Dukungan Riset Ganja
Medis Makin Kuat Hussein Abri Dongoran : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 16
Juli
2022
DIGELAR secara daring pada
akhir Juni lalu, rapat petinggi Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat
Kesehatan Kementerian Kesehatan membahas soal manfaat ganja untuk kesehatan.
Juru bicara Kementerian Kesehatan, Mohammad Syahril, yang hadir dalam
pertemuan tersebut, mengatakan para peserta berdiskusi soal aturan dan
kandungan ganja. “Kami menyamakan informasi soal ganja medis,” Syahril
bercerita kepada Tempo di kantornya, Kamis, 14 Juli lalu. Menurut Syahril, diskusi
soal ganja medis digelar karena menjadi perhatian publik. Beberapa hari
sebelumnya, orang tua Pika Sasikirana, Santi Warastuti dan Sunarta,
berkampanye soal penggunaan ganja medis di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta,
saat hari bebas kendaraan, Ahad, 26 Juni lalu. Mereka membawa kanvas
bertulisan “Tolong, anakku butuh ganja medis”. Santi meyakini ganja medis
dapat membantu pengobatan Pika yang terkena cerebral palsy atau lumpuh otak. Rapat di Kementerian
Kesehatan membicarakan juga soal kegunaan ganja untuk cerebral palsy. Dokumen
rapat yang didapat Tempo menyebutkan kanabis, meski memiliki dampak negatif,
yaitu potensi ketergantungan, juga bisa digunakan untuk mengobati stroke,
epilepsi, dan nyeri neuropati. Efek samping ganja, yang disebut mudah tumbuh
di Indonesia, juga tergolong ringan. Syahril bercerita, rapat
itu juga membahas rancangan peraturan Menteri Kesehatan tentang penelitian
ganja untuk kesehatan. Dua petinggi Kementerian yang mengetahui penyusunan
rancangan itu mengatakan, draf tersebut rampung awal tahun ini dan telah
disampaikan kepada Presiden Joko Widodo melalui Sekretaris Kabinet Pramono
Anung. Namun, hingga kini, Istana belum menyetujui rancangan tersebut. Pramono Anung tak
merespons pertanyaan yang diajukan Tempo ke nomor telepon pribadinya. Adapun
Syahril membenarkan informasi tersebut. “Rancangannya sudah diajukan ke
kantor Presiden pada awal tahun,” katanya. Peraturan Menteri
Kesehatan berisi aturan detail soal institusi yang boleh mengajukan rencana
riset ganja medis, masalah pembiayaan, keamanan, serta mekanisme pemusnahan
ganja. Syahril menjelaskan, institusi riset harus memiliki apoteker
bersertifikat dan memenuhi pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik. Selain itu,
lembaga riset diminta menggandeng perusahaan farmasi besar. Hasil riset nantinya
diharapkan bisa digunakan secara praklinis terhadap hewan. Setelah itu,
dilakukan uji klinis tahap I sampai III terhadap manusia. “Pengaturannya
mirip dengan pengujian vaksin Covid-19,” ucap Syahril, yang juga menjabat
Direktur Utama Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof Dr Sulianti Saroso. Dalam bagian latar
belakang rancangan tersebut, Kementerian Kesehatan juga merujuk pada
penggunaan ganja medis di negara lain. Ada pula, kata Syahril, soal sejarah
penggunaan ganja di dalam negeri, yaitu Aceh dan Sumatera Barat. Kementerian Kesehatan
melibatkan lembaga lain, seperti Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Markas
Besar Kepolisian RI, dalam penyusunan rancangan tersebut. Koordinator
Kelompok Ahli BNN Ahwil Loetan belum bisa memastikan pertemuan antara pejabat
lembaganya dan Kementerian Kesehatan. “Ketika Kementerian Kesehatan ingin
meminta pendapat, kami akan memberikannya,” ujar purnawirawan komisaris
jenderal ini, Selasa, 12 Juli lalu. Setelah draf rampung,
Kementerian Kesehatan mulai mendekati Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan
Rakyat. Wakil Ketua Komisi Kesehatan Charles Honoris mengaku diajak
berdiskusi secara informal oleh pejabat Kementerian Kesehatan soal rancangan
peraturan riset ganja medis pada awal tahun ini.“Hanya disebut untuk
penelitian tahap awal,” tuturnya pada Rabu, 13 Juli lalu. Kepada pejabat itu,
Charles menyampaikan dukungannya. Dia menganggap riset ganja medis bisa
bermanfaat untuk pengembangan kesehatan. Setelah Santi Warastuti meneriakkan
soal ganja medis untuk putrinya, Pika Sasikirana, Charles merilis pernyataan
yang mendukung riset ganja medis. “Negara tidak boleh berpangku tangan
melihat Pika-Pika lain yang menunggu pemenuhan hak kesehatannya,” ujar
politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini. Wakil Presiden Ma’ruf Amin
juga meminta Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa baru mengenai
penggunaan ganja untuk medis. “Saya minta dibuat fatwa untuk dipedomani, agar
jangan berlebihan dan menimbulkan kemudaratan,” ucapnya, Selasa, 28 Juni
lalu. Selama ini MUI melarang penggunaan ganja tanpa pengecualian. Juru bicara Wakil
Presiden, Masduki Baidlowi, enggan menjelaskan permintaan Ma’ruf itu.
“Silakan telepon Bapak Asrorun Ni’am, dia sudah bergerak,” katanya, Jumat, 15
Juli lalu. Ketua Bidang Fatwa MUI Asrorun Ni’am tak merespons permintaan
wawancara Tempo. Tapi, saat memberikan keterangan pers, Asrorun mengatakan
akan mengkaji sesuai dengan permintaan Ma’ruf. Dukungan juga diberikan
oleh Yayasan Sativa Nusantara, yang mengkampanyekan pentingnya ganja medis.
Pada Februari lalu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menerima perwakilan
lembaga itu di rumah dinasnya di Widya Chandra, Jakarta Selatan. Pertemuan
itu difasilitasi oleh anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Agung Laksono. Kepada Tempo pada Sabtu,
16 Juli lalu, Agung membenarkan adanya pertemuan itu. “Saya sampaikan, ada
yang bisa menjelaskan mengenai manfaat ganja untuk kesehatan,” ujar mantan
Ketua DPR itu. Dalam pertemuan itu, Budi Gunadi menerima banyak penjelasan
dari Yayasan Sativa. Menteri Budi mengatakan
akan mengeluarkan regulasi itu dalam waktu dekat. Kementerian Kesehatan akan
mengawasi penelitian secara langsung. Tak tertutup kemungkinan pemerintah
akan menjalankan legalisasi ganja medis. “Kalau sudah keluar penelitiannya,
nanti bisa diproduksi, tapi khusus untuk produk atau layanan medis,” tutur
Budi kepada sejumlah wartawan, Rabu, 29 Juni lalu. Riset ganja medis
dimungkinkan dalam Undang-Undang Narkotika. Pasal 8 aturan tersebut
menyebutkan narkotik golongan I—ganja termasuk di dalamnya—bisa digunakan
untuk pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, serta reagensia diagnostik
dan laboratorium setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri Kesehatan atas
rekomendasi Badan Pengawas Obat dan Makanan. Juru bicara Kementerian
Kesehatan, Mohammad Syahril, mengatakan lembaganya sudah memiliki cukup
banyak kajian soal khasiat kanabis. Namun, sejak Undang-Undang Narkotika
disahkan pada 2009, Kementerian Kesehatan belum mengeluarkan aturan pelaksana
tentang penggunaan narkotik untuk riset. Kementerian sempat
mengeluarkan izin penelitian penggunaan ganja kepada Lingkar Ganja Nusantara,
organisasi yang menaungi Yayasan Sativa Nusantara, pada 2015. Tapi aturan itu
tak terlalu kuat karena diteken oleh Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan. Pada tahun yang sama,
Menteri Kesehatan Nila Djuwita Moeloek mengeluarkan aturan tentang izin
memperoleh, menanam, menyimpan, dan menggunakan tanaman papaver, ganja, dan
koka. Izin itu diberikan kepada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Obat dan Obat Tradisional Kementerian Kesehatan di Tawangmangu,
Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Rencananya Balai Besar
Penelitian di Tawangmangu akan memberikan ganja untuk riset Lingkar Ganja
Nusantara. Namun riset itu tak berjalan karena Balai Besar tak kunjung
memberikan ganja untuk penelitian. “Jadi birokratis dan akhirnya berhenti,”
kata Direktur Eksekutif Yayasan Sativa Nusantara Dhira Narayana, Selasa, 5
Juli lalu. Melalui pesan WhatsApp pada Sabtu, 16 Juli lalu, Nila Djuwita
Moeloek mengaku lupa soal izin tersebut. Pejabat hubungan
masyarakat Balai Besar Penelitian Tawangmangu, Alex Febrian Pulung, meminta
keterangan tentang riset ganja medis ditanyakan kepada juru bicara
Kementerian Kesehatan, Mohamad Syahril. Adapun Syahril mengatakan Lingkar
Ganja Nusantara dan Yayasan Sativa yang tak melengkapi syarat-syarat untuk
penelitian. Tak hanya melalui
peraturan Menteri Kesehatan, legalisasi ganja medis makin terbuka dengan
rencana revisi Undang-Undang Narkotika di Komisi Hukum DPR. Anggota Panitia
Kerja Revisi Undang-Undang Narkotika, I Wayan Sudirta, mengatakan dia dan
koleganya sudah menerima penjelasan dari Santi Warastuti dan Yayasan Sativa
Nusantara soal manfaat ganja medis pada Kamis, 30 Juni lalu. Menurut Wayan, revisi
Undang-Undang Narkotika perlu menyeimbangkan aspek kesehatan dan penegakan
hukum. Ia menilai aturan tersebut selama ini lebih mengedepankan penegakan
hukum. “Sehingga aturannya tidak efektif,” ujar politikus PDI Perjuangan ini.
Wayan berniat mengusulkan ganja turun pangkat dari narkotik golongan I
menjadi golongan II atau III. Anggota Panitia Kerja dari
Fraksi Partai Amanat Nasional, Sariffudin Sudding, mengatakan Komisi Hukum
akan meminta masukan dari sejumlah kalangan, termasuk akademikus, soal ganja
medis ataupun penurunan golongan narkotik. Ia yakin pemerintah akan mendukung
revisi Undang-Undang Narkotika. Salah satu alasannya, kasus penyalahgunaan
narkotik telah mengakibatkan penjara penuh sesak, termasuk oleh para pengguna
ganja. “Banyak penjara overload,” katanya. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/laporan-utama/166441/dukungan-riset-ganja-medis-makin-kuat |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar