Mengapa Bank Masih Memberikan Kredit
untuk Industri Batu Bara Aisha Shaidra : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 23
Juli
2022
SEBENTAR lagi PT Eco Paper
Indonesia akan memiliki mesin pembuat kertas (paper machine) baru. “Kapasitas
mesin baru yang akan terpasang mencapai 500 ton per hari. Dua kali lipat
mesin yang lama,” kata Direktur PT Alkindo Naratama Tbk Willy Soesanto pada
Rabu, 20 Juli lalu. Tapi yang istimewa dari mesin pembuat kertas baru ini
bukan hanya kapasitasnya, tapi juga skema pembiayaannya. Anak usaha Alkindo yang
memproduksi beragam kertas cokelat, seperti kraft liner, eco-board, dan
coreboard, itu menggunakan skema pembiayaan hijau untuk meningkatkan
produksinya. Pada pertengahan Maret lalu, mereka mendapatkan kredit hijau
dari PT Bank HSBC Indonesia sebesar Rp 27 miliar, yang merupakan fasilitas
pembiayaan hijau pertama HSBC Indonesia. Francois de Maricourt,
Presiden Direktur PT Bank HSBC Indonesia, mengatakan pemberian kredit untuk
Eco Paper merupakan wujud komitmen mereka dalam mendukung pertumbuhan ekonomi
sirkular. “Industri jasa keuangan memiliki peran penting dalam transisi
menuju masa depan yang berkelanjutan," ujarnya, Selasa, 19 Juli lalu. Kredit untuk Eco adalah
awal dari serangkaian jurus yang sudah disiapkan HSBC dalam membantu negara
mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan memitigasi dampak
perubahan iklim. Maricourt menyebutnya sebagai strategi net zero alias nol
bersih, yakni mendukung pelanggan melakukan transisi untuk menurunkan emisi
hingga nol bersih pada 2030. Secara global, HSBC
berniat menggulirkan pembiayaan hingga US$ 1 triliun atau hampir Rp 15 ribu
triliun untuk investasi usaha berkelanjutan. "Kami telah menyediakan US$
127 miliar menuju sasaran ini sejak Januari 2020,” kata Maricourt. Eco tidak hanya menerima
kredit hijau dari HSBC. Tiga bulan setelahnya, mereka mendapatkan pembiayaan
serupa sekitar Rp 472 miliar dari PT Bank Central Asia Tbk. "BCA turut
mendorong pembiayaan untuk sektor berkelanjutan," tutur Executive Vice
President Secretariat & Corporate Communication BCA Hera F. Haryn. Selain menyediakan
pembiayaan hijau, Hera mengatakan, BCA melakukan upaya-upaya internal untuk
menurunkan emisi karbon. "Tahun lalu BCA menyumbang penghematan 887,8
ton CO2 equivalents melalui berbagai inisiatif ramah lingkungan,"
ujarnya. Dia memastikan BCA tidak lagi menyalurkan pembiayaan baru untuk
sektor batu bara. "Outstanding pembiayaan batu bara saat ini sebesar 0,1
persen dari total kredit BCA.” Sejumlah bank dalam negeri
belakangan memang tampak mulai menggunakan kriteria environmental, social,
and governance untuk mengukur keberlanjutan dan dampak etis rencana investasi
perusahaan yang hendak dibiayai. Tapi mereka belum setegas sejumlah bank
internasional yang terang-terangan sudah menyetop pembiayaan ke perusahaan
batu bara demi mendorong percepatan transisi energi. Meski begitu, langkah
tersebut belum berdampak kuat. Produksi dan ekspor batu bara Indonesia terus
meningkat, hanya sempat turun sebentar pada awal masa pandemi Covid-19.
Sampai saat ini Indonesia masih menjadi salah satu negara produsen utama batu
bara dunia. "(Produksi dan
ekspor) meningkat karena demand-nya meningkat. Meski beritanya banyak
perbankan yang meninggalkan pendanaan batu bara," ucap Direktur
Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia Hendra Sinadia, Sabtu, 23
Juli lalu. Berkurangnya pendanaan perbankan, menurut Hendra, bukanlah kabar
baru. "World Bank sejak 2005, tapi faktanya produksi dan ekspor terus
meningkat. Di dunia juga pembangunan pembangkit listrik tenaga uap batu bara
terus berkembang.” ••• KOMITMEN menghentikan
operasi pembangkit listrik tenaga batu bara mengemuka dalam Konferensi
Tingkat Tinggi Perubahan Iklim COP26 tahun lalu. Sebanyak 25 negara dan
sejumlah bank serta lembaga keuangan bertekad mengakhiri pendanaan untuk batu
bara. Di antaranya pemberi pinjaman internasional utama seperti HSBC,
Fidelity International, dan Ethos. Di Indonesia, belum
terdengar kabar perbankan nasional tegas menyatakan akan menyetop pembiayaan
untuk pembangkit listrik tenaga batu bara. Namun sebagian besar bank
berkomitmen mengambil bagian dalam penurunan emisi karbon serta menerapkan
prinsip environmental, social, and governance (ESG). Gabungan organisasi
masyarakat sipil #BersihkanIndonesia sempat menggalang kampanye
#BersihkanBankmu lantaran masih ada empat bank nasional yang mendanai
industri batu bara yang terdaftar dalam Global Coal Exit List 2020. Mereka
adalah Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia, Bank Negara Indonesia, dan BCA. Vice President Corporate
Communications Bank Mandiri Ricky Andriano membenarkan kabar bahwa Bank
Mandiri terlibat dalam pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa 9
dan 10 sejak 2020. Dia beralasan Mandiri mengikuti program pemerintah dalam
sektor ketenagalistrikan. "Itu sejalan dengan road map Perusahaan
Listrik Negara dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk mencapai
aspirasi Indonesia tanpa karbon 2060 (net zero emission), yang tentunya masih
dalam koridor Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PLN 2021-2030,"
tutur Ricky, Jumat, 15 Juli lalu. Ricky mengatakan Bank
Mandiri rutin melaporkan kinerja implementasi ESG kepada semua pemangku
kepentingan dalam bentuk sustainability report dan laporan analyst meeting.
"Kami memastikan disclosure tersebut telah mengadopsi standar laporan
sesuai dengan best practices," ujarnya. Direktur Utama BNI Royke
Tumilaar juga tak menampik adanya pembiayaan yang mengucur ke industri batu
bara. Namun, menurut Royke, BNI cukup selektif dan melakukan pembatasan
secara bertahap. "Portofolio pembiayaan batu bara (mining, trading, and
construction) BNI saat ini relatif kecil, hanya sebesar 1,98 persen dari
total portofolio kredit BNI periode Mei 2022," katanya pada Rabu, 20
Juli lalu. Sebagian debitor pun, Royke menambahkan, sudah memiliki peringkat
Proper Biru dan Emas dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Angka pembiayaan hijau
yang digelontorkan BNI per Mei 2022, Royke melanjutkan, sudah sebesar Rp
168,5 triliun, setara dengan 28,36 persen dari total kredit BNI. "Selain
itu, kami sudah menerbitkan green bonds, di mana dana yang dihasilkan akan
digunakan khusus untuk membiayai proyek-proyek dengan kategori hijau." Dibanding bank nasional
lain, BRI tak begitu kewalahan menghentikan pendanaan ke sektor batu bara
karena banyak berfokus pada segmen usaha mikro, kecil, dan menengah.
"Sektor industri batu bara ataupun minyak bukan prioritas BRI dalam
penyaluran kredit," tutur Corporate Secretary BRI Aestika Oryza Gunarto,
Senin, 11 Juli lalu. Selain bakal berfokus pada
sektor pertanian, industri pengolahan, perdagangan, aktivitas jasa keuangan,
aktivitas kesehatan, dan kesenian hiburan, menurut Aestika, BRI bakal terus
memperbesar porsi pembiayaan untuk sektor energi baru dan terbarukan sebagai
komitmen mewujudkan perbankan berkelanjutan. Tapi, seperti BNI, BRI
masih tercatat membiayai PLTU Jawa 9 dan 10. Mereka juga terlibat dalam
kredit sindikasi sebesar US$ 400 juta untuk PT Adaro, perusahaan pertambangan
batu bara. Selain itu, BRI menyatakan masih akan mendukung penuntasan
pembangunan megaproyek listrik 35 ribu MW yang sumber energi utamanya batu
bara. Ihwal lambatnya transisi
perbankan Indonesia menuju pembiayaan berkelanjutan, Direktur Utama BNI Royke
Tumilaar mengatakan mereka tidak bisa berubah secara drastis. Menurut dia,
mereka ingin memastikan transisi berdampak positif pada ekosistem ekonomi
masyarakat. Pengalihan pembiayaan dari
energi fosil ke energi terbarukan, Royke menjelaskan, bisa diawali dari penyusunan
framework yang mengedepankan prinsip ESG. Tahap selanjutnya adalah penyusunan
kebijakan-kebijakan yang mengadopsi standar-standar regulator perbankan. Tahun ini, pemerintah
melalui Otoritas Jasa Keuangan sudah menerbitkan taksonomi hijau yang menurut
Royke bisa menjadi acuan lebih jelas bagi perbankan untuk membentuk
portofolio hijau. "Ini akan menjadi pedoman bagi bank dalam memberikan
pembiayaan kepada perusahaan batu bara atau perusahaan lain yang memiliki
dampak terhadap lingkungan," ujarnya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar