Kanopi
Suci bagi Bangsa
Syamsul Arifin ; Guru Besar, Wakil Rektor Bidang Akademik dan
Kerja Sama Universitas Muhammadiyah Malang
|
KORAN
SINDO, 03
Juni 2017
MERAWAT harmoni kemajemukan adalah ujian terberat
demokrasi Indonesia. Terlebih jika hal itu harus berhadapan dengan sikap
antikebangsaan, hasrat berkuasa hingga kepentingan primordial. Fenomena
itulah yang kembali menjadi tantangan kebangsaan kita akhir-akhir ini.
Sebagai bangsa yang dikenal religius, ditambah lagi dengan
atribut sebagai salah satu negeri muslim terbesar di dunia, kita tentu
berharap agama dapat menjadi instrumen dalam menjaga muruah demokrasi dan
memberangus hal-hal yang tak sejalan dengan keadaban politik. Sejatinya peran
itu secara ideologis dan historis telah dimainkan secara elegan oleh
Pancasila.
Dalam perspektif Muhammadiyah, negara Pancasila merupakan
darul-ahdi wasy-syahadah.
Darul-ahdi bermakna bahwa negara kita merupakan hasil konsensus nasional yang
melintasi keragaman etnis, agama, bahkan kekuatan politik dan golongan.
Sementara darusy-syahadah menegaskan bahwa Tanah Air ini adalah bukti
kesaksian kita atas Indonesia yang merdeka, yang harus dijaga bersama menuju
Indonesia yang makmur, adil, dan bermartabat atau dalam bahasa Alquran
disebut sebagai baldatun thayyibatun wa
rabbun ghafur (Qs 34:15).
Merujuk pada prinsip tersebut, jelaslah bahwa demokrasi
kita sudah final secara konseptual maupun ideologis. Lantas, noda apa yang
membuat bangsa ini mudah dirasuki kepentingan pribadi dan golongan? Akar dari
cacat yang menyertai proses demokratisasi sebenarnya terletak pada cara dalam
mengelola hasrat untuk meraih kekuasaan.
Hasrat berkuasa adalah keinginan yang melekat pada semua
manusia. Dalam kepustakaan politik kita menemukan suatu frasa: politik
menghalalkan segala cara. Fitnah, yang dalam politik praktis dikemas dalam
pembunuhan karakter dan kampanye negatif, merupakan salah satu contoh nyata
perwujudan frasa tersebut.
Kanopi Suci
Di sinilah agama, yang senantiasa diagungkan masyarakat
kita sebagai penjaga moral bangsa, harus memainkan peran penting sebagai
kanopi suci (the sacred canopy).
Dalam konteks ini puasa Ramadan sebagai subsistem peribadatan dalam Islam
dapat berfungsi sebagai kanopi suci bagi bangsa dalam mengangkat tahta
keadaban politik kita.
Kanopi memiliki pengertian langit-langit atau tudung.
Berdasarkan pengertian ini, puasa Ramadan merupakan kanopi, yakni
langit-langit atau tudung suci yang dapat melindungi manusia. Puasa Ramadan
tentu memiliki nilai kesucian atau sakralitas karena kewajiban menjalankannya
berasal dari Allah, zat yang maha suci.
Manusia membutuhkan kanopi suci dalam hidupnya karena ia
memiliki potensi melakukan tindakan yang tidak saja merugikan dirinya, tapi
juga pihak lain, baik secara individual maupun kelompok. Kanopi suci
diharapkan dapat menghapus segala sikap serakah yang tersimpan dalam jiwa
manusia yang mudah guncang. Serakah akan kekuasaan adalah salah satu potensi
negatif yang dapat membuat manusia kalap hingga mengabaikan kepentingan
kebangsaan demi pemuasan hasrat pribadi maupun golongan.
Kemampuan mengelola hasrat inilah yang ingin dimunculkan
kembali oleh Islam, di antaranya melalui puasa Ramadan. Puasa Ramadan memiliki
banyak sebutan, di antaranya sebagai madrasah karena selama sebulan penuh
pelaku puasa menjalani proses pendidikan agar menjadi manusia ideal, yakni
manusia bertakwa (QS 2:183). Puasa harusnya menjadi madrasah kebangsaan bagi
kita semua agar tak mudah menggadaikan tujuan mulia demi hasrat sesaat.
Sebagaimana lazimnya proses pendidikan yang di antaranya
meliputi aktivitas internalisasi nilai-nilai, selama pelaksanaan ibadah
puasa, para pelakunya juga dituntut mewujudkan nilai-nilai kebajikan dalam
kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah sifat sabar sebagaimana
ditegaskan oleh sebuah hadis: al-shawm
nishf-u al-shabr (puasa adalah separuh kesabaran).
Banyak di antara kita yang memahami sabar dalam pengertian
sempit seperti hanya mengaitkannya dengan datangnya musibah. Secara harfiah
sabar berarti menahan diri. Pengertian ini sejiwa dengan implikasinya yang
luas dan mendasar terhadap pembentukan sikap yang positif. Sabar menjadi
salah satu kanopi suci yang harus menjadi pedoman moral bagi bangsa ini,
terutama bagi para opinion leaders, tokoh agama, pejabat publik, serta
orang-orang yang selama ini menjadi figur atau panutan masyarakat banyak.
Ambil contoh, pejabat publik yang menyalahgunakan jabatan
dan kekuasaan bisa dikatakan belum memiliki sikap sabar dalam pengertian
tidak dapat menahan hasrat negatif dari dalam dirinya atau yang disebut
dorongan hawa nafsu. Orang yang mampu menahan dorongan hawa nafsunya (sabar)
untuk melakukan perkara-perkara yang dilarang Allah, dalam literatur kajian
akhlak, disebut telah mampu menjalankan iffah yang pelakunya disebut dengan afif.
Pemimpin berkarakter sabar adalah pemimpin yang mampu
memosisikan kekuasaan bukan sebagai dambaan tertinggi dan kebajikan tertinggi
(power is the supreme virtue and the supreme desire) hanya bagi diri dan
pihak-pihak di sekitarnya, tapi kekuasaan dimaknai sebagai suatu instrumen
dan didedikasikan secara tulus untuk mencapai kebahagiaan yang otentik bagi
seluruh warga yang dipimpinnya. Pemimpin yang memiliki karakter sabar adalah
pemimpin yang mau mendengarkan suara-suara dari “arus bawah”, bukan sekadar
suara-suara dari “arus atas”.
Sabar yang melekat pada seorang pemimpin akan mewujudkan
kepemimpinan yang melayani (servant
leadership) yang digerakkan oleh motivasi yang tulus, bukan sekadar
pencitraan yang ingin disorot media massa, lalu pada dirinya melekat citra
pemimpin populis, dekat dengan rakyat, padahal hanyalah sebuah pencitraan.
Jika saja salah satu kanopi suci itu, yaitu sabar, menjadi
fondasi setiap elemen bangsa ini dalam berpolitik, niscaya negara ini takkan
mudah digoyahkan oleh hasrat berkuasa dan kepentingan primordial. Yang selama
ini sering terjadi, para penguasa dan figur publik tak mudah menahan diri
untuk melakukan hal-hal yang dapat mengganggu harmoni kebangsaan kita.
Entah apa lagi yang hendak dicapai bangsa ini jika bukan
ketenteraman dan kemakmuran hidup yang diraih bersama, bukan hasil kerja keras
salah satu golongan, etnik, agama, ormas, atau kelompok politik tertentu.
Bukankah itu yang diinginkan para pendiri bangsa kita? Negeri ini sudah
dikaruniai Tuhan begitu banyak keberkahan. Jika saja masing-masing dari diri
kita lebih bersabar dan saling merawat bangsa ini tanpa saling menjatuhkan
dan merendahkan martabat, sungguh kita telah menjadi bangsa yang besar dan
dikagumi dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar