Minggu, 17 Juli 2022

 

Quo Vadis LPTK

Rakhmat Hidayat: Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Dewan Pakar Pendidikan Perhimpunan Guru (P2G)

KOMPAS, 15 Juli 2022

 

                                                

 

 Setelah masalah hilangnya kata ”madrasah” dalam draf Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, kini mencuat satu topik ke publik soal posisi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Isu LPTK menjadi menarik dibahas sejalan dengan topik yang dibahas dalam diskusi yang diselenggarakan Ikatan Alumni UNJ (Ika UNJ) yang membahas masa depan LPTK dalam RUU Sisdiknas pada 29 Juni 2022.

 

Paling tidak ada dua masalah penting terkait posisi LPTK dalam RUU Sisdiknas. Pertama, harus diakui bahwa pembahasan topik LPTK ini terbilang terlambat karena proses pembahasan RUU berlangsung sejak awal 2022. Sejalan dengan itu, masalah yang menjadi perhatian adalah tidak bersuaranya LPTK dalam merespons RUU Sisdiknas, tetapi yang menyuarakannya adalah ikatan alumni yang sudah di luar struktur kelembagaannya.

 

Kedua, topik yang krusial dan problematik adalah keberadaan LPTK sama sekali tidak disebutkan dalam RUU Sisdiknas. Hal inilah yang menjadi ”kemarahan” kalangan LPTK yang semakin terancam eksistensinya. Sebenarnya masalahnya beririsan dengan kontroversi penghilangan kata ”madrasah” dalam pasal RUU Sisdiknas.

 

Pihak Kemendikbudristek menjawabnya ada dalam penjelasan di luar pasal-pasal. Memang dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 juga tak disebutkan khusus LPTK. Tetapi, penyebutan LPTK secara eksplisit tertuang dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen.

 

Bab 1 Ketentuan Umum, Pasal 1 Ayat (14) UU Guru dan Dosen menyatakan bahwa LPTK adalah perguruan tinggi yang diberi tugas oleh pemerintah untuk menyelenggarakan program pengadaan guru pada jalur pendidikan formal bagi pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menengah, serta untuk menyelenggarakan dan mengembangkan ilmu kependidikan dan non-kependidikan.

 

Memang di draf RUU Sisdiknas terlihat secara jelas bahwa LPTK sudah kehilangan perannya. Dalam konteks itulah, pertanyaan yang muncul adalah di mana suara LPTK dalam merespons RUU Sisdiknas? Masalah kedua yang penting dijawab adalah mau dibawa ke mana LPTK dalam dan pasca-RUU Sisdiknas diputuskan.

 

Marjinalisasi sistemik

 

RUU Sisdiknas yang sedang dibahas akan mengintegrasikan tiga UU, yaitu UU No 20/2003 tentang Sisdiknas, UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, serta UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi. Arahnya terlihat akan menjadikan UU Sisdiknas yang simpel dan menjangkau semua ranah pendidikan.

 

RUU Sisdiknas ditargetkan disahkan tahun 2022 karena jika molor hingga tahun depan dianggap mustahil dilanjutkan. Tahun 2023, politisi di DPR sudah fokus mempersiapkan Pemilu 2024. Artinya, RUU Sisdiknas sedang maraton dibahas dan mengejar tayang pengesahannya.

 

Beberapa praktisi dan pengamat pendidikan menyebut RUU Sisdiknas sebagai ”mini-omnibus law”. Harus diakui proses pembahasan RUU Sisdiknas sejak awal tidak melibatkan keberadaan LPTK sebagai salah satu pemangku kepentingan strategis.

 

Ada beberapa argumentasi yang bisa diajukan. Pertama, LPTK adalah perguruan tinggi yang diberikan tugas oleh pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan keguruan (teacher training) pada berbagai jenjang, dimulai dari anak usia dini, pendidikan dasar, menengah, dan kejuruan. Saat ini jumlah LPTK di Indonesia baik negeri ataupun swasta lebih dari 400 lembaga.

 

Sebagai institusi penyedia tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, LPTK merupakan ujung tombak terdepan pendidikan di negeri ini. LPTK menjadi ”kawah candradimuka” pendidikan guru di Indonesia. LPTK berkepentingan dengan pasal-pasal terkait posisi guru yang mana sebelumnya tertuang dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen.

 

Kedua, dengan sumber daya keilmuan dan jejaring yang dimilikinya, LPTK seharusnya menjadi referensi strategis dalam perumusan masukan dan perspektifnya. Pengalaman LPTK dengan jam terbang yang dimilikinya seharusnya bisa menjadi mitra strategis.

 

Sejatinya bukan hanya dalam RUU Sisdiknas LPTK tidak dilibatkan, melainkan juga dalam beberapa kebijakan pendidikan lainnya yang sudah lama berlangsung. Sebut saja kebijakan Kurikulum Merdeka atau Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Kedua kebijakan ini yang menjadi awal kebijakan Kemendikbudristek sudah meninggalkan keberadaan LPTK.

 

LPTK merasa sejak awal ditinggalkan kehadirannya dan Kemendikbudristek merasa over confidence dengan kebijakannya. Dalam forum-forum pembahasan program tersebut nyaris tidak dijumpai akademisi yang berasal dari LPTK. Kurikulum Merdeka yang saat ini gencar dipersiapkan sejak awalnya tidak melibatkan LPTK, bahkan pihak LPTK sama sekali miskin informasi terkait Kurikulum Merdeka.

 

Hal tersebut dapat dilihat ketika prodi-prodi yang ada hanya bisa meraba-raba arah dan orientasi Kurikulum Merdeka itu seperti apa dan bagaimana. Padahal, prodi adalah ujung tombak dari LPTK untuk mempersiapkan guru-guru terbaiknya untuk mengajar di sekolah. Bisa dibayangkan jika prodi hanya bisa menerka-nerka Kurikulum Merdeka dan kemudian mengajarkannya kepada mahasiswa di ruang perkuliahan.

 

Dalam sejarahnya, setiap perumusan kurikulum dan perumusan UU Sisdiknas, pihak LPTK baik akademisi maupun institusinya selalu dilibatkan dalam proses dialog ataupun kerja-kerja akademiknya. Misalnya ketika transisi Kurikulum 2006 ke Kurikulum 2013, saat itu akademisi LPTK penuh dilibatkan dalam berbagai kegiatan sosialisasi, pelatihan, hingga penyiapan buku pelajaran di sekolah.

 

Dalam beberapa forum pertemuan dengan sejawat dari LPTK, saya coba bertanya apakah pernah diundang atau dilibatkan dalam pembahasan Kurikulum Merdeka? Mereka menjawabnya sama sekali tidak pernah.

 

Saya menduga-duga ada masalah serius dengan Kemendikbudristek dalam memandang posisi LPTK. Pertama, elite-elite Kemendikbudristek sangat ahistoris tentang sejarah dan rekam jejak LPTK dalam praksis pendidikan guru di Indonesia. Mereka tidak bisa menginternalisasikan bagaimana LPTK dalam lanskap pendidikan Indonesia.

 

Baca juga: Masukan untuk RUU Sisdiknas

 

Kedua, kerja-kerja akademik yang biasanya melibatkan akademisi LPTK diambil alih oleh tim eksternal yang menopang desain kebijakan Kemendikbudristek. Tim eksternal ini seperti menjadi think tank penggodok kebijakan pendidikan.

 

Tim eksternal inilah yang sangat otoritatif merancang semua cetak biru kebijakan pendidikan nasional. Latar belakang mereka yang bukan dari kependidikan atau LPTK semakin mengafirmasi bahwa LPTK bukan lagi pihak penting dalam kebijakan pendidikan Indonesia.

 

Implikasi kebijakan

 

Integrasi RUU Sisdiknas jika ditelusuri mencakup tiga hal penting sesuai dengan tiga UU yang ada. Pertama, jaminan konstitusi dalam sistem pendidikan nasional yang dilaksanakan seluruh rakyat Indonesia.

 

Kedua, tata kelola guru dan dosen yang sejak awal diinisiasi dengan semangat komprehensif mengatur khusus guru dan dosen untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara umum. Semangat ini juga manifestasi dari tujuan bernegara yang tercantum dalam Pembukaan UUD Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

 

Ketiga, tata kelola pendidikan tinggi sebagai bagian sistem pendidikan nasional dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi.

 

Akibatnya, UU Sisdiknas 2022 terbaru nanti akan menggabungkan ketiga poin tersebut dalam satu UU Sisdiknas terbaru. Apa perbedaannya dengan UU Sisdiknas sebelumnya?

 

Pertama, UU Sisdiknas terbaru akan menjelaskan pasal-pasal yang umum saja sesuai dengan tiga ranah yang dijelaskan di atas. Berbeda dengan tiga UU yang ada dengan penekanan pada struktur isi yang lebih komprehensif dalam satu UU.

 

Kedua, UU Sisdiknas terbaru nanti akan menghasilkan banyak turunan dalam bentuk peraturan pemerintah (PP). Penjelasan lebih lengkap yang tidak tertuang dalam isi UU Sisdiknas akan dijelaskan dalam berbagai PP.

 

Jika dibandingkan dengan ketiga UU sebelumnya, hanya menghasilkan satu dan dua PP yang ada. Kita lihat di UU No 20/2003 menghasilkan PP No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. UU No 14/2005 menghasilkan dua PP, yaitu PP No 74/2008 tentang Guru dan PP No 37/2009 tentang Dosen. Adapun UU No 12/2012 menghasilkan PP No 4/2004 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi.

 

Dengan menggabungkan ketiga substansi UU yang ada, dapat dibayangkan bahwa UU Sisdiknas terbaru akan sangat menyebabkan beberapa implikasi kebijakan dalam jangka panjang. Pertama, akan terjadi tumpang tindih (over lapping) dari ketiga ranah yang ada. Termasuk di dalamnya adalah adanya saling bertabrakan dari pembahasan masing-masing pokok pembahasan.

 

Kedua, masalah dalam hal sinkronisasi dan harmonisasi UU dengan turunan-turunan seperti PP dan Permendikbudristek. Diperlukan koordinasi antar-kementerian dan lembaga penyelenggara pendidikan dalam pembuatan turunan dari UU Sisdiknas.

 

Ketiga, karena UU Sisdiknas terbaru adalah penggabungan dari tiga UU yang ada dengan penekanan pada pembahasan yang umum saja, maka akan menghasilkan masalah hukum pasca-penetapan dengan adanya peninjauan kembali (judicial review) di Mahkamah Konstitusi (MK). Pengalaman ini terjadi pada judicial review UU Sisdiknas No 20/2003 yang ditujukan kepada beberapa pasal yang ada. Dengan mengacu kepada UU yang ada sebelumnya, kemungkinan permohonan peninjauan kembali sangat besar terjadi terutama dalam pasal-pasal yang sangat substansial seperti pasal tentang guru, dosen, dan perguruan tinggi.

 

Kritik diri

 

Ketika LPTK merasa ditinggalkan dan baru merasakannya di akhir-akhir proses perumusan RUU Sisdiknas, pertanyaannya ke mana saja LPTK? Kenapa LPTK tidak bersuara sejak awal?

 

Harus diakui bahwa LPTK sejak awal kebijakan-kebijakan pendidikan diinisiasi tertinggal dalam merespons dan menyikapinya. Termarjinalkannya LPTK dalam praksis dan diskursus pendidikan nasional seharusnya menjadi kritik diri (self critics) yang membangun.

 

Pertama, LPTK lamban bergerak dalam isu-isu kebijakan pendidikan karena energinya dihabiskan dengan ranah domestifikasi yang menyita energi sangat besar. Hal tersebut misalnya dilihat dalam kesibukan transisi menuju PTN BH, pemenuhan Indikator Kinerja Utama (IKU), penyiapan borang akreditasi, meningkatkan kerja sama melalui memperbanyak MoU dengan kampus-kampus dalam dan luar negeri hingga urusan-urusan seremoni yang justru dianggap tidak penting menjadi penting.

 

Kedua, LPTK kehilangan basis intelektualnya dalam ranah publik. Padahal, LPTK sejatinya bisa menempatkan dirinya sebagai intellectual leaders dan leading issue dan perdebatan publik kebijakan pendidikan nasional. Pada kebijakan pendidikan harus ditempatkan isu publik yang memerlukan respons dan partisipasi publik. LPTK nyaris tidak bersuara dalam berbagai kebijakan pendidikan.

 

LPTK kehilangan elan vitalnya dalam praksis pendidikan karena terlalu disibukkan dengan urusan internalnya. Mengembalikan elan vital LPTK dilakukan melalui mendorong dialog dan perdebatan publik berbasiskan apa yang disebut Michael Burawoy (2021) reflexive knowledge—bukan sekadar instrumental knowledge—menjadi entitas penting dialog publik antara komunitas akademik dan publik masyarakat dalam berbagai isu-isu sosial.

 

Michael Burawoy dalam bukunya berjudul Public Sociology (2021) menawarkan perspektif kritis sebagai basis reflexive knowledge dalam perdebatan publik pendidikan yang harus menjadi agenda strategis LPTK. Munculnya kritik dan suara keras yang mengatakan era LPTK sudah berakhir dengan adanya RUU Sisdiknas seharusnya tidak direspons secara reaktif, tetapi menjadi momentum berbenah diri agar tidak sibuk dengan dirinya sendiri.

 

Tetapi, jauh dari itu, LPTK harus melakukan berbagai pembenahan internal seperti tata kelola lembaga, proses input dan out put peserta didik, peningkatan kualitas pembelajaran, peningkatan kapasitas dosen dan tenaga kependidikan, peningkatan pelayanan kepada mahasiswa hingga peningkatan kualitas infrastruktur. Seharusnya dengan adanya Program Revitalisasi LPTK yang sedang berlangsung bisa menjawab semua kegamangan masa depan LPTK. Jika LPTK tidak ingin dikatakan sudah habis masanya, bebenah diri adalah pilihannya.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/13/quo-vadis-lptk

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar