Anak
Muda yang Gelisah dalam Spiritual Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan, penulis |
DETIKNEWS,05 April 2021
Ada proses pendahuluan sebelum seseorang
memutuskan untuk menjadi teroris. Prosesnya bisa panjang, tapi bisa pula
sangat singkat, tergantung pada berbagai faktor yang rumit. Proses ini harus
dipahami setiap pemangku kepentingan dalam pemberantasan terorisme. Saya adalah seorang remaja ketika saya
pindah ke Yogyakarta untuk kuliah di tahun 1987. Selama sekolah di SMA di
Pontianak saya bergaul dengan teman-teman yang nakal, yang suka kebut-kebutan
dan minum minuman keras. Saya sendiri tidak melakukan hal-hal itu; saya juga
rajin salat. Tapi saya suka berteman dengan mereka, karena menyenangkan.
Pindah ke Yogyakarta bagi saya adalah sebuah "hijrah", perpindahan
fisik sekaligus spiritual. Selama bergaul dengan teman-teman nakal
tadi saya merasakan perasaan tidak tenang. Di satu sisi bergaul sebagai
remaja itu menyenangkan, tapi di sisi lain ada rasa bersalah. Saya merasa
bahwa saya hanya menuruti hawa nafsu saja. Saat itu saya merasa bahwa kalau
saya terus tinggal di Pontianak, saya akan ikut nakal, dan masa depan saya
makin suram. Tentu saja kualitas saya sebagai orang beriman tidak akan
meningkat. Saya berharap untuk bisa keluar dari lingkungan itu. Harapan itu terpenuhi; saya diterima masuk
ke UGM. Saya hijrah ke Yogyakarta. Berbekal semangat perubahan tadi, di
Yogyakarta saya mulai aktif mengikuti berbagai jenis pengajian, dan
berdiskusi soal agama dengan banyak orang. Salah satu yang saya ingat adalah
diskusi dalam kelompok kecil dengan kakak kelas saya. Dia seseorang yang saya anggap taat
beragama, dan punya ilmu agama. Kami berdiskusi, lebih tepatnya dia memberi
wejangan, di kamar kos salah satu teman kuliah saya, dihadiri beberapa orang.
Saya ingat betul, ia menjelaskan soal orang-orang yang menerima sebagian
ajaran Islam dan menolak sebagian yang lain. Ia membacakan dan menjelaskan
ayat yang menyatakan bahwa sikap seperti itu adalah sikap kafir yang
sesungguhnya. Penjelasan itu memukul batin saya. Tadinya
saya masih memaafkan diri saya ketika berbuat dosa. Pikir saya, toh saya bisa
minta ampun pada Allah. Tapi penjelasan teman saya tadi menegaskan bahwa ini
bukan soal perhitungan pahala dan dosa. Ini adalah soal kekafiran. Bersikap
seperti itu adalah sikap kafir, dan terhadap orang kafir tidak ada lagi
perhitungan pahala dan dosa. Sejak saat itu saya membulatkan tekad untuk
menerima Islam secara utuh, kafah, sami'na wa'tha'na ("kami dengar dan
kami patuh"). Setiap kali saya mendengar atau membaca ayat atau hadis,
saya bertekad melaksanakannya dengan patuh tanpa banyak tanya. Saya mulai
berubah banyak dalam sikap keseharian dan interaksi dengan orang-orang di
sekitar. Saya jadi sangat taat untuk tidak makan-minum sambil berdiri, tidak
mau bersalaman dengan perempuan, memakai celana yang menutup mata kaki, dan
sebagainya. Saya tidak lama mengaji dengan teman saya
tadi. Selanjutnya saya mengaji di banyak tempat, ada yang rutin, ada yang
hanya sesekali. Tapi pada intinya, ada keinginan yang sangat kuat untuk
menerapkan ajaran Islam secara utuh. Saya merasa mendapat pencerahan. Ada
banyak ayat yang selama ini ternyata tidak saya sadari maknanya. Saya baru
tahu bahwa saya harus bersikap begini dan begitu. Pikiran saya selanjutnya berkembang tidak
hanya soal melakukan yang diperintah dan menjauhi larangan. Ada soal yang
lebih besar lagi, yaitu soal jihad. Di sebuah kajian dalam kelompok kecil,
mentor saya berulang-ulang menjelaskan celaan Allah kepada orang-orang yang
tidak berjihad. Jihad adalah kewajiban setiap muslim; tidak berjihad sama
saja dengan menolak sebagian perintah Allah, dan itu berarti kafir yang
sesungguhnya. Ada yang menafsirkan bahwa jihad itu tak
harus berperang. Tapi mentor saya menegaskan bahwa jihad itu pada akhirnya
harus berupa peperangan. Apapun yang kita lakukan sekarang hanyalah persiapan
saja. Kenapa? "Semakin giat kita berdakwah, akan makin keras permusuhan
orang-orang kafir. Karena itu kita harus bersiap untuk berjihad dalam
pengertian berbenturan secara fisik dengan orang-orang kafir," katanya
menjelaskan. Situasi dunia saat itu menguatkan
penjelasan tadi. Afganistan masih diduduki oleh Uni Sovyet. Di Palestina, PLO
terus melawan Israel, kemudian Hamas terbentuk. Lalu yang paling mengerikan
adalah kekejian orang-orang Serbia di Bosnia. Sementara itu di dalam negeri,
negara dikuasi oleh rezim Soeharto yang menindas umat Islam. Dalam persepsi saya, Soeharto adalah orang
yang secara formal beragama Islam, tapi sejatinya kafir, dan dia bersekutu
dengan para intelektual Kristen. Sangat nyata bagi saya bahwa ada permusuhan
orang-orang kafir terhadap umat Islam. Saya harus bersiap untuk bertarung
secara fisik melawan mereka. Saya memang tidak pernah sampai melakukan
tindak kekerasan apapun. Tapi niat untuk terjun dalam konflik fisik, melawan
orang-orang kafir, dan mati di situ sungguh menggelora. Itu terjadi selama
2-3 tahun pertama sejak saya pindah ke Yogyakarta. Yang membuat saya tidak terseret lebih
jauh, kemudian menjalani proses moderasi pikiran, adalah karena saya masih
terbuka bergaul dengan berbagai kalangan, termasuk kalangan sosialis. Dari
pergaulan itu saya mendapat berbagai input yang berbeda, dan yang terpenting
saya mau mempertimbangkannya, lalu mengolahnya menjadi gagasan mandiri yang
saya anut. Proses yang saya lalui adalah salah satu
pola yang merupakan titik awal perekrutan teroris. Polanya adalah, adanya
anak muda yang gelisah secara spiritual, dan tidak punya banyak ilmu agama. Belajar
agama membukakan tabir, mengantarkan dia pada hal-hal yang selama ini tidak
ia kenal, lalu ia merasa seperti terlahir kembali. Ia memandang dunia dengan
cara yang berbeda, lalu berproses menjadi lebih radikal, melakukan tindakan
yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar