Sabtu, 03 April 2021

 

Cinta Tuhan Saat Pandemi

 Toto TIS Suparto ; Penulis Filsafat Moral, Alumnus Program Magister Ilmu Budaya dan Religi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

                                                         KOMPAS, 02 April 2021

 

 

                                                           

Pandemi Covid 19 memang menghadirkan banyak kejutan. Teman saya, usia sekitar 60 tahun, Senin pagi masih bercanda di grup Whatsapp (WA) alumni. Sorenya tersiar kabar positif Covid 19. Harus diisolasi di rumah sakit. Namun, Rabu siang anaknya mengirim kabar di grup WA bahwa ayahanda telah berpulang.

 

Kabar yang membuat trenyuh, ”Saya hanya bisa menangis dari kejauhan melepas ayah. Tak percaya Tuhan memberi cobaan ini. Kami mengasihi Tuhan, tetapi kenapa Tuhan tidak menunjukkan rasa kasih-Nya kepada kami?”

 

Teman saya mati sunyi. Keluarganya berspekulasi tentang cinta Tuhan kepada umat-Nya. Sekitar 2,789 juta orang di dunia, di antaranya 40.384 orang terdapat di Indonesia (per 28 Maret 2021, 12.14 WIB) meninggal dalam sunyi karena Covid 19. Mereka menuju liang lahat tanpa keluarga. Hanya empat orang berpakaian APD menanamkan peti mati tanpa kesedihan mendalam. Tak ada air mata di atas pusara. Air mata itu mengering di kejauhan.

 

Tak sedikit dari keluarga korban menjerit di batin, ”Tuhan, di manakah Engkau?” Engkau Mahapengasih, lanjut mereka, mengapa Engkau membiarkan umat-Mu mati sunyi? Tunjukkan kasih-Mu dengan memberi kesempatan kepada keluarga untuk melepas jenazah dengan pelukan terakhir atau sekadar ciuman di kening. ”Inikah tanda kasih-Mu?”

 

Di media sosial, pertanyaan serupa banyak bermunculan, apakah Tuhan sudah tidak mencintai umat-Nya sehingga dibiarkan cemas dalam pandemi berkepanjangan? Bukankah Tuhan Mahakuasa sehingga sangat mudah untuk menghentikan pandemi ini?

 

Maklumlah, selama ini cinta, bagi kebanyakan orang, acap dimaknai sebagai ungkapan mengasihi, menyayangi, melindungi, ataupun mengayomi. Maka dari itu, ketika kita dicemaskan pandemi, muncullah keraguan atas cinta Tuhan tersebut.

 

Akan tetapi, kita lupa sisi lain dari cinta ialah apa yang disebut tough love. Adapun yang dimaksud tough love adalah cinta yang keras, tetapi tetap cinta. Para motivator bilang, cinta yang keras juga menumbuhkan dan mendidik. Memang, cinta yang keras meminta tanggung jawab dan bahkan menghukum. Tetap disadari bahwa dasar dari itu semua bukanlah kebencian, melainkan cinta.

 

Inilah cinta Tuhan kepada kita saat pandemi. Mirip orangtua kita. Ada kalanya mereka tegas, bahkan galak, demi mendisiplinkan anak-anak mereka. Tak jarang kita beranggapan mereka jadi ”raja tega”. Namun, ketegaan itu berlandaskan cinta, bukan kebencian.

 

Jadi, tough love Tuhan tetaplah menunjukkan rasa kasih-Nya, tetapi tegas dan tega. Bagi manusia, tidaklah menyenangkan untuk hari ini, tetapi penting untuk hari esok. Apa yang bisa dipetik untuk hari esok? Kata teolog lnggris, Richard Swinburne, bahwa Tuhan mengizinkan adanya penderitaan untuk manusia karena ingin memberikan banyak hal yang lebih berharga daripada sekadar kenikmatan atau kebebasan dari penderitaan.

 

Penyakit dan bencana menjadi kesempatan bagi manusia untuk menunjukkan keutamaan dan keluhuran sikap, membentuk karakter lewat pilihan-pilihan yang diambil manusia untuk memikirkan langkah-langkah masa depan lewat sains dan lain sebagainya.

 

Setidaknya pandemi Covid-19 membuat manusia melangkah pada masa depan lewat sains, di antaranya bekerja keras menemukan vaksin. Atau berpikir serius untuk menemukan alat pendeteksi virus, seperti temuan GeNose. Namun, yang lebih penting adalah lewat sains bisa ditemukan dari mana virus korona ini?

 

Virus ini adalah misteri alam. Ini pemikiran Martin Heidegger, filsuf Jerman yang wafat tahun 1976, bahwa alam suka menyembunyikan dirinya (phusis kruptesthai philei). Kita tak tahu persis apa yang dilakukan alam. Manusia boleh bangga karena dengan otaknya mampu mengeksploitasi alam. Namun, jangan salah, kita tak bisa mengendalikan, kita sekadar merasa seolah-olah sudah menguasai alam.

 

Sekarang banyak yang bertanya-tanya, apakah alam sedang memperbaiki diri? Bisa jadi alam sedang menyeimbangkan diri sebagaimana posisi semula. Mungkinkah virus korona sebagai kekuatan alam untuk menyeimbangkan? Di sinilah tugas manusia sebagaimana ditegaskan Swinburne (1998) tadi, untuk memaksimalkan sains demi mencari tahu di balik phusis kruptesthai philei tersebut.

 

Jelas pula pandemi ini sepenuhnya akibat dari perbuatan (ceroboh) manusia terhadap alam. Bukan lantas berspekulasi Tuhan tak lagi mencintai umat-Nya. Tuhan Mahapengasih, tetapi barangkali kita bisa jadi tak mengasihi Tuhan dengan cara mengeksploitasi alam ciptaan-Nya secara berlebih. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar