Mengapa RKUHP Masih Membawa Semangat
Kolonialisme Bivitri Susanti : Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia
Jentera |
MAJALAH TEMPO, 23
Juli
2022
RIBUT-RIBUT soal Rancangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) membuat kita harus kembali
mendiskusikan peran hukum negara, khususnya hukum pidana, bagi masyarakat.
Perlu ada percakapan hal mendasar karena tampaknya ada tembok penghalang
antara pembuat undang-undang, yakni pemerintah serta Dewan Perwakilan Rakyat,
dan kelompok-kelompok masyarakat sipil yang menolak RKUHP. Tembok itu bisa kita
robohkan pelan-pelan bila kita mau menengok apa sebenarnya tujuan hukum
pidana. Salah satu penyumbang berdirinya tembok penghalang ini adalah cara
pandang yang kuat di kalangan perumusnya bahwa RKUHP sudah paripurna karena
dibuat oleh para ahli hukum pidana di negeri ini. Ada kesan perumusnya
menganggap mereka yang tak mendalami hukum pidana, apalagi yang tak belajar
ilmu hukum, tidak perlu ikut membahas rancangan ini karena tidak memahami
asas-asas hukum, teori hukum pidana, serta berbagai adagium yang terdengar
canggih dalam bahasa Latin atau Belanda. Padahal hukum pidana mengatur setiap
orang di negara ini tanpa kecuali. Partisipasi, karena itu, adalah hak semua
orang dalam negara demokrasi. Posisi RKUHP sebagai induk
semua peraturan pidana di negara ini makin menguatkan pentingnya partisipasi
publik. RKUHP harus didiskusikan secara luas tak hanya oleh ahli hukum
pidana, tapi juga oleh ahli hukum tata negara, hukum perdata, dan bidang
studi hukum lain. Bahkan juga perlu didekati dengan ilmu-ilmu nonhukum,
seperti politik, ekonomi, sosiologi, antropologi. Berbagai pendekatan ini
penting bila kita memahami hukum dibuat untuk menata kehidupan antarmanusia
dalam suatu komunitas bernama negara. Sebab, hukum negara mengatur tindak
tanduk manusia agar hubungannya secara sosial bisa lebih teratur. Untuk
tujuan ini, hukum bisa memberikan ancaman agar orang tidak berperilaku
merugikan orang lain. Sebaliknya, hukum bisa mengharuskan orang berperilaku
tertentu, misalnya mematuhi kewajiban memiliki kartu tanda penduduk agar
mereka bisa mengakses hak administrasi. Manusia akan tetap
memiliki otonomi atas dirinya sendiri karena martabatnya. Kita mengenal konsep
hak asasi manusia sebagai hak yang melekat pada orang semata-mata karena ia
manusia. Karena itu, ketika konsep hukum dikembangkan, ia tak hanya dipahami
sebagai aturan main. Hukum justru menjadi hak. Karena itu, dalam bahasa
Belanda dan Jerman, asal tradisi hukum Indonesia, kata “recht” tak hanya
berarti hukum, tapi juga bermakna hak. Begitu pula dalam bahasa Latin, kata
“ius” juga berarti hak yang dimiliki oleh tiap warga negara. Jadi hukum negara tak bisa
mengatur segala sesuatu tentang diri manusia. Hukum negara berguna untuk
mengatur agar hak-hak tiap orang dihormati, dipenuhi, dan dilindungi. Dalam
negara yang makin kompleks dan plural dengan banyaknya perbedaan yang harus
dikelola, HAM harus makin kuat digunakan sebagai penggaris untuk mengetahui sejauh
mana negara bisa mengatur urusan publik. Karena itu, penyelenggara
negara bahkan tidak boleh memakai logika demokrasi dalam membuat hukum. Hukum
tak bisa diputuskan oleh suara mayoritas. Bila suara mayoritas melanggar HAM,
negara tidak boleh membuatnya menjadi hukum yang berlaku untuk semua. Kita mafhum hukum negara
dibuat oleh institusi-institusi yang didesain dalam konsep negara modern:
legislatif dan eksekutif. Pembuat hukum, juga pelaksananya, saat ini tak
sedang berada dalam situasi ketika nilai-nilai kebajikan terwujud secara
ideal. Karena itu, hukum bisa tampil dengan menindas, yaitu hukum yang secara
keras mendisiplinkan publik dengan mengatur terlalu banyak perilaku yang tak
seharusnya masuk dalam wilayah hukum publik, yang bisa diatur oleh negara. Para perumus hukum mesti
sadar bahwa hukum dibuat bukan untuk menakut-nakuti warga negara dengan
memberi ancaman sanksi pidana atas berbagai perilaku mereka. Dalam sebuah
negara yang demokratis dengan etik bernegara yang dijunjung tinggi dan pendidikan
tentang kewargaannya diutamakan, hukum biasanya tak lagi berperan besar
mendisiplinkan warganya. Sebaliknya, dalam suatu
negara dengan kekuasaan yang menindas, hukum menjadi alat untuk menekan warga
negara, misalnya di sebuah negara totaliter dan kekuasaan kolonial. Begitulah
dulu pemerintah Belanda mendesain hukum untuk penduduk pribumi Nusantara.
Pemerintah kolonial Belanda hendak memastikan tidak ada pribumi yang melawan
penguasa. Ketika hukum kolonial itu disalin menjadi Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana atau KUHP, gerakan-gerakan kemerdekaan sudah mulai tumbuh. Dengan kesadaran akan
sejarah seperti itu, bangsa Indonesia yang sudah lama merdeka dan terbebas
dari kolonialisme ingin mengubah KUHP warisan kolonial ini. Maka perubahan
itu harus berangkat dari sikap yang mempertanyakan apakah pendekatan
kolonialisme yang represif masih perlu dalam hukum pidana kita? Sudah banyak
pemikiran hukum dan pemidanaan yang lebih baru sejak KUHP peninggalan Belanda
itu dibawa ke Indonesia lebih dari seabad lalu. Naskah RKUHP terbaru
bertanggal 4 Juli 2022 masih memiliki banyak pasal yang mengandung
problem-problem di atas. Negara akan mengatur terlalu jauh wilayah privat
dengan pendekatan ancaman yang makin memundurkan demokrasi Indonesia. Pasal
penghinaan terhadap presiden, misalnya. Dalam hukum kolonial, pasal ini
dibuat untuk melindungi Ratu Belanda dari kritik dan gugatan penduduk
pribumi. Maka ketika kolonialisme tidak ada lagi, dan Indonesia menganut
paham demokrasi, pasal ini seharusnya tak perlu muncul lagi. Bukan karena
kita ingin bebas menghina presiden, tapi karena presiden adalah lembaga
negara yang membutuhkan kritik. Kritik adalah bagian dari demokrasi. Demikian pula pasal yang
mengatur hidup bersama sebagai suami-istri yang mengatur terlalu jauh hubungan
seksual yang didasarkan pada persetujuan dua orang dewasa. Bila KUHP tidak
mengatur hal ini, bukan berarti negara mendorong orang berbuat asusila,
karena ada norma-norma lain yang mengatur hubungan antarmanusia selain norma
hukum, yaitu norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan. Lagi pula, masih banyak
cara pemerintah bisa hadir dalam mengelola kehidupan warga negara selain
dengan ancaman sanksi. Negara seharusnya menyelesaikan akar masalah sosial,
bukan sekadar melenyapkan gejalanya. Karena itu, RKUHP tak perlu memuat
sanksi untuk gelandangan. Sebab, yang harus dilakukan pemerintah adalah
mencegah orang menjadi gelandangan dengan menangani problem kemiskinan
struktural. Cara lain, negara bisa
hadir dalam urusan-urusan publik, misalnya, melalui pendidikan yang lebih
baik, mengelola konflik secara demokratis, serta menghormati, memenuhi, dan
melindungi hak asasi. Secara alamiah, manusia akan menghindari hukuman dan
rasa takut dengan cara lain. Maka, agar tak terkena sanksi dari pasal-pasal
pelanggaran dalam KUHP, warga negara akan terdorong bernegosiasi dengan
penegak hukum untuk lolos dari sanksi. Akibatnya, hukum hanya berlaku bagi
orang-orang yang tak punya kekuatan untuk bernegosiasi. Para pembuat hukum,
terutama yang berlatar belakang ahli hukum atau advokat, biasanya mengatakan
hal umum ketika mendengar penjelasan seperti ini: “bila tidak salah, buktikan
saja di pengadilan”. Mereka luput melihat bahwa penegakan hukum tidak ramah
bagi setiap orang. Pelanggar hukum pidana yang tak punya kekuasaan atau uang
untuk bernegosiasi dengan penegak hukum atau bersembunyi dari hukuman hanya
bisa pasrah menerima sanksi yang ia terima. Sementara itu, mereka yang punya
kekuasaan atau uang untuk menyewa advokat andal berharga mahal bisa punya
peluang membuktikan diri tak bersalah di pengadilan. Pada akhirnya, seperti
yang kerap dikemukakan oleh pemerintah, RKUHP tidak bisa didiskusikan
terus-menerus tanpa ada akhirnya. Namun ini bukan berarti kita harus menerima
KUHP apa adanya seperti saat ini. Pemerintah dan DPR harus membahas ulang
pasal-pasal yang masih mendapat penolakan dengan argumen kuat. Pemerintah
sebagai penyusun RKUHP memang harus mengambil keputusan, tapi keputusannya
mesti berdasarkan aturan negara hukum, bukan atas nama suara mayoritas,
apalagi otoritas para ahli hukum pidana yang terbatas. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/nasional/166471/mengapa-rkuhp-masih-membawa-semangat-kolonialisme
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar