Menata
Perekonomian Indonesia
Anton Hendranata ; Chief Economist PT Bank Danamon Indonesia Tbk
|
KOMPAS, 31 Mei 2017
Pemilihan Presiden 2019 masih dua tahun lagi, tetapi
gaungnya sudah sangat kencang sejak panasnya suhu politik di Pilkada DKI
Jakarta 2017.
Isu ketimpangan perekonomian dan ketakadilan pun merebak
kembali dalam kancah politik dan perekonomian nasional. Hal ini bukan tak
mungkin bisa jadi salah satu bahan baku yang bisa diolah sedemikian rupa
untuk memenangi Pilpres 2019.
Berbicara mengenai ketimpangan perekonomian, pasti tak
bisa dilepaskan dengan pertumbuhan ekonomi. Bahkan sering terjadi
pertentangan tidak berujung pada solusi konkret: mana lebih penting,
pertumbuhan ekonomi atau pemerataan ekonomi? Namun, intinya Indonesia butuh
pertumbuhan berkualitas yang berkeadilan untuk semua lapisan ekonomi baik
yang miskin dan kaya. Kelihatan mudah dibicarakan, tetapi sulit dilaksanakan
kalau kita tidak fokus dan asyik memprioritaskan kepentingan golongan
masing-masing.
Ketimpangan dan ketakadilan perekonomian bisa diatasi
kalau Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi yang kuat dan berkesinambungan.
Bagaimana membagi kue perekonomian nasional kalau
perekonomiannya sendiri tidak solid dan stabil? Indonesia membutuhkan model
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang mampu menyerap 1,8 juta angkatan
kerja baru tiap tahunnya.
Investasi asing
Ke depan, tantangan perekonomian Indonesia tak mudah. Tren
pertumbuhan ekonomi cenderung turun dan stagnan. Sesudah krisis ekonomi
global 2008, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih di atas 5,5 persen dengan
rata-rata tumbuh 6,1 persen selama 2010-2013. Namun, tiga tahun terakhir
(2014-2016) turun menjadi 5 persen.
Mesin utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, yaitu konsumsi
rumah tangga cenderung stagnan. Tampaknya perekonomian kita secara tidak
sadar terhanyut dan begitu bergantung hanya pada kekuatan konsumsi rumah
tangga. Sejak 1960, dalam kurun 56 tahun, rata-rata kontribusi konsumsi rumah
tangga sekitar 54 persen dari total produk domestik bruto (PDB).
Perekonomian Indonesia seolah terlena dalam zona nyaman.
Ini tak bisa dibiarkan begitu saja. Jangan biarkan potensi perekonomian yang
berlimpah, yang didukung bonus demografi, terbuang sia-sia. Jangan biarkan
pertumbuhan ekonomi Indonesia turun sebelum mencapai titik keemasan atau puncaknya.
Sebagai catatan, perekonomian Indonesia pernah berjaya dengan tumbuh 10,9
persen tahun 1968, kemudian 9,9 persen pada 1980. Sebelum krisis ekonomi dan
moneter 1997/1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif tinggi 7,5-8,2
persen pada 1994-1996.
Hal ini menunjukkan kita punya peluang bisa keluar dari
pertumbuhan ekonomi seperti sekarang. Logiskah kalau pertumbuhan ekonomi kita
menuju level 7 persen atau lebih?
Dari pendekatan permintaan agregat, setelah konsumsi rumah
tangga, secara rata-rata peranan investasi dalam perekonomian Indonesia
sekitar 24 persen dalam periode 1960-2016. Setelah itu diikuti pengeluaran
pemerintah (8 persen) dan perdagangan internasional (ekspor-impor) sebesar 4
persen. Oleh karena itu, mendorong investasi baik domestik dan asing
merupakan pilihan rasional dan tentu dampaknya jauh lebih besar dibandingkan
pengeluaran pemerintah dan perdagangan internasional.
Kita tak bisa berharap banyak dari pengeluaran pemerintah
karena terbatasnya ruang fiskal (tahap konsolidasi dan reformasi
penerimaan/pengeluaran). Sementara, dari perdagangan internasional lebih
sulit lagi sebab kondisi perdagangan internasional makin protektif dan
ancaman perlambatan pertumbuhan ekonomi global, baik negara maju (advanced economies) dan berkembang (emerging economies).
Melihat historis pertumbuhan investasi dalam perekonomian
nasional, seharusnya masih ada kesempatan untuk merajut dan menata
pertumbuhan ekonomi yang tidak hanya bertumpu pada konsumsi rumah tangga.
Pada 2010-2012, pertumbuhan investasi sekitar 8-9 persen, tetapi sayangnya
dalam empat tahun terakhir (2013-2016) cenderung menurun hanya 4-5 persen.
Untuk mencapai pertumbuhan 7 persen, setidaknya Indonesia
butuh pertumbuhan investasi sekitar 10 persen. Artinya, diperlukan
pertumbuhan investasi dua kali lipat dari pertumbuhan investasi tahun 2016
yang hanya 4,5 persen.
Kunjungan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud ke
Indonesia jelas menunjukkan betapa ketatnya persaingan mendatangkan investor.
Investasi Arab Saudi di Indonesia 6 miliar dollar AS, atau hanya 10 persen
dibandingkan investasinya ke Tiongkok yang 65 miliar dollar AS.
Investasi asing langsung (FDI) jelas menunjukkan Indonesia
masih kalah dari negara-negara di kawasan. Rata-rata FDI ke Indonesia 26,6
miliar dollar AS selama 2011-2016, lebih rendah dibandingkan Vietnam (29,6)
miliar dollar AS, Malaysia (33,6 miliar dollar AS), dan India (34,0 miliar
dollar AS).
Masih ada ruang
Semasa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, tanda-tanda
perbaikan sudah mulai terlihat melalui 15 paket kebijakannya, walaupun
implementasi masih banyak kendala. Daya saing Indonesia membaik, dari
peringkat 54 tahun 2007 menjadi 41 tahun 2016, tetapi masih di bawah India,
Thailand, Tiongkok, dan Malaysia. Dari sisi kemudahan berusaha juga membaik
dari peringkat 120 ke 106, kemudian peringkat 91 pada 2017. Sayangnya,
peringkat ini masih di bawah Vietnam dan Tiongkok. Menurut The Economist dan
JBIC, Indonesia termasuk peringkat 3 sebagai tempat investasi menarik di
bawah India dan Tiongkok.
Kondisi ini menunjukkan masih ada ruang dan aspek positif
dari perekonomian Indonesia. Kita harus segera melakukan berbagai terobosan
di bidang infrastruktur (irigasi, jalan, jembatan, pelabuhan, dan tol laut),
perizinan dan peraturan di pusat dan daerah, kepastian hukum, serta tentunya
stabilitas politik.
Ketimpangan infrastruktur antara Jawa dan luar Jawa
merupakan kendala terbesar perekonomian Indonesia. Bagaimana mungkin
investasi akan naik signifikan dan menyebar ke luar Jawa kalau hambatan
utamanya adalah infrastruktur. Kebutuhan total biaya infrastruktur tahun
2015-2019 sangat besar, 341,4 miliar dollar AS atau Rp 455 triliun. Hampir
mustahil pemerintah dapat membiayai sendiri proyek-proyek infrastruktur.
Karena itu, Indonesia harus cerdik dan punya strategi pemasaran yang andal
untuk menarik investor asing dan lembaga internasional.
Indonesia harus berubah secara radikal di berbagai lini.
Indonesia seharusnya bisa lebih baik daripada negara-negara sekitar, karena
kita punya modal sumber alam melimpah dan bonus demografi. Motor penggerak
perekonomian tidak bisa hanya bertumpu pada konsumsi rumah tangga, tetapi
juga investasi. Pusat pertumbuhan ekonomi yang hanya bertumpu di Jawa harus
mulai digeser ke luar Jawa. Industri manufaktur harus menopang permintaan
domestik sehingga dapat mengurangi impor.
Indonesia harus fokus dengan permasalahan domestiknya dan
mengurangi ketergantungan dengan perekonomian global yang pertumbuhannya
cenderung melambat. Pemerintah perlu diberi kesempatan melakukan tindakan
riil untuk membawa terbang perekonomian Indonesia tanpa diwarnai karut-marut
politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar