Bagaiman PLTB dan PLTS Menggantikan
Batu Bara Dody Hidayat : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 23
Juli
2022
KEBUN jagung Laonding
hanya berjarak 50 meter dari kincir angin milik Pembangkit Listrik Tenaga
Bayu (PLTB) Sidrap. Ada 30 kincir angin setinggi 80 meter yang terhubung
dengan jalan berbatu di perbukitan Kecamatan Watang Pulu, Kabupaten Sidenreng
Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan, itu. Tiap hari, Laonding, 34 tahun, dengan
sepeda motor melewati jalan berbatu selebar 2 meter itu dari rumah ke
kebunnya yang berjarak sekitar 1 kilometer. Laonding mengaku tak
mengetahui kegunaan kincir angin yang tingginya hampir tiga kali lipat pohon
kelapa itu. “Kata orang, kincir angin itu pembuat strong (listrik),” ujar
warga Kampung Tonrongnge, Dusun Pabbaresseng, Desa Mattirotasi, Watang Pulu,
tersebut saat ditemui pada Rabu, 13 Juli lalu. “Awalnya mengganggu karena
mengeluarkan suara buk…buk…buk,” tutur Laonding. “Karyawan (PLTB Sidrap) datang
bertanya ke masyarakat dan bunyi akhirnya dikurangi. Lama-lama masyarakat
terbiasa.” Kehadiran PLTB Sidrap
mengubah kehidupan Laonding dan warga Tonrongnge lain. Sejak awal tahun ini,
mereka bisa menikmati listrik untuk pertama kalinya. “Aliran listrik itu dari
Kota Parepare, bukan langsung dari kincir angin. Tapi meteran listriknya
dibelikan perusahaan. Kami tinggal membeli token,” ucapnya. Adapun Berlian,
tetangga Laonding, mengaku bisa membuka kebun berkat kincir angin itu. “Dulu
ini hutan semua,” kata perempuan 35 tahun tersebut, yang tengah memanen
jagung. Niko Priyambada, Senior
Developer PT UPC Renewables Indonesia—bersama PT UPC Sidrap Bayu Energi
mengelola dan memiliki PLTB Sidrap—mengatakan perusahaannya membantu
penyambungan listrik ke rumah warga Dusun Pabbaresseng dan Kampung Tonrongnge
melalui program tanggung jawab sosial perusahaan. “Kami mengusahakan 85
keluarga di dekat lokasi PLTB Sidrap mendapat aliran listrik dari PLN,” ucap
Niko saat ditemui di kantornya di Jakarta, Selasa, 5 Juli lalu. Menurut Niko, PT UPC
Sidrap berencana mengembangkan PLTB Sidrap Ekspansi yang merupakan proyek
penambahan kapasitas sebesar 60 megawatt (MW) dari PLTB Sidrap yang
berkapasitas 75 MW. PLTB yang diresmikan Presiden Joko Widodo pada 2 Juli
2018 itu menjadi PLTB berskala besar pertama di Indonesia. “PLTB Sidrap
Ekspansi kini sudah siap konstruksi, tinggal menunggu dibukanya proses
pengadaan oleh PT PLN. Statusnya sama dengan PLTB Sukabumi,” tutur Niko. PLTB Sukabumi yang
dimaksud Niko adalah PLTB yang dikembangkan anak usaha UPC Renewables
Indonesia lain, PT UPC Sukabumi Bayu Energi, di Kabupaten Sukabumi, Jawa
Barat, yang bakal menjadi PLTB terbesar di Indonesia. “Pengembangan PLTB
Sukabumi ini diawali nota kesepahaman (MOU) yang ditandatangani dengan PLN
pada 2015. Isi MOU itu mengenai alokasi pengembangan PLTB berkapasitas 350 MW
di seluruh Indonesia, termasuk di Sukabumi dengan kapasitas 150-200 MW,” ujar
Niko. Menurut Niko, kapasitas
besar ditawarkan karena kondisi angin di Sukabumi berbeda dengan di Sidrap.
Pembangunan terminal khusus pun membutuhkan biaya tinggi sehingga dengan
kapasitas 60 MW tidak bisa ditawarkan tarif yang kompetitif dengan biaya
pokok produksi listrik di jaringan Jawa-Madura-Bali. “Kami telah memohon ke
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral agar mengembalikan kapasitas dalam
Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 ke kapasitas awal
150 MW,” katanya. Direktur Jenderal Energi
Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral Dadan Kusdiana membenarkan adanya permohonan dari PT UPC Sukabumi
agar alokasi PLTB Sukabumi dapat ditingkatkan. “Pada prinsipnya kami
mendukung pengembangan PLTB tersebut, tapi tetap mempertimbangkan
keseimbangan supply dan demand, serta pembangunannya dilakukan bertahap,”
ucap Dadan melalui jawaban tertulis kepada Tempo, Selasa, 12 Juli lalu. Menurut Dadan, PT UPC
selaku pengembang PLTB Sukabumi saat ini dalam tahap penyelesaian studi
kelayakan PLTB dengan kapasitas 150 MW. “Mereka telah memulai pengurusan izin
seperti analisis mengenai dampak lingkungan, izin lingkungan, dan izin
pembangunan terminal khusus. Namun pada tahap awal, sesuai dengan RUPTL PT
PLN 2021-2030, kapasitas PLTB yang dapat dikembangkan adalah sebesar 60 MW,”
tutur Dadan. Ihwal terminal khusus,
kata Niko, fasilitas itu diperlukan untuk mendaratkan komponen PLTB yang
berukuran besar. “Terminal khusus akan dibangun di Pantai Cikeueus, Desa
Girimukti, Kecamatan Ciemas, karena pelabuhan besar terdekat adalah Pelabuhan
Ciwandan di Cilegon, Banten,” ujarnya. Menurut dia, akan sangat sulit bila
mengirim komponen lewat jalur darat dari Pelabuhan Ciwandan ke lokasi proyek
yang berjarak 300-an kilometer. “Dari Pantai Cikeueus ke lokasi tiap turbin
jaraknya 15-40 kilometer.” Niko berharap tahap konstruksi
PLTB yang bernilai investasi US$ 230 juta ini bisa dimulai pada tahun depan.
Hal itu, Niko menjelaskan, sesuai dengan amanat Peraturan Presiden Nomor 87
Tahun 2021 tentang Percepatan Pembangunan Kawasan Rebana dan Kawasan Jawa
Barat Bagian Selatan. RUPTL PLN 2021-2030 juga menyebutkan waktu operasi
komersial PLTB Sukabumi pada 2024. “Setidaknya butuh waktu 18 bulan untuk
membangun proyek,” kata Niko, yang juga Direktur PT UPC Sukabumi Bayu Energi. ••• KAKI Dimas Kaharudin
mantap melangkah di jalan tanah merah berdebu di sisi timur laut Waduk Cirata
di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Direktur Operasi PT PJB-Masdar Solar
Energy (PMSE) yang tengah membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS)
terapung berkapasitas 145 megawatt AC itu antusias menunjukkan aktivitas
proyek. “Fokus saat ini adalah pembangunan fasilitas darat seperti substation
atau gardu induk, transmisi, dan kantor pembangkit,” ucap Dimas di Waduk
Cirata, Selasa, 12 Juli lalu. Menurut Dimas, pemasangan
panel surya sebagai peralatan utama PLTS terapung Cirata akan dilakukan pada
semester kedua tahun ini. Panel surya yang dipakai, dia menjelaskan, berbeda
dengan yang biasa dipasang di darat. “Karena dipasang di atas air yang selalu
bergerak, panel surya akan mengalami kelembapan dan stres yang lebih tinggi.
Jadi dibutuhkan panel surya khusus yang lebih kuat,” tuturnya. Panel surya
itu berteknologi gelas ganda dan memiliki tingkat efisiensi tertinggi saat
ini. Pemakaian panel surya
berefisiensi tertinggi itu, kata Dimas, bertujuan menghemat lahan karena area
PLTS terapung Cirata yang disyaratkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat tentang Bendungan tak boleh lebih dari 5 persen luas waduk.
"Jika menggunakan panel surya berefisiensi rendah, area yang diperlukan
untuk mencapai 145 MW itu akan lebih dari 5 persen," ujarnya. Menurut
dia, panel surya akan dipasang dalam konfigurasi 13 pulau dengan total jumlah
340 ribu unit. Dimas bercerita, ide PLTS
terapung bermula pada 2011-2012. Kala itu ia masuk tim Unit Pembangkitan
Cirata di PT Pembangkitan Jawa Bali yang bertugas mencari energi terbarukan
yang paling tepat untuk masa depan. Energi surya, dia melanjutkan, menjadi
pilihan, tapi ada keterbatasan karena membutuhkan lahan yang luas. “Kami
melihat, daripada memakai lahan produktif, mengapa tidak di waduk seluas
6.500 hektare ini saja," ucapnya. "Sejak itu, kami bercita-cita
mengembangkan PLTS terapung skala besar." Angan-angan itu, kata
Dimas, kian dekat dengan kenyataan ketika muncul PLTS terapung berskala besar
pada 2016. Namun kendala lain adalah tarif PLTS yang tinggi. Dia menjelaskan,
untuk mencari cara terbaik menurunkan tarif PLTS, pemerintah melakukan studi
banding dan kerja sama antar-pemerintah dengan Uni Emirat Arab (UEA).
"UEA berhasil mengembangkan PLTS bertarif sangat ekonomis, US$ 2,9 sen
per kilowatt-jam,” tuturnya. “Dari situ ketemu Masdar yang juga mau
mengembangkan PLTS terapung di Indonesia.” Mendorong pembangunan PLTS
memang strategi paling memungkinkan bagi pemerintah guna mencapai target 23 persen
bauran energi baru dan terbarukan (EBT) pada 2025. Menurut Direktur Jenderal
Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi Dadan
Kusdiana, PLTS menjadi prioritas pengembangan EBT karena potensinya mencapai
3.295 gigawatt. Selain itu, pembangkit bisa dibangun di atap rumah dan waduk
sehingga tak dibutuhkan lahan baru. “Teknologinya tak serumit EBT lain dan
waktu pengembangan dan pembangunan relatif cepat,” ujarnya. Pertimbangan lain, Dadan
menambahkan, adalah harga teknologi PLTS makin kompetitif dan biaya
investasinya tak sebesar pembangkit EBT lain. Dadan membantah kabar bahwa
harga listrik EBT mahal. Ia membandingkannya dengan setrum batu bara yang
harganya saat ini US$ 200 per ton. “Hitungannya, 1 kilogram batu bara itu
menjadi 1 kilowatt-jam (kWh). Jadi, kalau US$ 200, harga listriknya US$ 20
sen per kWh,” tutur Dadan sembari membandingkan tarif listrik PLTS terapung
Cirata yang hanya US$ 5,81 sen per kWh. Dadan tidak menampik
pandangan bahwa harga batu bara bisa turun. Tapi ia memastikan harga EBT
tidak akan naik. “Harganya tetap saja segitu. Malah, dari sisi kebijakan
harga yang sekarang masih disusun, harganya tinggi di awal, setelah itu
turun,” katanya. Menurut dia, secara harga, biaya PLTS terus turun. “Dengan
adanya teknologi yang baru, harga material memang tetap akan naik. Tapi dari
sisi efisiensi panel surya juga naik. Sekarang ada PLTS yang efisiensinya 24
persen,” ujar Dadan saat ditemui di kantornya, Selasa, 19 Juli lalu. Ihwal PLTS terapung, Dadan
mengatakan potensinya cukup besar, yakni 11,9 gigawatt. “PLTS terapung dapat
diimplementasikan di semua waduk atau danau di Indonesia, dengan tetap
memperhatikan kebutuhan sistem kelistrikan setempat,” ucapnya. Dalam RUPTL
2021-2030 disebutkan sejumlah waduk yang direncanakan menjadi lokasi PLTS
terapung dengan total kapasitas 612 MW, yakni Waduk Wonogiri (100 MW), Waduk
Sutami (122), Waduk Jatiluhur (100), Waduk Mrica (60), Waduk Saguling (60),
Waduk Wonorejo (122), dan Danau Singkarak (48). PLTS terapung Cirata
menjadi yang pertama. Menurut Dadan, kemajuan pembangunan konstruksinya
mencapai 24,80 persen. Proyek pembangkit yang biayanya sebesar Rp 2,1 triliun
dengan 80 persen pendanaan berasal dari kreditor internasional—Sumitomo
Mitsui Banking Corporation, Standard Chartered Bank, dan Société Générale—ini
ditargetkan rampung pada November 2022. “Apabila beroperasi, PLTS terapung
Cirata akan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas 145 MW,”
kata Dadan. Bagi Dimas Kaharudin,
kontribusi PLTS terapung Cirata bukan pada bauran energi, melainkan perannya
sebagai pionir proyek serupa di kemudian hari. Melalui PLTS terapung Cirata,
dia menuturkan, Indonesia masuk daftar negara yang memiliki PLTS berskala
besar. Selain itu, Indonesia mampu mengembangkan PLTS terapung dalam kondisi
yang menantang. “Tarif kami bisa bersaing dengan pembangkit listrik bahan
bakar fosil yang ada saat ini dan PLTS ini didanai oleh international
lender,” ucap Dimas. Pendiri Indonesia Research
Institute for Decarbonization, Paul Butarbutar, membenarkan klaim PLTS
terapung Cirata sebagai yang terbesar di Asia Tenggara. “Di seluruh dunia pun
tak banyak PLTS terapung berkapasitas besar,” tuturnya pada Jumat, 22 Juli
lalu. Menurut dia, kapasitas PLTS Indonesia masih sangat kecil. Yang besar
hanya PLTS Likupang, Sulawesi Utara, yang berkapasitas 21 MW dan PLTS Kupang
dengan kapasitas 5 MW. Selebihnya berkapasitas 1-2 MW dan kurang dari 1 MW.
Selain PLTS terapung Cirata, pada tahun ini akan beroperasi dua PLTS 25 MW di
Bali. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar