Sumber
Daya Manusia 2019
Ali Khomsan ; Guru Besar Fakultas
Ekologi Manusia IPB
|
MEDIA
INDONESIA, 09 Januari 2018
PRESIDEN Joko Widodo
menyatakan akan mulai berkonsentrasi pada pembangunan sumber daya manusia
(SDM) pada 2019. Saat ini pembangunan infrastruktur masih mendominasi
program-program pemerintah, dan berangsur-angsur nanti akan semakin
berkurang. Jadi, mulai tahun depan pembangunan di bidang SDM akan berlangsung
besar-besaran. Alasan mengembangkan SDM ialah negara tidak bisa terus-menerus
bergantung kepada kekayaan yang dihasilkan dari sumber daya alam, seperti
batu bara, minyak, dan gas. Kunci pertumbuhan ekonomi ke depan ialah
pembangunan SDM.
Pendidikan ialah kunci perbaikan
SDM. PISA (Programme for International Students Assessment) 2015 telah
mengevaluasi performa siswa di 69 negara. Hasilnya peringkat Indonesia masih
tergolong rendah. Berturut-turut rata-rata skor pencapaian siswa RI untuk
sains, membaca, dan matematika berada di peringkat ke-62, ke-61, dan ke-63
dari ke-69 negara yang dievaluasi. Memang ada perbaikan jika dibandingkan
dengan 2012, tetapi tidak terlalu signifikan. Siswa Indonesia dapat dikatakan
memiliki penguasaan materi yang rendah. Bagaimana masa depan SDM Indonesia
apabila kualitas anak didiknya saat ini tidak menunjukkan keunggulan? Daya
saing bangsa sulit untuk terdongkrak karena sejak awalnya sudah jauh
tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Janganlah bermimpi
untuk mengejar Singapura, dengan Vietnam dan Thailand pun kita sulit unggul.
Ini indikasi bahwa banyak
yang harus dibenahi dengan sistem pendidikan di Tanah Air. Setiap hari, siswa
di RI mulai tingkat dasar sampai menengah dijejali mata pelajaran yang
beraneka ragam dengan tingkat kedalaman yang mungkin tidak terbayangkan oleh
siswa-siswa di negara maju. Silakan cek buku-buku teks yang wajib dibaca
anak-anak kita di tingkat dasar. Niscaya banyak orangtua yang bertanya-tanya,
untuk apa ilmu yang demikian mendalam diajarkan pada anak-anak SD.
Saking mendalamnya materi
pelajaran siswa di Indonesia, mungkin telah membuat anak-anak kita ‘muntah’.
Banyak anak didik kita yang memiliki lower order thinking skills. Mengacu
pada studi TIMSS (Trends in International Math and Science Survey) 2007,
anak-anak Indonesia yang memiliki performa rendah dan di bawah rata-rata
berjumlah 78%, Koreaa 10%, Singapura 12%, Taiwan 14%, dan Hong Kong 15%.
Tantangan ke depan sungguh
berat karena performa tinggi dan advanced baru diraih 5% anak Indonesia.
Sistem pendidikan yang baik bukan hanya menghasilkan SDM yang siap menjadi
pekerja, melainkan juga SDM yang memiliki jiwa entrepreneurship, kemampuan
analitis, dan berpikir efektif dan efisien. Serta lebih dari itu semua ialah
adanya karakter positif (disiplin, kerja keras, dan jujur) yang melekat kuat
dalam dirinya.
Kualitas
hidup
Laporan World Economic
Forum (WEF) berjudul Global Human Capital Report 2017 menempatkan Indonesia
di peringkat ke-65 dalam hal kualitas SDM di 130 negara. Peringkat itu sedikit
membaik jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Secara rata-rata kualitas
SDM kita masih berada di bawah negara ASEAN lainnya, seperti Singapura (11),
Malaysia (33), Thailand (40), dan Filipina (50).
Indikator kualitas SDM
dalam laporan ini mencakup capacity (kemampuan pekerja berdasarkan melek
huruf dan edukasi), deployment (tingkat partisipasi pekerja dan tingkat
pengangguran), development (tingkat dan partisipasi pendidikan), dan know-how
(tingkat pengetahuan dan kemampuan pekerja serta ketersediaan sumber daya).
Sedikit kabar baik di
bidang kesehatan ditunjukkan studi Global Burden of Disease yang
mengungkapkan usia harapan hidup orang Indonesia semakin bertambah. Seorang
anak laki-laki Indonesia yang lahir pada 2016 memiliki kesempatan untuk hidup
hingga usia 69,8 tahun, lebih lama 2,4 tahun jika dibandingkan dengan satu
dekade lalu. Seorang anak perempuan akan dapat hidup hingga berusia 73,6
tahun, yang berarti lebih lama 3,4 tahun jika dibandingkan dengan 2006.
Penduduk Jepang dan Korea saat ini memiliki usia harapan hidup di atas 80
tahun.
Sejumlah penyakit masih
menjadi penyebab tingginya angka kematian di Indonesia, terutama penyakit
degeneratif (stroke, penyakit jantung, diabetes, dan hipertensi). Penulis
pada 13-16 November 2017 hadir pada 6th International Whole Grain Summit di
Wina. Ternyata sangat sedikit negara di dunia yang menyebutkan secara tegas
pentingnya whole grains dalam dietary guidelines (pedoman gizi) di negara
masing-masing.
Whole grains atau
biji-bijian utuh mengandung tinggi serat dan berbagai vitamin yang penting
untuk pencegahan penyakit degeneratif, tetapi kesadaran mengonsumsi whole
grains masih sangat rendah. Proses pengolahan padi menjadi beras putih di
Indonesia telah menghilangkan banyak serat sehingga fungsi kesehatannya tidak
lagi dapat diperoleh.
You are what you eat,
demikian kata pepatah. Apa yang kita makan akan menentukan kualitas hidup
kita. Ternyata negara-negara maju pemakan nasi seperti Jepang, Korea, mungkin
juga Malaysia konsumsi berasnya jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan
bangsa Indonesia. Kontribusi energi dan gizi yang semula didominasi nasi
telah digeser pangan-pangan lain seperti pangan hewani atau kacang-kacangan.
Barangkali itu sebabnya SDM negara-negara itu lebih unggul daripada SDM
Indonesia.
Mengingat pangan juga
berperan penting untuk mewujudkan SDM berkualitas, pemerintah harus dapat
mengendalikan harga pangan sehingga pangan bergizi bisa diakses dengan mudah
oleh masyarakat. Menurunkan harga daging sapi dan membudayakan konsumsi ikan
sesuai dengan slogan gemar ikan bisa menjadi entry point untuk perbaikan SDM
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar