Nasionalisme
Ekonomi Sumitro
Fadli Zon ; Wakil Ketua DPR; Alumnus UI dan LSE
|
KOMPAS, 07 Juni 2017
Meski kita memiliki banyak ekonom terkemuka, Sumitro
Djojohadikusumo (1917-2001) adalah satu-satunya ekonom yang dijuluki
"Begawan Ekonomi Indonesia". Media-media internasional menyebutnya
ekonom top. Sejak muda, reputasinya memang telah mendunia. Karena itu, pada
1953 PBB memintanya menjadi anggota lima ahli dunia (group of five top
experts) yang ditugasi menyusun laporan tentang persoalan pembangunan
ekonomi.
Sebagai intelektual dan teknokrat, posisinya sebagai
pendiri Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) sering membuatnya
disalahpahami sebagai seolah-olah sekubu dan sepemikiran dengan
murid-muridnya, Widjojo cs, yang dulu oleh David Ransom disebut Mafia
Berkeley. Anggapan itu tentu saja keliru.
Sumitro seorang sosialis, tepatnya sosial demokrat.
Sosialisme bukan hanya pandangan intelektualnya, karena ia juga salah satu
pemimpin Partai Sosialis Indonesia (PSI). Tak heran, saat Indonesia
memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda pada 1956-yang berakibat pada
pulangnya para profesor Belanda yang mengajar di UI-tempat yang dipikirkan
Sumitro untuk menyekolahkan murid-muridnya yang ketika itu sudah menjadi
dosen muda adalah London School of Economics (LSE), perguruan tinggi yang
didirikan kaum Sosialis Fabian di Inggris.
Meski menyelesaikan pendidikan doktoralnya di
Nederlandsche Handels-Hoogeschool (Sekolah Tinggi Perdagangan Belanda),
Rotterdam, Belanda, Sumitro juga pernah kuliah di LSE dan Universite de
Sorbonne (Perancis). Karena itu, ia sangat terkesan dengan model pendidikan
di LSE, terutama terhadap kuliah-kuliah Harold J Laski dan menginginkan
murid-muridnya bisa belajar di sana.
Saking terobsesinya dengan LSE, dulu ia sering menyebut
FEUI sebagai JSE, The Jakarta School of
Economics. Seperti pengakuan dalam buku biografinya, sebagai sosialis ia
memang menginginkan murid-muridnya mempelajari sosialisme.
Karena waktu itu Inggris masih tahap pemulihan
pasca-Perang Dunia II, tak ada lembaga yang mampu membiayai rencana itu. Pada
saat bersamaan, lembaga donor dari Amerika Serikat, Ford Foundation, baru
saja membuka kantor perwakilan di Indonesia. Namun, sayangnya, Ford hanya
bermitra dengan perguruan tinggi AS, salah satunya University of California
at Berkeley.
Mengingat Sumitro satu-satunya doktor ekonomi di UI waktu
itu, dan kebanyakan dosen ekonomi lain berlatar belakang pendidikan
non-ekonomi, untuk mengatasi krisis pengajar akhirnya tawaran Ford diterima.
Widjojo cs pun akhirnya dikirim ke Berkeley. Itu pun dengan sebuah keterangan
tambahan.
Sumitro akhirnya menerima Berkeley sebagai mitra karena
dekan FE kebetulan rekannya sendiri, yaitu Andreas Papandreou, seorang
sosialis berkebangsaan Yunani. Faktor Papandreou inilah yang membuat Sumitro
melepas Widjojo cs ke Berkeley.
Modal nasional
Karena pengaruh ayahnya, Margono Djojohadikusumo, yang
menjabat inspektur koperasi pada masa kolonial, Sumitro menulis disertasi
tentang efek depresi besar terhadap perekonomian rakyat di Hindia Belanda.
Disertasi itu, "Het Volkscredietwezen in de Depressie" (1942), bisa
menggambarkan sebagian haluan pemikirannya sebagai seorang sosialis. Berbeda
dengan sosialisme Sjahrir yang bercorak liberal, sosialisme Sumitro sangat
kuat corak nasionalismenya.
Dawam Rahardjo (2017) menggolongkan pemikiran ekonominya
sebagai beraliran sosialisme-negara. Anggapan itu bisa dibenarkan. Dalam
pandangan Sumitro, bagi negara seperti Indonesia yang merdeka dengan mewarisi
struktur ekonomi kolonial, negara punya peran penting dalam perekonomian.
Apalagi, sejak awal ia juga melihat bahwa transformasi ekonomi dari yang
semula bercorak kolonial pada sebuah perekonomian nasional telah dibatasi oleh
kurangnya jumlah kelas menengah di Indonesia. Berbeda dengan Filipina, kita
memang tak banyak memiliki kelas pengusaha saat merdeka. Karena itu,
kedudukan modal asing, terutama Belanda, tak banyak berubah sesudah
proklamasi kemerdekaan.
Transformasi yang berarti baru terjadi setelah pemerintah
menghapus "hak sejarah" perusahaan-perusahaan Belanda dalam
perdagangan internasional melalui agenda nasionalisasi. Di tengah sedikitnya
kelas menengah pribumi, negara mau tak mau jadi memiliki peran dominan dalam
perekonomian.
Namun, meski menerima kehadiran negara sebagai aktor
ekonomi, Sumitro juga terus mendorong munculnya kelas pengusaha pribumi. Baik
dalam posisinya sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan dalam Kabinet
Natsir maupun Menteri Keuangan dalam Kabinet Wilopo, dan kemudian Kabinet
Burhanuddin Abdullah, Sumitro konsisten menerbitkan kebijakan yang mendorong
lahirnya kelas menengah pengusaha, termasuk melalui gerakan koperasi.
Meski menganut strategi industrialisasi dalam pembangunan,
Sumitro sangat memperhatikan faktor modal nasional dalam proses
industrialisasi. Ia bukan ekonom dan teknokrat yang permisif terhadap modal
asing. Untuk membiayai Rencana Urgensi Perkembangan Industri 1951-1952,
misalnya, ia enggan menggunakan investasi yang berasal dari modal asing.
Untuk menutup kebutuhan investasi, ia memilih mengumpulkan modal dari
keuntungan kegiatan perdagangan. Jadi, modal investasi di sektor industri
didapat dari kegiatan perdagangan bukan berasal dari investasi asing.
Dalam industri tekstil, ia mengeluarkan peraturan untuk
memberi pengusaha pribumi dan koperasi, khususnya yang tergabung dalam
Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI), kesempatan mengimpor bahan baku
cambrics dari Belanda dan Jepang. Secara berjenjang, GKBI kemudian memasarkan
cambrics kepada koperasi batik primer, yang selanjutnya meneruskan ke
anggotanya dengan harga murah. Keuntungan dari kegiatan perdagangan itu
kemudian digunakan untuk membangun pabrik mori yang dimiliki koperasi.
Melalui strategi itu terlihat karakter nasionalis seorang
Sumitro. Ia lebih mengedepankan modal nasional untuk membangun perekonomian.
Mereka yang menyebut Sumitro bertanggung jawab atas membanjirnya modal asing
sejak 1967 pastilah tak membaca sejarah dengan benar. Ketika UU Nomor 1 Tahun
1967 tentang Penanaman Modal Asing selesai disusun, Sumitro masih menjadi
"pelarian" politik di luar negeri. Ia baru dirangkul kembali oleh
pemerintah menjelang penyusunan kabinet pada 1968.
"Action man"
Kesaksian mengenai nasionalisme Sumitro sempat ditulis Soe
Hok Gie dalam catatan hariannya yang dibukukan (1983).
Dalam banyak hal, pemikiran ekonomi Sumitro sebenarnya
banyak bersesuaian dengan pemikiran Soekarno. Hanya saja, keduanya lalu
berselisih tajam mengenai bagaimana harus menghadapi dan memperlakukan PKI.
Dalam soal terakhir itulah ia lalu memutuskan untuk menentang Soekarno,
sebuah sikap yang kemudian membuatnya jadi lawan politik bersama dengan
sejumlah tokoh Masyumi, seperti Muhammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara,
Prawoto Mangkusasmito, dan Mr Muhammad Roem.
Memperingati satu abad kelahirannya, kita sebenarnya
membutuhkan banyak tokoh seperti Sumitro, seorang pemikir yang juga action
man. Sebagai teknokrat, ia setia kepada posisi ideologisnya, dan sebagai
politisi ia berani mempertahankan sikap politiknya di hadapan kekuasaan,
meskipun untuk itu ia harus membayar mahal pilihannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar