Minggu, 24 Juli 2022

 

Profil Ferdy Sambo. Mengapa Kariernya Cepat Melesat?

Agung Sedayu :  Jurnalis Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 23 Juli 2022

 

 

                                                           

WAJAH Arman Hanis, 49 tahun, tampak sumringah saat mengenang masa lalunya bersama Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan nonaktif, Inspektur Jenderal Ferdy Sambo. Keduanya pertama kali bertemu di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Makassar, Sulawesi Selatan, sekitar 32 tahun lalu.

 

Meski Arman di jurusan fisika dan Ferdy di jurusan biologi, mereka sering bermain bersama. “Kami sama-sama anggota tim basket sekolah,” ujar Arman kepada Tempo pada Jumat, 22 Juli lalu.

 

Mereka juga memiliki kesamaan cita-cita, yaitu menjadi polisi. Paman Ferdy, Pither Sambo, adalah perwira tinggi Polri dan pernah menjabat Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara. Tapi takdir berkata lain.

 

Setelah lulus SMA, Arman batal mendaftar ke Akademi Kepolisian karena kendala kesehatan. Ia memilih melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, lalu menjadi pengacara.

 

Adapun Ferdy Sambo lulus tes. Ia mengikuti pendidikan dan lulus pada 1994 dengan pangkat letnan dua. Setelah 28 tahun berlalu, Ferdy meraih jabatan tertinggi selama kariernya dengan menjabat Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan pada 2020.

 

Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menonaktifkan Ferdy Sambo pada Senin, 18 Juli lalu. Listyo beralasan keputusan ini diambil agar pemeriksaan penyidikan kematian ajudan Ferdy, Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir Yosua, berjalan mulus. “Untuk menjaga obyektivitas, transparansi, dan akuntabilitas penyidikan yang berjalan,” ucapnya.

 

Arman Hanis mengenang Ferdy Sambo sebagai siswa yang tidak pernah bolos sekolah. Setiap jam belajar usai, Ferdy memilih ikut berbagai kursus pelajaran tambahan daripada nongkrong bersama teman-temannya.

 

Ketekunan itu membuat bocah kelahiran Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, 9 Februari 1973, tersebut selalu masuk tiga besar siswa dengan nilai tertinggi di sekolah. “Di angkatan kami, dia siswa yang paling menonjol,” ujar Arman. Ferdy selalu menjabat ketua kelas sejak sekolah menengah pertama hingga sekolah menengah atas.

 

Saat duduk di bangku SMPN 6 Makassar, Ferdy berpacaran dengan Putri Candrawathi, kini menjadi istrinya, yang juga belajar di sekolah yang sama. “Saya, Putri, dan Ferdy satu angkatan,” tutur Farhadi, teman SMP Ferdy dan Putri yang tak mau disebutkan nama sebenarnya.

 

Putri, 48 tahun, adalah anak perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat yang pensiun dengan pangkat brigadir jenderal. Sedangkan Ferdy berasal dari keluarga sipil. Ayah Ferdy, William Sambo, pegawai negeri di Dinas Peternakan Kota Makassar.

 

Putri dan Ferdy terpisah saat mereka bersekolah di SMA yang berbeda. Ketika Ferdy masuk Akademi Kepolisian, Putri melanjutkan belajar di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, Jakarta. Mereka bertemu kembali saat Ferdy lulus Akademi Kepolisian dan bertugas di Jakarta.

 

Ferdy mengawali karier di Tim Khusus Anti Bandit Kepolisian Resor Jakarta Timur. Pada 1997, dia menjadi Kepala Unit Reserse Kriminal Kepolisian Sektor Cakung, Jakarta Timur.

 

Dua tahun kemudian Ferdy yang masih berpangkat inspektur satu melamar Putri. Pernikahan mereka digelar di gedung Balai Kartini, Jakarta Selatan. Pada Kamis, 7 Juli lalu, atau sehari sebelum penembakan Brigadir Yosua, Ferdy dan Putri merayakan hari jadi pernikahan ke-22 tahun.

 

Ferdy Sambo dan istrinya, Putri Chandrawati/Istimewa

 

Meski lulus sebagai sarjana kedokteran gigi, Putri tidak pernah menjadi dokter dan membuka tempat praktik. “Setelah menikah ya jadi ibu rumah tangga saja,” ucap Arman Hanis. Dari pernikahan itu, Ferdy dan Putri memiliki empat anak.

 

Karier Ferdy sebagai seorang reserse terus melesat. Pada 2010, ia menjabat Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Jakarta Barat. Dua tahun kemudian, dia naik jabatan menjadi Kepala Polres Purbalingga, Jawa Tengah, selama satu tahun. Setelah itu, dia menjabat Kepala Polres Brebes, Jawa Tengah.

 

Ferdy Sambo ditarik ke Jakarta dan menjabat Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya pada 2015. “Dia terkenal cerdas di angkatannya karena itu banyak ditempatkan di Jakarta,” ujar Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo pada Jumat, 22 Juli lalu.

 

Ferdy terlibat dalam penanganan sejumlah kasus besar, antara lain kasus bom bunuh diri di kawasan perempatan Jalan M.H. Thamrin-Wahid Hasyim, Jakarta, pada 14 Januari 2016. Dia juga ikut mengungkap kasus kematian Wayan Mirna Salihin akibat minum kopi mengandung racun sianida.

 

Satu tahun di Polda Metro, Ferdy ditarik ke Trunojoyo—sebutan untuk Markas Besar Polri—buat mengisi jabatan Kepala Subdirektorat IV Direktorat Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal dengan pangkat komisaris besar. Kemudian, pada 8 November 2019, Kepala Polri Jenderal Idham Azis mengangkat Ferdy sebagai Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri. Pangkatnya naik menjadi brigadir jenderal.

 

Hanya dalam satu tahun Ferdy kembali naik pangkat menjadi inspektur jenderal. Pada November 2020, Idham Azis mengangkat Ferdy sebagai Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri menggantikan Inspektur Jenderal Ignatius Sigit Widiatmono yang meninggal karena sakit.

 

Kala itu Ferdy menjadi jenderal polisi bintang dua paling muda dan pejabat utama Mabes Polri. Jenderal Listyo Sigit Prabowo tetap mempertahankan jabatan Ferdy ketika terpilih menjadi Kepala Polri pada Januari 2021.

 

Karier Ferdy juga tak lepas dari kedekatannya dengan petinggi Polri. Menurut orang dekatnya yang enggan menyebutkan namanya, Ferdy kerap sowan ke para mantan Kepala Polri. Kariernya mulai menanjak sejak ia dekat dengan mantan Kapolri, Jenderal Tito Karnavian. Kedekatannya dengan para petinggi Polri makin terlihat ketika Mabes Polri membentuk Satgas Merah Putih, yang berisi perwira-perwira reserse pilihan.

 

Setidaknya ada dua kasus besar yang ditangani Ferdy Sambo sepanjang 2020. Dia memimpin penyelidikan kasus kebakaran gedung Kejaksaan Agung. Dia juga berperan dalam menyelesaikan perkara penerbitan surat jalan palsu Djoko Tjandra. Salah satu tersangka dalam kasus surat jalan palsu tersebut adalah Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte.

 

Menurut Irjen Dedi Prasetyo, Ferdy Sambo kerap menggelar riset. “Banyak riset yang ia lakukan, seperti riset mengenai apa perilaku polisi yang tidak disukai masyarakat,” kata Dedi.

 

Selama menjadi Kepala Divisi Propam Polri, Ferdy membuat aplikasi Propam Presisi. Aplikasi ini menjadi salah satu saluran pengaduan masyarakat terkait dengan kinerja aparat kepolisian. Ferdy tak kunjung merespons permintaan wawancara Tempo hingga Sabtu, 23 Juli lalu.

 

Baru-baru ini Ferdy menuai kritik karena mempertahankan Ajun Komisaris Besar Raden Brotoseno, mantan terpidana kasus korupsi proyek cetak sawah di Ketapang, Kalimantan Barat, sebagai polisi aktif. Pada Mei lalu, Ferdy Sambo mengatakan kepolisian tidak memecat Brotoseno karena ia berkelakuan baik. Pernyataan itu mendapat protes publik, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat. Belakangan, Komisi Kode Etik Polri merevisi putusan kasus Brotoseno, lalu memecatnya. ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/laporan-utama/166493/profil-ferdy-sambo-mengapa-kariernya-cepat-melesat

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar