Minggu, 24 Juli 2022

 

Bagaimana Keluarga Mengungkap Kejanggalan Kematian Brigadir Yosua

Riky Ferdianto :  Jurnalis Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 23 Juli 2022

 

 

                                                           

KELUARGA Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir Yosua, 27 tahun, akhirnya menerima kabar baik pada Jumat, 22 Juli lalu. Kepolisian Daerah Jambi mengabarkan akan menggali kuburan dan mengautopsi ulang jenazah Brigadir Yosua. Keluarga berharap autopsi ulang akan membuka tabir kematian Yosua. Untuk memperjuangkan keinginan ini, Samuel Hutabarat, ayah Yosua, berangkat dari Jambi ke Jakarta pada pertengahan Juli lalu.

 

Pengacara keluarga Brigadir Yosua, Kamaruddin Simanjuntak, mengatakan rencana autopsi jasad Yosua disetujui dengan syarat. Untuk menjamin independensi hasil pemeriksaan, kata dia, pihak keluarga meminta keterlibatan pakar forensik dari sejumlah rumah sakit.

 

Para pakar itu di antaranya dokter forensik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta. “Kami sepakat itu dilakukan pekan depan,” ujar Kamaruddin pada Jumat, 22 Juli lalu.

 

Jenazah Brigadir Yosua ditemukan di rumah dinas Kepala Profesi dan Pengamanan Inspektur Jenderal Ferdy Sambo di kawasan Duren Tiga, Jakarta Selatan, pada Jumat, 8 Juli lalu. Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya menetapkan Bhayangkara Dua Richard Eliezer Pudihang Lumiu sebagai tersangka penembak Yosua.

 

Sebelumnya, Rumah Sakit Bhayangkara Raden Said Sukanto atas permintaan penyidik Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Selatan mengautopsi jenazah Yosua. Laporan autopsi menyebutkan terdapat tujuh luka tembak masuk dan enam luka tembak keluar di bagian kepala, dada, dan tangan korban. Proyektil peluru juga merobek otot sela iga ke-2 dan ke-8 serta menyebabkan retakan tulang tengkorak.

 

Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo membenarkan kabar mengenai autopsi ulang tubuh Yosua. Menurut dia, pihaknya memberi kebebasan kepada keluarga untuk melibatkan dokter forensik di luar institusi Polri guna menjamin kredibilitas pemeriksaan.

 

Ia belum mengetahui mekanisme dan lokasi autopsi tersebut. “Belum ada kepastian soal tempat. Nanti diputuskan menyesuaikan kebutuhan di lapangan,” kata Dedi.

 

Sejak menerima jenazah Yosua di Jambi pada Sabtu, 9 Juli lalu, keluarga sangsi luka-luka di tubuh Yosua hanya karena ditembus peluru. Menurut Kamaruddin Simanjuntak, jejak luka di bawah kelopak mata kanan dan belakang telinga kanan mengindikasikan petunjuk luka bekas sayatan.

 

Terlihat pula bekas jahitan di bagian hidung dan bibir korban. Pengamatan ini diperoleh setelah keluarga bersitegang dengan polisi yang mengantar jenazah Yosua. “Pihak keluarga semula dilarang membuka peti dan diperlakukan secara semena-mena,” ucap Kamaruddin.

 

Bibi Yosua, Rohani Simanjuntak, mengatakan keluarga sempat mempertanyakan penyebab luka pada jari kelingking dan jari manis kiri korban. Kondisinya masih mengalirkan darah segar. Luka itu sebelumnya tak teridentifikasi lantaran jenazah Yosua mengenakan sarung tangan saat di peti mati. “Dua jarinya patah,” ujar Rohani.

 

Kepala Dinas Penerangan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat Brigadir Jenderal Tatang Subarna belum mengetahui rencana untuk melibatkan tim forensik RSPAD Gatot Soebroto untuk mengautopsi ulang jenazah Yosua. “Saya konfirmasi dulu,” katanya. Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut Laksamana Pertama Julius Widjojono berkomentar yang sama. “Sampai saat ini belum ada arahan dari Panglima TNI,” ucapnya pada Sabtu, 23 Juli lalu.

 

Selain kondisi jenazah, keluarga Yosua turut mengeluhkan personel Divisi Propam yang mengantar jenazah Yosua ke Jambi. Di antaranya, Kepala Biro Provos Brigadir Jenderal Benny Ali dan Kepala Biro Pengamanan Internal Brigadir Jenderal Hendra Kurniawan. “Karo Provos memaksa adik korban menyetujui permohonan autopsi. Padahal ini bukan tupoksi (tugas pokok dan fungsi) dia,” tutur Kamaruddin.

 

Keluarga juga merasa diintimidasi saat Brigadir Jenderal Hendra Kurniawan bersama personel polisi lain mendatangi rumah Samuel Hutabarat, ayah Yosua, di Sungai Bahar, MuaroJambi. Telepon seluler semua anggota keluarga yang berada di rumah ikut disita.

 

Kamaruddin mengatakan Hendra pula yang menolak permintaan keluarga agar Yosua dikuburkan dengan upacara dinas kepolisian. “Perlakuan itu melukai perasaan keluarga korban yang tengah dirundung duka,” ujar Kamaruddin.

 

Kegaduhan itu membuat Markas Besar Polri turun tangan. Sejumlah perwira polisi diperintahkan membangun komunikasi yang baik dengan keluarga Yosua. Salah satunya Kepala Kepolisian Daerah Jambi Inspektur Jenderal Albertus Rachmad Wibowo. Menurut Kamaruddin, Kapolda menyampaikan permintaan maaf atas tindakan sejumlah personel yang dianggap tidak pantas. Ia juga menjanjikan bantuan kepada pihak keluarga guna meringankan beban yang tengah mereka hadapi.

 

Tak lama seusai pertemuan itu, kata Kamaruddin, bantuan untuk keluarga Yosua mengalir deras. Tercatat sedikitnya 26 kardus minuman kaleng beraneka rasa dikirim ke rumah Samuel. Ada pula ponsel Samsung Galaxy A03.

 

Sejumlah anggota keluarga mengaku ditawari beasiswa pendidikan. Sementara itu, bagi yang sedang mencari pekerjaan ditawari peluang kerja di tempat yang menjanjikan. “Yang kami harapkan sebenarnya adalah keseriusan dan perlakuan adil polisi dalam mengungkap kasus itu,” ucap Kamaruddin.

 

Brigadir Jenderal Hendra Kurniawan tak merespons permintaan wawancara Tempo. Pemeriksa Utama Divisi Propam Komisaris Besar Leonardo Simatupang membantah kabar intimidasi kepada keluarga Yosua. Dia mengklaim datang ke Jambi dan menyerahkan jenazah Yosua kepada keluarga, bukan Hendra. “Tidak ada itu. Kedatangan kami untuk menjelaskan duduk persoalan sekaligus mengantarkan mutasi adik kandung Brigadir Y,” ujarnya.

 

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jambi Komisaris Besar Mulia Prianto tak merespons pertanyaan Tempo soal ini hingga Sabtu, 23 Juli lalu. Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo membenarkan adanya pertemuan Kapolda dengan keluarga korban. Namun ia tak mengetahui secara pasti bantuan Polri kepada mereka. “Tak lama setelah pemakaman, Kapolda memang pernah datang ke rumah untuk menyatakan belasungkawa,” katanya.

 

Belakangan, Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menonaktifkan Brigadir Jenderal Hendra Kurniawan sebagai Kepala Biro Pengamanan Internal dan Komisaris Besar Budhi Herdi Susianto sebagai Kepala Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Selatan. Seorang petinggi di Mabes Polri mengatakan perilaku Hendra di Jambi yang membuat dia kehilangan jabatan. “Kesalahan dia adalah membuat gerakan yang tidak perlu,” ujarnya.

 

Inspektur Jenderal Dedi mengatakan keputusan menonaktifkan Hendra untuk memudahkan proses penyidikan kematian Brigadir Yosua. Ia memastikan penyelesaian kasus ini berlangsung cepat karena dianggap sebagai kasus prioritas oleh pimpinan Polri. “Kapolri mengawal langsung kasus ini dan menjamin tidak akan ada yang bermain-main,” ucapnya. ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/laporan-utama/166498/bagaimana-keluarga-mengungkap-kejanggalan-kematian-brigadir-yosua

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar