Apa Strategi PLN dalam Transisi Energi Khairul Anam : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 23
Juli
2022
KABAR baik datang dari
Pengarengan, sebuah desa di pesisir Cirebon, Jawa Barat. Bulan lalu, rencana
proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang mulanya bakal berdiri di
desa itu resmi dibatalkan. “Nama resminya di rencana usaha penyediaan tenaga
listrik adalah PLTU Jawa 3,” ucap Vice President Komunikasi Korporat PT
Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN Gregorius Adi Triyanto kepada
Tempo, Selasa, 19 Juli lalu. “Namun dulu terkenalnya PLTU Tanjung Jati A.” Kendati tidak masuk
rombongan megaproyek pembangkit listrik berkapasitas 35 ribu megawatt, PLTU
Tanjung Jati A tergolong besar. Kapasitasnya 2 x 660 megawatt dan berencana
membakar batu bara kalori sedang. Tanjung Jati A punya
sejarah panjang dan berkelok. Diusulkan sejak 1990, proyek ini bergonta-ganti
penyandang dana. Mulanya Bakrie Power—bagian dari kelompok usaha Bakrie—dan
Siti Hediati Hariyadi, putri tertua mantan presiden Soeharto, yang mengempit
masing-masing 20 persen saham dalam konsorsium perusahaan ini. Sisa saham
dikuasai National Power (Inggris) dan Tomen Power (Jepang). Namun, karena
proyek mangkrak, National dan Tomen hengkang. Pada 2011, Bakrie
menghidupkan Tanjung Jati A lagi, kali ini dengan mitra bisnis dari Korea
Selatan, Samsung Construction & Trading. Setelah dihitung bahwa proyek
bakal membutuhkan biaya konstruksi hingga US$ 2 miliar, mitra Bakrie ini juga
pergi. Pada 2015, Bakrie
menggandeng YTL Power International Berhad, bagian dari YTL Corporation,
konglomerasi asal Malaysia. Keduanya patungan di PT Tanjung Jati Power Co.
Bakrie menggenggam 20 persen saham. Dalam amendemen perjanjian jual-beli
listrik, setrum dari pembangkit itu akan dibeli seharga US$ 5,5 sen per
kilowatt-jam oleh PT PLN. Akhirnya, setelah 32 tahun
berjalan, nasib Tanjung Jati A jelas: dibatalkan. Menurut PLN, pembatalan itu
bisa dilakukan karena PLTU Jawa 3—nama resmi Tanjung Jati A—tak kunjung
mendapat kejelasan pendanaan. Karena itu, “Konsekuensi pembatalan PLTU Jawa 3
minimal,” kata Gregorius. Saat ini PLN memang sedang
gencar menyisir proyek PLTU yang bisa mereka batalkan kendati sudah ada
perjanjian jual-beli listrik (power purchase agreement/PPA) dengan pemrakarsa
proyek (independent power producer/IPP). Upaya ini, menurut Gregorius, adalah
usaha PLN untuk keluar dari jeratan PLTU batu bara yang menjadi sumber utama
emisi karbon. Masalahnya, dalam pembatalan itu selalu ada konsekuensi legal
dan komersialnya. “PLTU Jambi 1 dan 2 juga sedang proses terminasi,” ujar
Gregorius. “Sedang kami hitung konsekuensi legalnya, supaya aman.” PLN mengakui kebanyakan
proyek PLTU yang mereka batalkan adalah proyek yang tak kunjung mendapat
sumber pendanaan. Ini adalah efek gerakan global menarik diri dari praktik
membiayai energi kotor pencemar bumi seperti PLTU berbasis batu bara. PLTU Tanjung Jati A adalah
bagian dari 1,4 gigawatt (1.400 megawatt) pembangkit PPA yang dibatalkan PLN
baru-baru ini. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mulanya mengungkapkan
pembatalan tersebut saat menghadiri diskusi “Sustainable Finance for Climate
Transition Roundtable” di Bali pada Kamis, 14 Juli lalu. “Kami
menegosiasikannya dengan IPP. PPA tidak dapat dibatalkan kendati mereka belum
punya financial closing (kepastian pendanaan proyek). Pada akhirnya bisa kami
ubah perjanjiannya,” kata Darmawan. Risiko legal dan finansial
yang bakal menimpa PLN dalam pembatalan proyek PLTU yang telanjur punya
kontrak itu—diteken sebelum Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris 2016
tentang komitmen mengurangi emisi—sebetulnya sudah diperkirakan dalam Rencana
Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. Rencana pembatalan proyek
pembangkit yang belum mendapat kepastian pendanaan muncul dalam keputusan
rapat terbatas pada 11 Mei 2021. Masih ada 6 gigawatt (6.000 megawatt)
pembangkit yang merupakan bagian dari rombongan proyek 35 ribu megawatt yang
belum mengantongi pendanaan. Agar pembatalan tidak
menyeret PLN ke risiko tuntutan hukum, pemerintah sebetulnya berencana
menerbitkan aturan pelaksanaannya. Masalahnya, aturan tersebut tak kunjung
terbit. Akhirnya PLN berjalan dengan regulasi seadanya dan mengandalkan
negosiasi dengan setiap IPP. “Secara umum, pemerintah mendukung moratorium
ini,” tutur Gregorius. Terminasi sejumlah PLTU
yang belum memiliki kepastian pendanaan inilah yang baru bisa dilakukan PLN
untuk mempercepat transisi pembangkit berbasis fosil ke energi baru dan
terbarukan. Program-program lain masih menghadapi sejumlah rintangan. Misalnya, dalam hal
pensiun dini sejumlah PLTU aktif, PLN masih menghadapi kesulitan karena
keterbatasan dana. Nilai aset PLN di pembangkit-pembangkit tersebut sangat
besar. Jika dilakukan penghapusan begitu saja tanpa kompensasi atau
pembelian, keuangan PLN, terutama rasio utang mereka, akan langsung
terpengaruh. Rencana pensiun dini PLTU
lebih alot bagi pembangkit milik IPP. “Ada risiko kontraktualnya,” ujar
Gregorius. “Tapi kami sudah punya early retirement pilot project (proyek
percontohan pensiun dini) PLTU. Nanti kami tawarkan di pertemuan G20.”
Hitung-hitungan PLN, ada 5,5 gigawatt PLTU yang bisa dipensiunkan sampai
2030. Di tengah upaya PLN
memensiunkan dini PLTU mereka dan menerima arus masuk pembangkit-pembangkit
energi baru dan terbarukan (EBT) sesuai dengan RUPTL, perusahaan setrum
negara ini menghadapi dilema besar. Tingkat konsumsi listrik sedang turun
akibat pandemi Covid-19—dan proyeksi pertumbuhan ekonomi di bawah target
ketika proyek 35 ribu megawatt diteken. Sementara itu, pasokan listrik naik
terus, terutama di wilayah Jawa-Madura-Bali. Bahkan arus setrum dari sejumlah
PLTU yang akan mulai beroperasi, sebanyak 5000 megawatt, juga siap pada tahun
ini. Pemerintah menyadari
dilema tersebut. Kini, kata Direktur Jenderal Energi Baru dan Terbarukan
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana, giliran pemerintah
yang akan membuat program untuk meningkatkan konsumsi listrik. Sudah diputuskan dalam
rapat terbatas pada Senin, 18 Juli lalu, Dadan melanjutkan, pemerintah akan
menggeser subsidi elpiji murah ke listrik. Masyarakat miskin yang selama ini
menjadi sasaran penerima elpiji murah akan dialihkan ke penggunaan kompor
induksi listrik. Mereka akan dibelikan seperangkat kompor dan alat masak.
“Kebetulan kan elpiji itu impor dan harganya sedang mahal. Sekarang saat yang
tepat kita menggunakan kompor listrik,” ucap Dadan saat ditemui di kantornya
di Jakarta, Selasa, 19 Juli lalu. Proyek tersebut
dilaksanakan bertahap mulai tahun ini. Tahap pertama, dengan dana PLN, 300
ribu keluarga akan penerima paket subsidi baru ini. Selanjutnya, pemerintah
yang akan menggelontorkan dana hingga 2023.
Menurut Menteri Energi
Arifin Tasrif, kebijakan peralihan subsidi elpiji ke kompor listrik ini
seperti sekali timpuk, dua kepala benjol. Pertama, subsidi elpiji bisa
dihemat. Kedua, tingkat konsumsi listrik naik. Masyarakat pun bisa lebih
berhemat dalam memasak dengan kompor induksi. “Nanti pengguna kompor induksi
ini daya listriknya naik, tapi tarif listriknya tetap pakai golongan 450 dan
900 volt-ampere,” ujar Arifin kepada Tempo pada Kamis, 21 Juli lalu, di
kantornya. Saat ini ada 15 juta
keluarga miskin yang masuk Data Terpadu Kesejahteraan Sosial di Kementerian
Sosial. Mereka inilah yang nantinya diberi paket kompor induksi dan menambah
basis konsumsi listrik PLN. Hitung-hitungan PLN, jika
setiap rumah tangga dengan kompor dua tungku menggunakan listrik, bakal ada
tambahan konsumsi setrum sampai 3 gigawatt-jam pada 2023—fase akhir program
transisi energi. Konsumsi itu bisa bertambah jika masyarakat di luar garis
kemiskinan ketularan menggunakan kompor setrum. Pendek kata, jika konsumsi
listrik naik, setrum EBT makin gampang masuk ke sistem PLN. “Jadi pemerintah
bikin program yang bisa menyerap listrik dulu,” tutur Dadan Kusdiana.
“Tambahan kebutuhan setrum tinggal dimasuki EBT nantinya.” Dengan begitu,
ketika konsumsi listrik sudah naik, PLN tidak punya alasan lagi untuk menolak
setrum bersih. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/166474/apa-strategi-pln-dalam-transisi-energi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar