Menatap
Rencana Undang-Undang Penyiaran yang Baru : Harapan atau Ketidakpastian?
Ishadi SK ; Praktisi Televisi
|
DETIKNEWS, 06 Juni 2017
Rancangan undang-undang penyiaraan (RUU Penyiaran) akan
segera dibawa ke Rapat Paripurna DPR pada akhir masa sidang ini, dan disahkan
sebagai RUU Penyiaran inisiatif DPR. Demikian informasi yang disampaikan oleh
Abdul Kharis Almansyuri, Ketua Komisi I DPR dalam jumpa dengan wartawan
beberapa waktu yang lalu.
Artinya, RUU Penyiaran tersebut sudah melewati pembahasan
yang mendalam. Baik di antara anggota Panitia Kerja (Panja) Penyiaran yang
ditugaskan Komisi I untuk menyusun RUU Penyiaran yang baru, maupun di antara
anggota-anggota Badan Legislatif (Baleg) yang bertugas untuk melakukan
harmonisasi pasal demi pasal agar sesuai dengan peraturan perundang- undangan
lainnya, termasuk berbagai keputusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah
Konstitusi (MK) dalam kerangka Uji Material.
Dalam menjalankan tugasnya, sejak dua bulan terakhir,
Baleg telah melakukan berbagai Rapat Dengar Pendapat dengan stakeholder
industri penyiaran Indonesia untuk mendapatkan masukan, saran dan pendapat
terhadap RUU Penyiaran. Mulai dari pemerintah, dalam hal ini Kemkominfo, KPI,
berbagai asosiasi penyiaran televisi, asosiasi radio, TVRI dan RRI, kalangan
akademisi maupun pihak-pihak yang berkepentingan.
Hal itu untuk memastikan RUU Penyiaran tersebut dapat
menjadi landasan terciptanya keberlangsungan usaha penyiaran Indonesia menuju
industri penyiaran yang mandiri, sehat, kuat dan dapat bersaing di dunia
internasional.
RUU Penyiaran ini, apabila disetujui oleh Pemerintah dan
DPR, akan menggantikan Undang-undang Penyiaran No.32 Tahun 2002, dan menjadi
landasan utama dari pelaksanaan migrasi sistem penyiaran televisi terrestrial
penerimaan tetap tidak berbayar (TV FTA) analog menjadi digital.
Berdasarkan konsensus yang diterima oleh mayoritas
negara-negara anggota International Telecommunication Union (ITU), batas
akhir dari penggunaan frekuensi analog di Region 1 dan wilayah perbatasan
antarnegara, atau yang dikenal dengan analog switch off (ASO) atau digital
switch over (DSO) adalah 15 Juni 2020. Kecuali, untuk negara-negara di Region
3 (termasuk Indonesia) dimana negara-negara anggota ITU dapat menetapkan
tanggal lain sesuai dengan kondisi industri penyiarannya
Proses perpindahan dari analog dan digital ini merupakan
sebuah kesempatan untuk mengatur kembali sistem telekomunikasi penyiaran
televisi agar lebih efisien dan hemat dilihat dari sisi hardware maupun biaya
operasionalnya. Ada tiga sistem tata cara perpindahan dari analog ke digital.
Pertama, single mux operator, dimana hanya ada satu
operator atau penyelenggara layanan multipleksing penyiaran digital, dalam
hal ini LPP RTRI. Dalam model bisnis ini, RTRI akan menguasai dan mengelola
penggunaan frekuensi dan menyediakan infrastruktur transmisi. Sedangkan
kegiatan lembaga penyiaran swasta (LPS) hanyalah memproduksi konten, dan menyiarkannya
melalui kanal frekuensi dan infrastruktur yang dikelola oleh RTRI melalui
sistem sewa.
Kedua, multipleksing operator, dimana setiap LPS eksisting
menjadi pengelola frekuensinya masing-masing dan menjalankan multipleksing
untuk keperluan internal LPS sendiri.
Ketiga, model hybrid, dimana LPP dan LPS yang memiliki
kemampuan teknologi yang mumpuni ditunjuk menjadi operator atau penyelenggara
layanan multipleksing. Masing-masing operator multipleksing mengelola
frekuensi dan infrastruktur penyiaran untuk dipergunakan oleh LPP atau LPS
penyelenggarara multipleksing dan LPS lainnya melalui penyewaan kanal
frekuensi dan infrastruktur.
Berdasarkan data yang diperoleh dari European Broadcasting
Union (EBU), Asia Pasific Broadcasting Union (ABU) maupun ITU, dipastikan
bahwa seluruh negara yang sudah melakukan analog digital switch off, lebih
memilih sistem hybrid mux operator.
Hanya dua negara yang menggunakan sitem single mux
operator, yakni Jerman dan Malaysia. Spanyol berhasil karena 90 persen
pemirsanya menikmati tayangan televisi melalui sistem cable. Sedangkan
Malaysia sampai hari ini gagal melakukan eksekusi switch off karena harga
sewa mux yang dimiliki Lembaga Penyiaran terlalu mahal.
Kenapa model hybrid maupun multi mux operator yang
dipilih, bukan model single mux operator? Ada beberapa alasan. Pertama,
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17,000.
Apabila pemerintah menyerahkan pengelolaan frekuensi dan penyediaan
infrastruktur penyiaran kepada LPP RTRI atau BUMN sebagai single mux
operator, maka harus menyediakan dana APBN yang sangat besar untuk membiayai
investasi yang akan dikeluarkan oleh single mux operator.
Pembiayaan infrastruktur penyiaran digital melalui
mekanisme APBN atau pinjaman dari luar negeri akan membebani anggaran negara
yang saat ini fokus pada pembangunan ekonomi kerakyatan.
Kedua, LPS eksisting akan kehilangan hak untuk mengelola
frekuensi yang merupakan roh dari penyiaran TV FTA dan sekaligus menjadi
jaminan terselenggaranya penyiaran secara berkesinambungan.
Ketiga, TV FTA eksisting telah melakukan investasi yang
sangat besar untuk membangun jaringan infrastruktur penyiaran yang berada
dilebih dari 50 wilayah layanan dan dapat melayani lebih dari 200 kabupaten
dan kota di seluruh Nusantara. Apabila model single mux operator yang dipilih
maka seluruh infrastruktur tersebut menjadi tidak dapat digunakan lagi,
artinya terjadinya pemborosan investasi.
Keempat, pemilihan model single mux operator akan
menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja atas ribuan karyawan teknik
penyiaran yang selama ini bekerja dan berkarya untuk mengelola infrastruktur
penyiaran LPS eksisting.
Kelima, karena tidak adanya kompetisi yang sehat maka
tidak ada kontrol terhadap biaya sewa yang akan diberlakukan oleh single mux
operator. LPP RTRI atau BUMN yang ditunjuk akan membebankan seluruh biaya
investasi yang dikeluarkan kepada LPS atau penyedia konten siaran yang
menggunakan infrastrukturnya. Tidak adanya kompetisi berakibat pada rendahnya
service level layanan penyiaran TV digital.
Keenam, single mux operator tidak akan dapat adaptif dalam
menghadapi perkembangan teknologi penyiaran televisi masa depan yang berubah
sangat cepat. Saat ini teknologi gambar HDTV (High Definition Televison) akan
segera digantikan oleh teknologi UHD (Ultra High Definition) 4K, 8K dan 16K.
Sementara itu, dari sisi teknologi kompresi juga berkembang dari MPEG 2, MPEG
4 dan sekarang HEVC (High Efficiency Video Coding).
Mekanisme pembiayaan via APBN atau pinjaman luar negeri
harus melalui proses birokrasi yang panjang yang membuat single mux operator
terlambat untuk mengantisipasi permintaan atas layanan terbaru oleh LPS dan
pemirsa.
Perubahan teknologi ini akan teramat berat kalau semuanya
harus dilakukan oleh pemerintah maupun Telco BUMN. Akan lebih murah bila
dilakukan oleh masing-masing stasiun penyiaran yang berkepentingan untuk
melayani penontonnya untuk mendapatkan resolusi gambar dan suara yang lebih
sempurna.
Industri penyiaran secara alamiah memang merupakan
industri yang padat modal, padat teknologi dan padat konten yang
masing-masing menuntut investasi yang besar. Padat modal karena industri
penyiaran sejak awal dituntut untuk terus-menerus mampu melakukan investasi,
baik untuk menghadapi teknologi yang baru maupun konten atau isi siaran yang
lebih baik dan mahal dari waktu ke waktu.
Padahal baik investasi awal, investasi teknologi yang baru
dari tahun ke tahun maupun investasi konten membutuhkan modal yang sangat
besar khususnya dalam persaingan yang makin ketat sekarang ini.
Sistem penyiaran di Indonesia sejak awal tidak diatur dengan
baik. Di zaman Orde Baru pemerintah memberikan izin 5 stasiun televisi (RCTI,
SCTV, INDOSIAR, TPI, dan ANTV), jumlah yang terlalu banyak dalam ukuran
rata-rata jumlah televisi di dunia.
Amerika Serikat misalnya pada waktu itu (1989) hanya
memiliki tiga stasiun penyiaran televisi (NBC, EBS, ABC). Jerman dua (WDR dan
ARD), Italia dua (RAI dan Media Set), Korea dua (KBS dan NBC), Hongkong dua
(TUB dan ATV), Malaysia tiga (RTM1, RTM2, dan TV3), serta Australia empat
(ABC, TV7, TV9, dan TV10).
Setelah reformasi, jumlah yang sudah terlalu banyak itu
ditambah dengan lima stasiun baru (MetroTV, TV7, TransTV, Global, dan
Lativi), serta 100 TV lokal.
Pada kenyataannya setelah lima tahun mengudara hanya lima
stasiun yang mampu memperoleh keuntungan dan berkembang (RCTI, SCTV,
INDOSIAR, TRANSTV, dan METRO TV). Akibatnya untuk mempertahankan sustainable
dalam bisnisnya dilakukan konsolidasi sehingga tinggal lima kelompok usaha,
masing masing Grup MNC (RCTI, Global, dan MNC TV), Transmedia (TransTV dan
Trans7), Grup Emtek (SCTV dan Indosiar), Grup Viva (TVone dan ANteve), serta
Media Group (Metro TV).
Konsolidasi merupakan satu-satunya cara agar masing-masing
stasiun penyiaran televisi bisa menjamin kepastian usaha dan kepastian usaha
mereka menghadapi persaingan yang semakin ketat dan tidak bisa disebut
sebagai monopoli. Berdasarkan Undang-undang No.5 Tahun 1999 tentang Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha, sebuah usaha dapat dinyatakan sebagai
"monopoli usaha" apabila pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha
menguasai lebih dari 75% pangsa pasar atau jenis barang dan jasa tertentu.
Dilihat dari share dan rating pada masing-masing kelompok
usaha di bidang pertelevisian Indonesia, tidak ada satu pun pelaku
usaha/kelompok usaha yang memiliki share dan rating lebih dari 75% dari
seluruh isi siaran. Kelompok MNC hanya menguasai 35,2% dari pangsa pasar
(Armando, 2016)
Sudah saatnya pemerintah, khususnya Menteri Komunikasi dan
Informasi dan DPR mempertimbangkan kelebihan dan kelemahan masing-masing
bisnis model migrasi digital secara seksama dengan mempertimbangkan masukan
dari stakeholder penyiaran, khususnya LPS eksisting agar industri TV FTA
dapat tumbuh dan berkembang.
Penggunaan konsep atau bisnis model yang tidak akomodatif
bukan saja membuat industri strategis ini menjadi tidak kompetitif, tapi juga
dapat mengancam keberlangsungan usahanya. Usulan ATVSI agar RUU Penyiaran
mengadopsi model hybrid merupakan solusi terkait polemik monopoli akibat
dipilihnya sistem single mux operator dalam RUU Penyiaran saat ini.
Penerapan sistem hybrid dalam penyelenggaraan penyiaran
multipleksing merupakan bentuk nyata demokratisasi penyiaran, dimana LPP dan
LPS menjadi operator atau pemyelenggara multipleksing akan mengakomodir
kepentingan pihak-pihak baik yang memiliki kepentingan komersial maupun yang
tidak.
Sistem hybrid akan menjamin ketersediaan kanal untuk
program-program baru (ketersediaan frekuensi untuk penyiaran analog terbatas)
menjadi bertambah termasuk untuk mengantisipasi perkembangan teknologi
penyiaran masa depan seperti UHD4K, UHD 8K dan Hybrid Broadband Broadcast
Television (HbbTV). Ketersediaan frekuensi untuk system hybrid ini tetap
mencukupi baik untuk mengakomodasi siaran LPS, antisipasi perkembangan
teknologi ke depan, maupun digital deviden.
Penggunaan sistem multi mux operator maupun hybrid mux
operator akan tetap menjamin pemerintah menguasai alokasi frekuensi sebagai
digital deviden yang cukup untuk dimanfaatkan berbagai kanal televisi maupun
broadband. Sehingga, pemerintah bisa terjamin usahanya untuk meningkatkan
kapasitas broadband maupun internet yang cukup guna memenuhi kebutuhan
nasional hingga 20 tahun ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar