Jakarta
Setelah Tidak Lagi Menjadi Ibu Kota Irfan Ridwan Maksum ; Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi
Negara-UI; Ketua Klaster Democracy and Local Governance |
KOMPAS,
07 April
2021
Langkah pemerintahan Presiden Joko Widodo
untuk memindahkan ibu kota RI ke wilayah Kalimantan Timur membawa konsekuensi
terhadap DKI Jakarta yang akan datang, setelah tidak menjadi ibu kota. Pertanyaan pentingnya adalah seperti apakah
nantinya tata kelola internal Kota Jakarta, hubungan dengan Pemerintah Pusat
dan nasib kekhususan Jakarta itu sendiri? Pertanyaan ini membutuhkan jawaban yang
jitu terkait desain kelembagaan Kota Jakarta kelak, mengingat beban Jakarta
yang begitu besar, permasalahan perkotaan yang begitu dahsyat, dan tantangan
ke depan yang dihadapi kota Jakarta yang tidak ringan, tentunya. Artikel ini berupaya memberikan sumbang
pikir, sehingga Jakarta justru mendapatkan predikat ”livable city” dan kota
kelas dunia yang makin nyaman. Tetap
melekat Jakarta setelah bukan ibu kota adalah
sebuah provinsi berkarakter urban. Tidak tanggung-tanggung mega-urban atau
biasa disebut megalopolitan. Provinsi lain tidak ada yang memiliki karakter
seperti Jakarta. Provinsi lain masih didominasi perdesaan (rural area).
Jakarta adalah megalopolitan, setidaknya menurut catatan Bank Dunia (2015)
masuk dalam 20 megalopolitan dunia. Jakarta adalah kota di atas tipikal kota
metropolitan. Metropolitan adalah kota dengan dua atau lebih Central Business
District (CBD). Dalam bahasa planolog, kota metropolitan adalah kota dengan
lebih dari dua nukleus, pusat kota. Kota metropolitan berada di atas kota
kecil yang memiliki satu pusat kota. Sebuah Megalapolitan membentuk jejaring
antar-metropolitan. Fakta ini melekat di Kota Jakarta meski status ibu kota
pindah. Fakta empiris tersebut, selama ini tidak
diakomodasi dalam payung hukum pemerintahan di Indonesia. Bangsa Indonesia
lebih memiliki mengatur dan mengurus desa-desa di Indonesia daripada
kota-kota, padahal seluruh wilayah di Indonesia berkembang menjadi perkotaan
kelak, sesuai dengan perkembangan peradaban manusia dan pertumbuhan penduduk. Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah, UU
No 23/ 2014, terdapat hanya satu pasal mengatur mengenai wilayah kota belum
operasional. UU No 23/2014 sudah menyinggung konsep metropolitan, tetapi
belum mega urban atau megalopolitan atau megacity (lihat Bab XV Pasal 355
sampai dengan Pasal 359 UU No 23/ 2014). Pasal 355 (1) Perkotaan adalah wilayah
dengan batas-batas tertentu yang masyarakatnya mempunyai kegiatan utama di
bidang industri dan jasa. (2) Perkotaan dapat berbentuk: a. kota sebagai
Daerah; dan b. kawasan perkotaan. (3) Kawasan Perkotaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b berupa: a. bagian Daerah kabupaten; dan b. bagian dari
dua atau lebih Daerah yang berbatasan langsung. (4) Penyelenggaraan
pemerintahan pada kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya. Pasal 356 (1) Kawasan perkotaan dapat
terbentuk secara alami atau dibentuk secara terencana. (2) Kawasan perkotaan
yang dibentuk secara terencana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat
dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah daerah dan/ atau badan hukum
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal selanjutnya tidak
secara langsung berkaitan dengan kelembagaan perkotaan juga yang lebih
akomodatif terhadap fenomena empirik kota-kota di Indonesia. Perkembangan Jakarta yang dahsyat dan juga
akan dialami oleh kota-kota lain di Indonesia, tidak cukup baik ditata oleh
bangsa Indonesia melihat bangun pengaturan wilayah perkotaan dalam UU
pemerintahan daerah di atas. Dengan tidak menjadi ibu kota yang seolah bukan
menjadi kekhususan lagi, Jakarta menghadapi persoalan serius kelembagaan
kotanya karena kosongnya pengaturan kelembagaan perkotaan nasional di
Indonesia. Inisiatif
berani Jika menunggu pengaturan payung hukum
nasional mengenai perkotaan di Indonesia, tentu akan memakan waktu lama.
Tetapi, memindahkan ibu kota dari Jakarta ke mana pun harus tetap memikirkan
disain kelembagaan Kota Jakarta, nantinya. Harus dihindari pindah ibu kota,
tetapi status Jakarta masih juga sebagai ibu kota. Dapat terjadi ibu kota
negara kembar. Ini dapat menyebabkan chaos. Pemerintah perlu memikirkan desain kerangka
waktu untuk mengatur hal ini sembari berorientasi menyusun kelembagaan
Jakarta seperti apa nantinya jika tidak sebagai ibu kota. Sementara
pemerintah menyiapkan ibu kota baru, Jakarta masih difungsikan sebagai ibu kota
transisi. Ibu kota transisi ini dapat mempertahankan
kelembagaan seperti sekarang. Setelah transisi, baru Jakarta setelah bukan
ibu kota harus diatur. Lebih tepatnya peraturan perundangan yang mengatur
persiapan ibu kota baru, Jakarta Transisi dan Jakarta setelah bukan ibu kota
ada dalam satu produk hukum, katakanlah peraturan pengganti undang-undang
(perppu). Karakter ”megalopolitan” ditandai oleh
nilai-nilai yang tunggal sebagai sebuah ”super-big city”. Integrasi
fungsional berbagai aspek kehidupan Kota Raya Jakarta ini harus ditegakkan
agar kota ini lincah, cepat, dan memiliki daya saing yang kuat dibanding
kota-kota dunia lainnya. Oleh karena itu, Jakarta setelah bukan ibu
kota dapat didesain berdasarkan empat alternatif berikut. Pertama, terdapatnya
struktur hirarkis yang sangat fragmented dan specialized. Di sini tidak
diperlukan struktur kecamatan bahkan mungkin wali kota dan bupati. Secara geografi kewilayahan masih tersusun
kota-kota di dalam megalopolitan Jakarta, tetapi tidak ada struktur pejabat
berbasis kewilayahan, melainkan tempat cabang special agent dari Pemerintah
Megalopolitan Jakarta. Dewan Kota seperti sekarang tidak dibutuhkan kembali,
melainkan terdapatnya Dewan Megalopolitan saja di tingkat provinsi sekarang.
Tetapi, dapat saja dalam wilayah setingkat kelurahan dibentuk kelembagaan
informal mirip ”city-wards” di Tokyo dengan collegial governance. Kedua, kawasan perkotaan adalah kawasan
maju dengan ciri sosial budaya ekonomi yang berbeda dengan kawasan perdesaan.
Oleh karena itu, cocoknya dikembangkan stuktur ”managerialism”, seperti di
USA dengan council-manager system. Terdapat Dewan Megalopolitan seperti DPRD
sekarang, kemudian pemerintahan dijalankan oleh ”chief executive organizer”
yang dipilih secara profesional. Dewan megalopolitan seperti komisaris
perusahaan, sedangkan CEO seperti direktur perusahaan. CEO bertanggung jawab
kepada Dewan Megalopolitan. Dewan megalopolitan diisi melalui pileg dari
sistem partai yang ada. Dalam alternatif ini, karena terdapat hubungan langsung
antara DPRD dan CEO, sangat mudah terjebak politisasi dan menjadi mirip
commissioner systems. Ini mirip Pemerintahan Daerah masa UU No 22/1999. Alternatif ketiga, masih managerialism,
terdapat kepemimpinan simbolik untuk komunikasi politik dengan dewan
megalopolitan, yakni adanya kepala daerah seperti di Indonesia sekarang yang
dipilih langsung oleh masyarakat, hanya tidak menjalankan pemerintahan
sehari-hari. Pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh
CEO yang dipilih KDH yang harus mendapat persetujuan Dewan Megalopolitan. Hal
tersebut merupakan modifikasi dari model council manager system” di AS di
mana CEO dipilih oleh DPRD menghindari impeachment yang mudah dijatuhkan. CEO dan organisasi birokrasinya layaknya
direktur utama perusahaan dan jajarannya, bertanggung jawab kepada KDH. Dalam
sistem di USA, bertanggung jawab kepada DPRD. Kepala daerah tidak berbuat
banyak. Mirip masa pilkada langsung sekarang, hanya kepala daerah mengangkat
CEO untuk memimpin keseharian pemerintahan dengan nilai-nilai publik
megalopolitannya. Yang terakhir, keempat yang dapat didesain
untuk Jakarta kelak, adalah megalopolitan Jakarta terdiri dari dua lembaga
besar. Pertama, Dewan Megalopolitan Jakarta yang unsurnya terdiri dari DPRD
dan KDH dan kedua, Badan Eksekutif Megalopolitan yang terdiri dari direktur
utama dan para direksinya. Dewan Megalopolitan berwenang mengatur
(politis) berbagai urusan yang menjadi hak dan kewajiban Kota Jakarta,
sedangkan badan eksekutif megalopolitan berwenang mengurus
(administrative)-nya. Hampir sama dengan alternatif ke-3, hanya kepala daerah
membawahi Badan Eksekutif Megalopolitan Jakarta yang dikepalai oleh direktur
utama dan jajarannya seperti perusahaan. Badan Eksekutif Megalopolitan ini
bertanggung jawab kepada KDH. Kepala daerah mengawasi Badan Eksekutif
Megalopolitan Jakarta yang dilaporkan kepada DPRD. DPRD adalah partner KDH
dalam pengawasan kepada Badan Eksekutif Megalopolitan ini. DPRD dan KDH
mengatur segala aspek yang dijalankan Badan Eksekutif Megalopolitan Jakarta
ini sesuai wewenang yang dimiliki Megalopolitan Jakarta. Pemerintah dapat memilih salah satu di
antara alternatif di atas agar Jakarta bukan seperti Provinsi lain di
Indonesia dengan tantangan khas ”super-big city” dengan menjadikan Jakarta
sebagai kota cerdas kelas dunia. Masuk atau tidaknya wilayah di sekitar
Jakarta dapat menyesuaikan kelembagaan di atas. Tidak perlu dirisaukan jika
wilayahnya bertambah besar atau tetap. Inilah kekhususan yang melekat di
Jakarta sehingga lembaganya pun harus tetap diatur khusus. Semoga. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar