Kisah
Berebut Kuasa di Lingkungan Keluarga Monarki Arab Musthafa Abd Rahman ; Kontributor Kompas dari Kairo |
KOMPAS,
09 April
2021
Kisah perebutan kekuasaan di lingkungan
keluarga monarki Arab juga menghiasi sejarah modern Arab dalam beberapa
dekade terakhir ini. Banyak kisah perebutaan kekuasan, mulai dari Arab Saudi,
Qatar, hingga Jordania. Ada pula kisah tentang persaingan antarpangeran di
Uni Emirat Arab (UEA). Kisah paling anyar tentang perebutan
kekuasaan dalam sejarah modern Arab datang dari negeri Jordania. Pada Sabtu
(3/4/2021), dunia dikejutkan dengan berita besar dari Amman, Jordania,
tentang penangkapan besar-besaran oleh aparat keamanan Jordania terhadap
tokoh-tokoh besar negara itu. Juru bicara pemerintah yang juga Menlu
Jordania Ayman Safadi dalam konferensi pers pada Minggu (4/4) mengungkapkan,
tokoh-tokoh yang ditahan mencapai 14 hingga 16 orang. Di antara tokoh penting
yang ditangkap, ada mantan menteri, seperti Bassem Awadallah dan Sharif
Hassan Bin Zeid. Bahkan, mantan Putra Mahkota Jordania Pangeran Hamzah Bin
Hussein (41) diberitakan sempat dikenai tahanan rumah. Media internasional mengabarkan manuver
Pangeran Hamzah bin Hussein dan sejumlah loyalisnya dalam upaya mendongkel
kekuasaan kakak tirinya, Raja Abdullah II. Jika melihat kelas tokoh-tokoh
yang terlibat dalam gerakan Pangeran Hamzah itu, gerakan tersebut sangat
serius dan wajar dianggap mengancam kekuasaan Raja Abdullah II. Apalagi, beredar berita tentang
keterlibatan asing dalam gerakan Pangeran Hamzah itu. Pemerintah Jordania
tidak menunjuk langsung identitas pihak asing yang terlibat dalam gerakan
tersebut. Namun, situs berita Jordania, Ammon, dan
situs berita Israel, Walla, pada Senin (5/4) mengungkapkan, mantan pejabat
Mossad (dinas intelijen Israel) yang kini menjadi pengusaha dan berdomisili
di Eropa, Roi Shpushnik, terlibat dalam upaya kudeta gagal di Jordania itu. Beritanya kemudian berkembang, Shpushnik
adalah rekan bisnis Bassem Awadallah yang kini ditahan aparat keamanan
Jordania. Jadi, ada jaringan pengusaha besar di balik gerakan Pangeran Hamzah
itu. Karena itu, bisa disebut gerakan Pangeran
Hamzah adalah tak lebih dari perpecahan elite keluarga besar Hashemite yang
berkuasa di Jordania sejak tahun 1921. Perpecahan itu berujung pada upaya
kudeta gagal oleh Pangeran Hamzah dan loyalisnya atas Raja Abdullah II. Potensi perpecahan di lingkungan keluarga
monarki Jordania sesungguhnya memang cukup besar, mengingat Raja Abdullah II
memiliki banyak saudara tiri sehingga rentan konflik. Seperti diketahui, mendiang Raja Hussein
(Raja Jordania dari tahun 1952 hingga 1999) memiliki empat istri yang
menurunkan 11 anak. Di antara 11 anak itu, Raja Abdullah II merupakan anak
dari istri kedua Raja Hussein, Ratu Mona. Kasus upaya kudeta gagal oleh Pangeran
Hamzah atas kakak tirinya, Raja Abdullah II, bukan hal baru dalam sejarah
monarki Arab. Apa yang terjadi dalam keluarga monarki di Jordania juga pernah
terjadi dalam keluarga monarki di Arab Saudi dan Qatar. Kisah perebutan kekuasaan paling seru
terjadi di Arab Saudi, yakni tampilnya Pangeran Mohammed bin Salman (MBS)
sebagai putra mahkota pada Juni 2017. Harian The New York Times edisi 18 Juli
2017 menurunkan laporan tentang ”Kisah Akhir Juni”. ”Kisah Akhir Juni” itu
menyebutkan, proses pergantian jabatan putra mahkota Arab Saudi dari Pangeran
Mohammed bin Nayef kepada Mohammed bin Salman sebagai kudeta putih di Istana
Al-Safa, di Mekkah al-Mukarramah. ”Kisah Akhir Juni” mengungkap, Raja Salman pada
Selasa, 20 Juni 2017, malam tiba-tiba memanggil para pangeran dari keluarga
besar Al-Saud, khususnya para pangeran
anggota lembaga Bai’at, ke Istana Al-Safa di Mekkah. Pada malam itu pula, Raja Salman memanggil
Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Nayef untuk segera menemuinya di Istana
Al Safa. Setiba di Istana, Pangeran Mohammed bin Nayef langsung dibawa Raja
Salman ke sebuah kamar khusus. Di dalam kamar tersebut, Raja Salman
langsung meminta Pangeran Mohammed bin Nayef rela melepas jabatannya sebagai
putra mahkota. Pada malam itu pula, Raja Salman meminta para pangeran anggota
lembaga Bai’at yang berada di ruangan lain di Istana segera menggelar
pertemuan untuk memutuskan pergantian jabatan putra mahkota dari Pangeran
Mohammed bin Nayef kepada Pangeran Mohammed bin Salman. Jauh sebelum muncul ”Kisah Akhir Juni” itu,
perseteruan di kalangan elite anggota keluarga besar Al Saud sudah terjadi
sejak tahun 1950-an. Segera setelah naik takhta sebagai raja
pada 1953, yakni sesudah Raja Abdulaziz, ayahnya yang juga pendiri Arab Saudi
modern, wafat; Pangeran Al-Saud bin Abdulaziz langsung terlibat persaingan
sengit dengan putra mahkota dan sekaligus perdana menteri saat itu, Pangeran
Faisal bin Abdulaziz. Raja Al-Saud sempat ingin mendepak Pangeran
Faisal dari jabatan putra mahkota dan perdana menteri untuk diganti dengan
salah satu putranya sebagai putra mahkota. Namun, upaya Raja Al-Saud itu mendapat
perlawanan sengit dari Pangeran Faisal. Perlawanan Pangeran Faisal saat itu
mendapat dukungan kuat dari saudara-saudaranya, agar takhta raja tidak jatuh
ke tangan anak Raja Al-Saud, tetapi jatuh ke saudara yang lain. Pangeran
Faisal dengan dukungan saudara-saudara yang lain akhirnya memaksa mundur Raja
Al-Saud dari jabatan raja pada 1964 akibat perbedaan pendapat terus-menerus. Perpecahan keluarga elite monarki juga
pernah terjadi di Qatar pada 1995 yang berujung pada terjadinya kudeta oleh
Putra Mahkota Pangeran Hamad bin Khalifa Al-Thani terhadap ayahnya, Emir
Qatar Sheikh Khalifa bin Hamad al-Thani. Sudah rahasia umum saat itu telah terjadi
hubungan tidak harmonis antara Emir Qatar Sheikh Khalifa dan putranya yang
menjabat putra mahkota, Hamad bin Khalifa. Ketika Emir Qatar Sheikh Khalifah
bin Hamad melakukan kunjungan ke Tunisia pada Juni 1995, Hamad bin Khalifah
mengumumkan mengambil alih kekuasaan dari ayahnya. Pada 14 Februari 1996, Sheikh Khalifah bin
Hamad yang saat itu bermukim di Abu Dhabi mencoba melancarkan serangan balik
dengan melakukan kudeta atas putranya di Doha. Namun, upaya kudeta sang ayah
terhadap putranya itu mengalami kegagalan. Qatar pun terus dikendalikan Sheikh Hamad
bin Khalifa hingga ia menyerahkan kekuasaan kepada putra mahkota yang juga
anaknya, Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani, pada 2013. Cerita berbeda muncul dalam kisah persaingan
antara pangeran Abu Dhabi dan pangeran Dubai di Uni Emirat Arab (UEA).
Persaingan antara keluarga besar Al-Maktoum yang berkuasa di Dubai dan
keluarga besar Al-Nahyan yang berkuasa di Abu Dhabi sudah cukup populer. Namun, cerita mereka bukanlah persaingan
perebutan kekuasaan di UEA, melainkan hanya berebut pengaruh yang berdampak
pada persaingan antara kota Dubai dan Abu Dhabi. Abu Dhabi, yang lebih kaya
karena memiliki sumber minyak terbesar di UEA, dilawan oleh Dubai dengan
membangun diversifikasi sumber ekonomi yang sangat sukses. Dalam kekuasaan, mereka sepakat membagi
kekuasaan secara adil, dengan jabatan
presiden UEA dipegang oleh keluarga Al-Nahyan di Abu Dhabi dan wakil presiden
sekaligus perdana menteri dipegang oleh keluarga Al-Maktoum di Dubai. Demikianlah sekelumit kisah pertarungan dan
persaingan dalam lingkungan keluarga monarki di dunia Arab pada era modern
ini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar