aturan mainnya sederhana:
barang siapa menghasilkan polusi karbon, ia harus membayar pajak. Pada tahap
awal, pajak ini berlaku bagi operator PLTU. Di Asia Tenggara, pajak karbon
sudah berlaku di Singapura pada 2019. Di Indonesia, baru PT
Perusahaan Listrik Negara (Persero) yang menguji coba penerapan pajak karbon.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral membuat aturan, hanya PLTU dengan
emisi karbon di atas ambang batas yang bakal kena pajak. Ada tiga ukuran:
ambang batas produksi karbon dioksida PLTU di atas 400 megawatt sebesar 0,918
ton CO2 per megawatt-jam (MWh), PLTU 100-400 MW sebesar 1,013 ton CO2, dan
PLTU mulut tambang kapasitas 100-400 MW sebesar 1,94 ton CO2. Sebagai ilustrasi, pada
PLTU berkapasitas 800 megawatt dengan produksi listrik bruto 6,1 juta MWh,
ambang batas CO2 yang dikenakan sebesar 5,6 juta ton CO2. Setelah diukur,
PLTU itu ternyata menghasilkan 5,8 juta ton karbon dioksida. Dikurangi ambang
batas 5,6 juta ton, karbon dioksida yang kena pajak sebesar 200 ribu ton CO2.
Dengan tarif pajak karbon Rp 30 ribu per ton CO2, pengelola PLTU itu harus
membayar Rp 6 miliar. Tapi PLTU tersebut bisa
bebas dari pajak jika membeli izin emisi (surat izin emisi) dari pembangkit
listrik lain yang menghasilkan emisi di bawah ambang batas. Skema inilah yang
sedang dicoba oleh PLN. Vice President Komunikasi
Korporat PLN Gregorius Adi Trianto mengatakan 32 PLTU mengikuti uji coba
penerapan pajak karbon. Sebanyak 14 PLTU bertindak sebagai pembeli izin
emisi, sisanya menjadi penjual. Harga karbon yang diperdagangkan sebesar US$
2 per ton CO2. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/166472/mengapa-pemerintah-mengundurkan-pajak-karbon |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar