Memanen
Perilaku Intoleransi
Sidharta Susila ; Pendidik di Muntilan, Jawa Tengah
|
KOMPAS, 03 Juni 2017
Kekerasan dalam pendidikan terjadi lagi dan memakan
korban. Kali ini korbannya taruna Akademi Kepolisian RI di Semarang, Jawa
Tengah. Beberapa bulan sebelumnya, pendidikan di Yogyakarta dinodai aksi
klitih.
Berulangnya aksi kekerasan dalam pendidikan kita sungguh
mencemaskan. Mengapa pengabaran tentang tindakan hukum oleh aparat dan sanksi
lembaga pendidikan sebagai konsekuensi melakukan kekerasan tak juga mengusik
pelajar dan mahasiswa untuk membarui hidupnya? Apakah fakta ini menggambarkan
betapa banyak kaum muda kita kerdil karena hidup dalam tempurungnya sendiri?
Semai benih intoleransi
Bagaimanakah kaum muda kita dibentuk dan membentuk diri di
zaman ini? Realitas hidup keseharian kita beberapa tahun terakhir ini agaknya
membentuk kaum muda kita menjadi manusia yang kian egois. Orientasi hidupnya
semakin terfokus pada diri sendiri.
Beberapa hal yang bisa diduga menjadi penyebabnya adalah,
pertama, kecenderungan keluarga dengan sedikit anak. Dalam keluarga kecil
itu, kesempatan anak tumbuh dengan belajar berbagi dan peduli semakin
sedikit. Kedua, situasi semakin rumit ketika anak tidak banyak dilibatkan
mengelola lingkungan atau kehidupan keluarga karena semua sudah dikerjakan
pembantu. Apalagi, banyak orangtua yang cenderung memanjakan anaknya hingga
tak mau memberi pekerjaan/tugas mengurus rumah yang sepele sekalipun. Sikap
peka dan peduli tidak tumbuh dan berkembang.
Ketiga, banyak perkawinan diselenggarakan tanpa persiapan.
Artinya, banyak calon orangtua yang tidak menjalani persiapan untuk hidup
berkeluarga dan menjadi orangtua bagi anak mereka. Pada perkawinan demikian,
pada keluarga dengan kondisi ekonomi sulit sering terjadi kekerasan di dalam
rumah tangga. Apalagi, jika perkawinan di dalam keluarga itu terjadi karena
keterpaksaan akibat "kecelakaan" pergaulan seksual. Perilaku
kekerasan bagian dari pembelajaran awal anak dalam keluarga.
Bagi keluarga dengan ekonomi mampu, orangtua cenderung
menyerahkan kehidupan anak kepada pembantu. Sesungguhnya dalam kondisi ini
praktis anak tidak belajar karakter unggul, termasuk belarasa dan keadaban
sosial di keluarga. Pembantu rumah tangga tak selalu bisa jadi pendidik yang
baik bagi anak-anak.
Di banyak keluarga, anak belajar kekerasan atau melakukan
kekerasan kepada liyan justru dari cara orangtua mereka memperlakukan para
pembantu rumah tangganya. Orangtua yang tidak dipersiapkan perkawinannya
sering kali belum matang kepribadiannya hingga dengan enteng berbuat apa saja
di rumah, tanpa sadar bahwa perilakunya menjadi obyek pembelajaran dan
pembentukan kepribadian anak-anaknya.
Masih banyak faktor lain yang menjadi penyebab proses
belajar kaum muda kita untuk melakukan kekerasan terhadap liyan sejak di
dalam keluarga hingga mereka menjadi manusia tunasosial. Di sinilah benih
intoleransi tersemai. Banyak kaum muda kita sejak di dalam keluarga telah
tumbuh dan belajar dengan melihat serta menyikapi orang lain sebagai yang
berbeda, lebih rendah, hingga wajar untuk diperlakukan semaunya. Mereka
tumbuh dalam sikap "aku yang paling penting".
Membongkar tempurung pengerdil
Ketakberadaban kaum muda kita kian menggila ketika
orangtua, perkumpulan keagamaan, guru/tokoh agama, bahkan sekolah juga
mengajarkan sikap serta pandangan intoleransi. Tempurung hidup kaum muda kita
kian menebal kuat dan menyempit. Ajaran intoleransi membangun sikap dan
pandangan pada kaum muda bahwa wajar jika mengesampingkan, mengucilkan,
melakukan kekerasan kepada liyan yang tidak seide, sealiran, sepaham, sesuku,
atau seagama. Anak-anak kita kian kerdil, egois, dan tuna-adab sosial.
Masygulnya banyak orangtua yang tak percaya apabila
tiba-tiba mengetahui anak-anak mereka telah melakukan tindak kekerasan yang
keji. Kian masygul ketika mereka justru menuntut pihak-pihak yang
memperkarakan anak-anaknya yang telah jelas-jelas tertangkap basah melakukan
tindakan intoleransi, tidak beradab, serta kekerasan/kejahatan sosial.
Anak-anak kita rasanya kini hidup di hutan belantara
intoleransi. Kemudahan dan murahnya akses informasi di media sosial semakin
berpotensi membuat kaum muda kita tersesat di hutan kehidupan tidak beradab,
lebih-lebih karena orangtua tidak mempersiapkan anak-anaknya untuk terampil
berselancar di media sosial.
Semoga kita semakin sadar bahaya yang sedang dan sudah
mengancam pertumbuhan keadaban anak-anak kita. Banyaknya keluarga tanpa
persiapan di sekitar kita telah mencipta hutan kejam bagi kehidupan kaum muda
kita. Apalagi, sejumlah lembaga pendidikan juga menyelenggarakan pendidikan
yang diskriminatif dan mengajarkan intoleransi. Maka, kembali menguatkan
hidup berkarakter dalam keluarga adalah jalan emas untuk menyelamatkan hidup
kaum muda kita. Ini langkah kecil dan murah, tetapi menuntut jerih payah
ekstra untuk zaman ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar