Limitasi
Imunitas Advokat
Bahrul Ilmi Yakup ; Ketua Asosiasi Advokat
Konstitusi;
Kandidat Doktor Ilmu
Hukum BUMN FH Unsri
|
KOMPAS,
17 Januari
2018
Penangkapan yang
dilanjutkan dengan penahanan terhadap Fredrich Yunadi yang berprofesi sebagai
advokat telah memantik kisruh, baik antara KPK selaku penyidik yang menangkap
dan menahan versus kalangan advokat, antarsesama advokat, maupun kalangan
masyarakat.
Pro-kontra pendapat bermunculan.
Kekisruhan itu dapat menjernihkan masalah atau, sebaliknya, menjadikan
masalah semakin ruwet tidak berujung.
Penolakan para advokat terhadap tindakan
penangkapan dan penahanan Fredrich oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi
dapat dipilah ke dalam tiga alasan.
Pertama, Fredrich selaku advokat dilindungi dengan hak imunitas (kekebalan).
Kedua, secara prosedural, Fredrich
harus diperiksa lebih dahulu di peradilan etik. Hanya, jika dalam pemeriksaan
sidang peradilan etik ditemukan fakta bahwa Fredrich melanggar hukum, organisasi advokat tempat Fredrich bernaung
akan melimpahkan masalah itu ke penegak hukum untuk diproses lebih lanjut.
Ketiga, kalangan advokat mempertanyakan wewenang KPK untuk melakukan penyidikan
terhadap Fredrich yang diduga melanggar Pasal 21 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni
UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No 20/2001.
Pertama, advokat Indonesia
memang memiliki hak imunitas ex Pasal
16 UU Advokat (UU No 18/2003), yaitu advokat tidak dapat dituntut, baik
secara perdata maupun pidana, dalam menjalankan tugas profesinya dengan
itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan. Norma
Pasal 16 itu kemudian diafirmasi dan
diekstensi oleh Keputusan Mahkamah Konstitusi No 26/PUU-XI/2013, yang
mengatur advokat tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana,
dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan
pembelaan klien di dalam ataupun di luar sidang pengadilan.
Hak imunitas advokat
senyatanya tidak berdiri sendiri yang menisbahkannya berlaku untuk semua kondisi. Apabila
dipahami secara saksama dan sistemik, sejatinya UU No 18/2003 justru melimitasi hak
imunitas Advokat dengan dua legal premise, yakni (i) advokat dilindungi hak
imunitas sepanjang tak melanggar peraturan perundang-undangan atau perbuatan tercela ex Pasal 6 huruf d,
(ii) advokat dilindungi hak imunitas sepanjang melaksanakan tugas profesinya
dengan itikad baik (good faith) ex Putusan MK No 26/PUU-XI/2013.
Oleh karena itu,
berdasarkan UU No 18/2003, advokat tidak dilindungi hak imunitas apabila
melakukan tindakan melanggar peraturan perundang-undangan, melakukan
perbuatan tercela, dan/atau melakukan tugas profesinya dengan itikad buruk.
Dengan demikian, advokat tak boleh
bertindak semaunya, mengingkari peraturan perundang-undangan, etika, atau
itikad baik. Justru advokat mestinya jadi
garda depan dalam menegakkan hukum, etika, dan itikad baik. Inilah
hakikat advokat sebagai profesi mulia
(officium nobile).
Subsumsi
peradilan etik
Kedua, UU Advokat memang
mengatur penindakan dan penjatuhan sanksi terhadap advokat. Pasal 6 UU ini mengatur tujuh jenis alasan
untuk menindak dan menjatuhkan sanksi terhadap advokat.
Selanjutnya, Pasal 7 Ayat (1) mengatur jenis sanksi yang dapat
dijatuhkan, yaitu peringatan biasa, peringatan keras, pemberhentian
sementara, dan pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi.
Selanjutnya, Pasal 7 Ayat (2) dan 8 Ayat (1)
mengatur lembaga yang berwenang
mengenakan sanksi kepada advokat, yaitu Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.
UU Advokat tidak mengatur
secara khusus mekanisme penindakan, penyidikan, penangkapan, dan penahanan
terhadap advokat yang melakukan tindak
pidana. Dengan demikian, penindakan advokat yang melakukan tindak pidana dilaksanakan
sepenuhnya pada proses hukum yang diatur oleh peraturan perundang-undangan
terkait, seperti UU No 8/1981 tentang KUHAP atau UU organik lain yang memuat norma hukum
acara.
Pasal 16 dan 17 KUHAP mengatur penyidik atau
penyidik pembantu dapat melakukan penangkapan terhadap seseorang yang diduga
keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Berdasarkan KUHAP, penangkapan terhadap seorang tersangka pelaku tindak
pidana tidak harus didahului dengan pemanggilan. Hanya terhadap tersangka pelaku
pelanggaran yang harus didahului dengan pemanggilan secara sah sebanyak dua
kali berturut-turut ex Pasal 19 Ayat (2).
Dengan demikian, proses
penindakan advokat yang dilakukan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat dalam
proses persidangan etik tidak menunda
atau mengecualikan proses hukum yang hendak dilakukan penyidik sesuai wewenang yang dimilikinya. Bahkan,
dapat dipahami bahwa proses penindakan oleh Dewan Kehormatan Organisasi
Advokat bersifat subsumsi atau afirmasi
terhadap proses penindakan oleh penyidik.
Praksis selama ini memang
memberi pemahaman bahwa proses peradilan etik terhadap advokat menunda proses
hukum oleh penyidik. Pemahaman ini sesungguhnya tidak berdasarkan UU yang
bersifat memaksa dan mengikat, tetapi hanya berdasarkan kesepakatan antara
organisasi advokat dan penyidik tertentu. Karena itu, isu hukum tersebut
semestinya menjadi fokus usulan organisasi advokat dalam
proses revisi UU No 18/2003.
Di
luar lingkup KPK
Ketiga, apakah penangkapan
dan penahanan Fredrich masuk dalam lingkup tugas dan wewenang KPK? Pasal 6 UU No 3/2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi secara limitatif telah mengatur tugas KPK, yakni (a)
koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi, (b) supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi, (c) melakukan penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, (d) melakukan tindakan
pencegahan tindak pidana korupsi, dan (e) melakukan pemonitoran terhadap
penyelenggaraan pemerintahan negara.
Berdasarkan Pasal 11 UU No 30/2002, KPK hanya berwenang
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindakan pidana
korupsi, yaitu (a) melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan
orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan
aparat penegak hukum atau penyelenggara negara, (b) mendapat perhatian yang
meresahkan masyarakat, dan/atau (c) menyangkut kerugian negara paling sedikit
Rp 1 miliar. Terlepas dari kategorinya,
menurut Pasal 11, KPK hanya berwenang menyelidik, menyidik, dan
menuntut tindak pidana korupsi.
UU No 31/1999 yang diubah
dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTKP)
mengatur tindakan merintangi atau menggagalkan penyidikan dan penuntutan yang sebetulnya masuk kategori obstruction of
due process of law—secara latah sering disebut sebagai obstruction of justice—diatur dalam
Bab III Pasal 21 UU PTKP. Dengan demikian, UU PTKP sendiri secara tegas
mengatur dan menyatakan Pasal 21 bukan delik korupsi.
Oleh karena Pasal 21 bukan
merupakan delik korupsi, menurut Pasal 6 jo Pasal 11 UU KPK No 30/2002,
tindakan obstruction of due process of law
yang diatur Pasal 21 UU PTKP
tidak masuk dalam tugas KPK. Bahwa faktanya
KPK pernah menyidik dan menuntut delik berdasarkan ketentuan Pasal 21
UU PTKP merupakan suatu yang niscaya.
Meski demikian, sebagai lembaga penegak hukum yang
mengemban amanat dan kepercayaan masyarakat, KPK seyogianya menimbang dan menguji kembali tindakan itu terhadap asas kepastian hukum, keterbukaan,
akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas yang menjadi landasan
kiprah dan kinerja KPK.
Oleh karena itu, KPK tidak
boleh semena-mena melakukan penindakan terhadap tersangka tanpa berdasarkan aturan hukum yang berlaku.
Walaupun mekanisme due process of law
mengatur bahwa setiap orang yang
merasa diperlakukan semena-mena atau
tidak adil oleh KPK dapat memperjuangkan hak hukum dan hak
konstitusionalnya ke lembaga peradilan.
Apakah pengadilan mampu
menyelesaikan setiap sengketa hukum secara obyektif, cermat, dan adil?
Inilah masalah laten yang terus menghantui penegakan hukum di
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar