Cara Warga Ternate
Utara Panen Air Hujan Dini Pramita : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 2
Juli
2022
ZULKIFLI terlihat serius
mengawasi pekerja menggali lubang berukuran 2 x 2 x 1,5 meter untuk menabung
air hujan di halaman belakang rumahnya. Pagi itu, peraih Penghargaan
Kalpataru 2022 kategori Pengabdi Lingkungan ini hendak memastikan penggalian
lubang untuk instalasi pemanfaatan air hujan alias IPAH tersebut selesai
sebelum musim hujan datang. "Kami butuh banyak lubang resapan untuk
kebutuhan air bawah tanah," kata pria 48 tahun itu, Selasa, 28 Juni
lalu. IPAH yang sedang dibangun
itu adalah yang kedua di rumah Zulkifli di Kelurahan Koloncucu, Kecamatan
Ternate Utara, Kota Ternate, Maluku Utara. Tujuh tahun silam, Zulkifli sudah
membangun IPAH di samping rumahnya. Itu IPAH kedua yang dibangun Zulkifli
setelah yang pertama selesai didirikan di kantor Kecamatan Ternate Utara di
Jalan Batu Angus, Kelurahan Dufa Dufa, yang menjadi percontohan dalam program
Gerakan Menabung dan Memanen Air Hujan Kecamatan Kota Ternate Utara atau
Gemma Camtara yang ia gagas. Zulkifli, yang menjabat
Camat Ternate Utara 2013-2021, menggagas Gemma Camtara karena Kota Ternate
mengalami krisis air bersih pada 2015. Saat itu Perusahaan Umum Daerah
(Perumda) Air Minum Ake Gaale—sebelumnya bernama Perusahaan Daerah Air Minum
Ternate—mengalami defisit air. Penyebabnya, mata air Ake Gaale sebagai salah
satu sumber air baku perusahaan tersebut tidak bisa memasok air karena
mengalami intrusi air laut. Jarak antara mata air Ake Gaale dan Pantai
Sangaji hanya 300 meter. Sudah lama air tanah
menjadi andalan warga Kota Ternate untuk kebutuhan air bersih. Selain berasal
dari mata air Ake Gaale, air baku Perumda Ake Gaale dipasok dari dua sumur
dangkal, tiga sumur dangkal-dalam, dan dua danau (Laguna dan Tolire) yang
berada di tiga kecamatan. "Kondisi ini berlangsung selama puluhan tahun
sehingga tak mengherankan Ternate bagian utara mengalami krisis air," tutur
Zulkifli, yang kini menjadi anggota staf analis keuangan di Sekretariat
Daerah Pemerintah Kota Ternate. Zulkifli memberikan
ilustrasi ihwal krisis air Kota Ternate. Menurut data Badan Pusat Statistik
Kota Ternate, tiap orang mengkonsumsi air sebanyak 90-120 liter per hari.
Sedangkan Perumda Ake Gaale hanya menyalurkan 2,7 juta liter bagi sekitar
28.505 pelanggannya. Untuk memenuhi permintaan itu, Perumda meningkatkan
produksi dari 100 meter kubik per detik menjadi 140 meter kubik per detik.
Akibatnya, air tanah terkuras dan berganti dengan air asin. Zulkifli mengungkapkan,
kondisi tersebut yang membuat ia makin serius menggalakkan Gemma Camtara. Ia
optimistis air hujan dapat menjadi solusi karena jumlah hari hujan di Ternate
per tahun rata-rata 226 hari dengan jumlah curah hujan rata-rata 187
milimeter per bulan. "Kondisi ini seharusnya tidak membuat Ternate
krisis air," ujar Zulkifli, yang sudah membangun setidaknya 130 IPAH di
tujuh kecamatan dan empat pulau di Kota Ternate. Unit IPAH itu bisa menampung
5.000-6.000 liter air hujan. Zulkifli bercerita, dia
memulai inisiatif Gemma Camtara menggunakan instalasi penampungan sederhana
yang dilengkapi alat pemurni air. Instalasi ini terdiri atas pemanen,
penampung, penyaring, dan penyalur. Material IPAH yang digunakan berupa
paralon dan tandon air dari bahan polietilena atau serat kaca. IPAH adalah
teknologi tepat guna yang dikembangkan Agus Maryono, dosen Departemen Teknik
Sipil Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Saat Zulkifli memulai
Gemma Camtara pada 2015, sudah ada peraturan wali kota yang mewajibkan kantor
pemerintah membuat sumur resapan. Zulkifli mengusulkan anggaran pembuatan
sumur resapan itu di setiap kelurahan yang berjumlah 14. Selain itu, setiap
kelurahan diminta membuat puluhan lubang biopori. Adapun biaya pembuatan IPAH
tidak berasal dari anggaran kelurahan, melainkan donasi berbagai kalangan
melalui Sedekah Air Hujan. Menurut pengajar geologi
di Program Studi Teknik Pertambangan Universitas Muhammadiyah Maluku Utara,
Abdul Kadir Dahlan Arif, selain menggunakan curah hujan, sebenarnya warga
Kota Ternate bisa memanfaatkan beberapa akuifer yang dapat menampung air
bawah tanah sebagai sumber air alternatif. "Problemnya adalah bagaimana
mengeksplorasi sumber-sumber ini," kata Abdul, yang meneliti zona yang
mengandung air tanah di Kelurahan Sangaji. Abdul menjelaskan, ada
beberapa faktor yang membuat Ternate bakal mengalami kelangkaan air absolut
pada 2030. Yang utama adalah tingkat pertambahan jumlah penduduk yang tinggi,
yang tentu akan meningkatkan konsumsi air. Kondisi itu diperburuk minimnya
lahan konservasi di Ternate yang ditetapkan khusus sebagai wilayah resapan
air. "Ancaman krisis air sangat mungkin terjadi lebih cepat jika
pemerintah tak membuat rencana mengatasinya dari sekarang," tuturnya. ••• SERBUK hitam mengendap
tipis di dasar ember yang berisi air hujan. Simon Yudistira Sanjaya, 58
tahun, mencelupkan alat pengukur padatan terlarut (TDS). Layar alat seukuran
spidol papan tulis itu menunjukkan angka 15. Nilai parameter pencemaran air
itu lebih kecil dari hasil pengukuran laboratorium Dinas Kesehatan Kota
Bandung pada 2017 yang menunjukkan angka 60. "Jadi airnya sudah bisa
langsung diminum," kata Simon di kediamannya di kompleks Rajawali Plaza,
Ciroyom, Kecamatan Andir, Kota Bandung, Selasa, 28 Juni lalu. Agar bisa langsung
diminum, air hujan itu diolah dengan alat rakitan sendiri yang dinamai
Cilangit, yang berarti air langit, seharga Rp 1,8 juta. Komponen utamanya
adalah filter nano berukuran 1 mikrometer untuk menyaring partikel dan
bakteri. "Filter harus diganti setelah pemakaian 4.000 liter,"
tuturnya. Untuk menghalau spora dan virus, Simon menyaring airnya dengan
lampu ultraviolet 30 watt. Aliran air didorong oleh pompa akuarium berdaya 25
watt. Hasil lain pemeriksaan
laboratorium pada 2017 itu adalah air hujan yang diolah Simon tidak berbau
dan angka warnanya 11 dari maksimum 15 dengan nilai kekeruhan 1,18 dari 5.
"Secara mikrobiologi, tidak ada bakteri E-coli," ujarnya sambil
menyodorkan dua lembar hasil uji laboratorium. Artinya, kualitas air hujan
itu memenuhi syarat kesehatan. Simon pernah menjual air olahan dari air hujan
itu kepada tetangganya yang tertarik seharga Rp 5.000 per galon. Sejak 2013, Simon merintis
penampungan air hujan berkapasitas mulai 3 meter kubik atau 3.000 liter.
Sebelumnya, ia dan keluarganya memakai air tanah yang disalurkan pengembang
hunian dengan biaya Rp 200 ribu per bulan. Karena kualitas airnya buruk,
berwarna kuning dan mengandung besi, Simon menghentikan pemakaian.
"Tidak bisa dipakai masak dan minum, baju putih juga jadi
kekuningan," tuturnya. Sementara itu, air tanah dari sumur sendiri tidak
memadai. Kini kapasitas penampungan
air hujannya berkembang menjadi 10 meter kubik lebih. Dia mengubah atap
huniannya menjadi seperti tanda centang agar lebih banyak air hujan dari atap
yang bisa masuk ke penampungan. Simon memasang tandon-tandon air berkapasitas
500-1.000 liter dari lantai atas hingga bawah tanah. Di rumah toko berlantai
tiga itu, Simon tinggal bersama empat anggota keluarganya dan seorang pegawai
toko. "Stok air bisa dipakai untuk tiga-empat minggu," ucapnya. Kamar mandi di lantai dua,
misalnya, sesak oleh ember, tong, serta instalasi paralon. Di luarnya yang
berupa lorong selebar 1 meter, berbaris rapi 15 ember bekas cat, galon, juga
tong sampah berbahan plastik. Ada juga sekitar 30 jeriken dan tong yang makin
menyempitkan ruangan. Semua wadah itu penuh berisi air hasil panen dari
hujan. "Dua hari kemarin hujan terus," kata Simon. Selain itu, ia
membuat sumur air tanah untuk mengantisipasi musim kemarau. Simon baru mulai
mengoperasikan instalasinya ketika turun hujan sedang dan lebat. Setelah 10
menit turun hujan, barulah dia membuka keran penampung. Jeda awal itu
ditujukan untuk menyilakan air hujan membersihkan atap dari segala kotoran
seperti debu atau material lain untuk mengurangi endapan. Air hujan di atap
itu mengucur ke talang, lalu disalurkan rangkaian pipa ke tempat penampungan.
Total biaya instalasi untuk memanen air hujan milik Simon sebesar Rp 10 juta. Menurut dia, sistem serupa
bisa diterapkan pada rumah hunian dengan kapasitas 1-2 meter kubik. Simon
tidak menyarankannya untuk pemakaian skala komunitas karena kebutuhan per
rumah atau keluarga beragam. Idealnya, setiap rumah dirancang dengan tempat
penampungan air hujan yang bisa ditempatkan di bawah tanah atau pekarangan. Sementara itu, Pemerintah
Kota Bandung punya upaya lain untuk menampung air hujan lewat program
Drumpori. Awalnya dipasang 600 unit drum yang tersebar di enam wilayah sejak
2019. Lokasinya di area permukiman, juga di sisi jalan raya. Sampai medio
2022, total drum bertambah sebanyak 4.186 unit. "Dengan air hujan
diresapkan, mengurangi banjir. Di musim kemarau ada simpanan air, "
tutur Kepala Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga Kota Bandung Didi Ruswandi,
Selasa, 28 Juni lalu. Ide Drumpori muncul dari
warga Bandung yang juga pegiat lingkungan, Rahim Asyik Budi Santoso.
"Dia cerita punya pengalaman bikin Drumpori selama tiga-lima
tahun," ujar Didi. Rahim memakai drum aspal bekas yang sekelilingnya
dibuat sekitar 10 lubang, lalu ditanam di tanah. Bagian atasnya diberi
penutup berpori untuk jalan masuk aliran air. Menurut kalkulasi Didi, Kota
Bandung memerlukan setidaknya 500 ribu drum. Aturan tentang resapan
air, menurut Didi, ada di Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Di daerah permukiman, caranya adalah
membuat sumur resapan atau waduk. Peraturan daerah Kota Bandung, Didi
menambahkan, juga mengatur pengelolaan air di bangunan dan tentang bangunan gedung
hijau. "Di izin mendirikan bangunan sudah diwajibkan ada sumur
resapan," ucap Didi. Di Kota Bandung, gerakan
menabung air hujan berjalan mulus dengan adanya dukungan regulasi dari
pemerintah kota. Menurut Zulkifli, untuk memaksimalkan gerakan panen air
hujan, Kota Ternate memerlukan regulasi berupa peraturan daerah atau
peraturan wali kota yang dapat mewajibkan perkantoran memasang instalasi
pemanfaatan air hujan. Ia berharap regulasi itu juga dapat menjadi landasan
untuk mengelola air dan mengkonservasi air tanah. Lisda Ariani Simabur,
pengajar di Universitas Terbuka Ternate yang meneliti Gemma Camtara,
menemukan gerakan yang digagas Zulkifli tersebut ternyata memberi cara
pandang baru kepada warga Kecamatan Ternate Utara terhadap potensi air hujan
sebagai sumber air bersih. Di sisi lain, gerakan ini bisa menyadarkan
masyarakat untuk terus menjaga air tanah dengan menghindari pemakaian air
secara berlebihan. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/lingkungan/166330/cara-warga-ternate-utara-panen-air-hujan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar