Kata Wakil Menteri Hukum dan HAM Soal
Isi RKUHP Budiarti Utami Putri : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 23
Juli
2022
RANCANGAN Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP menuai kritik dari berbagai kalangan.
Penyebabnya, penyusunan draf itu dianggap tak cukup melibatkan partisipasi
publik. Berbagai pasalnya pun dinilai bermasalah. Wawancara Wakil Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej dengan Tempo di
kantornya pada Kamis, 21 Juli lalu. Kenapa
pemerintah berlama-lama membuka RKUHP? Kami menyempurnakan hasil
sosialisasi. Bayangkan, dari judul sampai penjelasan lebih dari 1.000
halaman. Ini makan waktu. Setelah selesai, kami serahkan ke Dewan Perwakilan
Rakyat dan dibuka ke publik. Memang mekanismenya begitu. Pemerintah
dianggap tak melibatkan partisipasi publik. Apa tanggapan Anda? Rancangan KUHP masuk DPR
pada 1963, sudah 59 tahun lalu. Pembahasannya selesai di DPR periode
2014-2019. Kurang-lebih ada daftar inventarisasi 6.000 masalah yang berasal
dari koalisi masyarakat sipil dan tercatat dengan baik. Apa kami tidak
melibatkan partisipasi publik? Saya pastikan, pemerintah dan DPR pasti
membuka partisipasi publik. Minimal ada dua kali sidang yang terbuka dan
mengundang partisipasi publik. Sejauh
apa suara kelompok sipil dipertimbangkan dalam perumusan RKUHP? Pasal penodaan agama
diubah sesuai dengan masukan Indonesian Consortium for Religious Studies.
Tidak ada lagi kata “penistaan” karena terlalu absurd. Pasal aborsi, atas
usul teman-teman Institute for Criminal Justice Reform, kami ubah dan
sesuaikan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Ada
desakan untuk mensimulasikan pasal-pasal kontroversial untuk melihat
implikasi RKUHP. Selama masa transisi dua
tahun, kami bekerja keras untuk mensosialisasi. Terutama kepada aparat
penegak hukum supaya ada frekuensi, standar, dan parameter yang sama untuk
mengaplikasikan pasal-pasal tersebut. Di dalam tim penyusun ada perwakilan
Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI dan kejaksaan. Saat merumuskan satu
pasal, kami tanya pendapat mereka. Pasal sejelas apa pun pasti membuka
peluang untuk interpretasi. Kenapa
pemerintah mempertahankan pasal-pasal penghinaan? Baca putusan Mahkamah
Konstitusi. Ada satu perspektif tentang penyerangan terhadap harkat dan
martabat presiden serta wakil presiden yang perlu dipertimbangkan. Jika
presiden dihina, kita bisa bilang kepada pengikutnya tak usah ribut karena
presiden saja tidak mengadu. Bagaimana
jika presiden selanjutnya baperan dan mengadu? Itu hak dia. Yang dijamin
Undang-Undang Dasar 1945 adalah kebebasan berpendapat, bukan kebebasan
menghina. Itu dua hal yang berbeda. Negara
juga dianggap ingin mengatur ranah privat lewat RKUHP ini. Kami bikin KUHP yang
multietnis, multireligi, multikultur. Itu susah sekali. Kami sosialisasi di
12 provinsi. Ada provinsi yang meminta zina tidak diatur karena terlalu masuk
ke urusan privat. Tapi Sumatera Barat minta ini bukan delik aduan dan siapa
pun bisa melapor. Menurut mereka, zina adalah perbuatan yang melanggar norma
agama. Tentang pidana mati, aktivis HAM minta dihapus, tapi teman-teman
antikorupsi minta hukuman mati untuk koruptor. Pemerintah
mengambil jalan tengah? Ada jalan tengah, win-win
solution. Misalnya pidana mati menjadi bersifat alternatif dan ada masa
percobaan sepuluh tahun. Bukankah
tim perumus perlu mengedukasi publik tentang ranah privat dan ranah pidana? Dalam hukum Islam, ranah
privat seperti zina termasuk kejahatan hukum. Kita pun mayoritas muslim. Memang
tidak mungkin ada RKUHP yang sempurna. Itu mengkhayal. Tapi inilah yang
terbaik. Para guru besar penyusun RKUHP mengusulkan tanpa vested-interest.
Siapa yang meragukan kredibilitas mereka? Kami kan hanya meneruskan. Pak
Muladi (mantan ketua tim perumus RKUHP) bilang, jangan mengkhianati warisan
leluhur. Ada
anggapan RKUHP tak boleh diubah karena merupakan hasil pemikiran para guru
besar hukum. Yang mereka sampaikan
benar secara doktrin hukum pidana, kecuali kalau secara doktrin salah. Jadi
bukan soal personifikasi. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/nasional/166473/kata-wakil-menteri-hukum-dan-ham-soal-isi-rkuhp |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar