Tanah
Longsor Ancam Pasokan Pangan
Achmad Rachman ; Peneliti
di Badan Litbang Pertanian;
Mantan
Atase Pertanian di Amerika Serikat
|
MEDIA
INDONESIA, 11 April 2017
BENCANA tanah longsor di Ponorogo, Jawa Timur, yang
memakan korban ratusan jiwa membuka mata kita bahwa Indonesia bukan hanya
terancam oleh bencana gempa bumi dan letusan gunung berapi seperti yang
sering diulas media. RI sesungguhnya, seperti tercatat dalam International
Council for Science, termasuk tujuh negara dengan korban jiwa terbesar karena
longsor bersama Brasil, India, Afghanistan, Nepal, Filipina, dan Bolivia.
Bahkan Global Assessement Report yang dikeluarkan PBB menyebut RI negara
paling tinggi yang berisiko tanah longsor karena dua faktor utama. Pertama,
termasuk wilayah tropis dengan curah hujan sangat tinggi. Kedua, lebih dari
45% daratan di Indonesia berbentuk perbukitan dan pegunungan yang berlereng
landai hingga curam.
Daerah pegunungan berlereng curam juga umumnya menjadi
wilayah dengan curah hujan yang sangat tinggi. Laporan PBB itu sejalan dengan
data nasional dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang mencatat
pada 2016 kejadian longsor dua kali lipat jika dibandingkan dengan 2011. Pada
2016 terjadi longsor 616 kali, sedangkan 2011 hanya 329 kejadian. Yang
mencemaskan pada 2017 yang baru berjalan empat bulan saja telah terjadi 215
kali dengan kejadian terakhir di Ponorogo, Jatim. Beragam aktivitas manusia
yang tidak ramah lingkungan membuat para ahli konservasi tanah di Balai
Penelitian Tanah memprediksi jumlah dan dampak bahaya longsor akan meningkat
di masa depan. Seperti biasa korban paling menderita adalah masyarakat kecil.
Mereka kehilangan anggota keluarga, rumah, dan harta benda. Namun, di luar
kehilangan itu, banyak kerugian yang tak kentara tetapi berdampak luas bagi
masyarakat setempat dan masyarakat sekitar wilayah bencana.
Kerugian yang tak kentara itu berupa lenyapnya lahan
pertanian tempat mayoritas masyarakat mencari nafkah. Kerugian itu tidak
hanya menimpa masyarakat di wilayah bencana, tetapi juga mengancam masyarakat
luar karena pasokan pangan bakal terganggu. Bila bahaya longsor meluas di
berbagai daerah, ketahanan pangan nasional juga terancam. Yang mengerikan
ialah hampir sebagian besar wilayah sentra pertanian di Jabar, Jateng, Jatim,
Sumsel, Sumbar, dan Sulawesi Tengah berada pada wilayah pegunungan dan
perbukitan yang rawan longsor. Lahan pertanian hilang karena tertimbun
material longsor atau sebaliknya ambles menjadi cekungan yang dalam sehingga
lahan tak lagi dapat ditanami. Di samping itu, terjadi dampak tidak langsung
berupa kerusakan infrastruktur pendukung usaha tani seperti jalan, saluran
irigasi, sumber air, dan penggilingan serta gudang. RI membutuhkan kebijakan
dan strategi baru untuk mitigasi ancaman longsor dalam kerangka mencegah
kelangkaan pangan.
Dua tipe longsor
Tanah longsor berbeda dengan erosi. Tanah longsor ialah
bencana yang terjadi karena berpindahnya massa tanah dari tempat yang tinggi
ke tempat lebih rendah dengan volume besar dalam waktu singkat. Sebaliknya,
erosi berlangsung dalam waktu lama. Saat massa tanah berpindah ke bawah
sering kali disertai material ikutan seperti batu dan pohon. Penyebab utama
tanah longsor ialah curah hujan tinggi yang berlangsung lama sehingga tanah
jenuh air, massa tanah bertambah. Sementara itu, vegetasi sebagai pengikat
partikel-partikel tanah sedikit, lalu terjadilah keruntuhan. Lereng yang
curam di bagian bawah menyebabkan tersedia bidang luncur sehingga massa tanah
berpindah sangat cepat. Patut kita sadari, pembukaan lahan pertanian sering
kali menjadi pemicu terjadinya tanah longsor. Pemotongan bukit atau gunung
untuk pembuatan jalan dan permukiman juga penyebab utama longsor di Tanah
Air. Bukit dan gunung yang dipotong kehilangan stabilitasnya sehingga mudah
runtuh bila diterpa curah hujan tinggi. Terdapat dua tipe longsor yang
terjadi di daerah pegunungan yaitu longsor guguran dan luncuran.
Guguran terjadi karena pelepasan batuan atau tanah dari
lereng sangat curam (>100%) dengan gaya bebas atau bergelinding dengan kecepatan
tinggi, sedangkan longsor bentuk luncuran terjadi akibat pergerakan bagian
atas tanah dalam volume besar yang bergerak cepat meluncur pada tanah bagian
bawah yang menjadi bidang luncur. Longsor yang disebut terakhir terjadi
apabila tanah bagian atas jenuh air dan terdapat bidang luncur pada kedalaman
tertentu. Bencana tanah longsor di Ponorogo termasuk ke dalam tipe longsor
luncuran. Manusia bertanggung jawab pada kejadian tanah longsor karena pemicu
utama tanah longsor ialah perubahan jenis vegetasi dari vegetasi tahunan
menjadi musiman di kawasan perbukitan dan pegunungan. Masyarakat membuka
perbukitan dan pegunungan menjadi kawasan pertanian karena tiada pilihan lain
akibat lahan datar semakin langka. Kawasan perbukitan dan pegunungan yang
dalam ilmu konservasi tanah klasik disebut sebagai lahan yang sangat tidak
sesuai untuk kawasan pertanian karena umumnya kemiringan di atas 100% pun
terpaksa dibuka karena sebarannya yang mencapai 45% daratan. Perbukitan dan
pegunungan menjadi sumber wilayah pertumbuhan baru untuk sektor pertanian.
Kini kita dapat menyaksikan kentang, tomat, cabai, sawi, wortel, bawang
ditanam besar-besaran di lahan perbukitan dan pegunungan. Bahkan kebun
tanaman hias juga di buka di daerah pegunungan dan perbukitan karena dapat tumbuh
bagus dengan produktivitas tinggi di dataran tinggi (>350 mdpl). Tanaman
perkebunan seperti kopi, teh, kina, dan berbagai jenis buah-buahan juga
banyak diproduksi di pegunungan.
Wilayah longsor
Pemerintah sebagai pemegang mandat untuk mengelolan negeri
perlu melakukan langkah mitigasi longsor di kawasan budi daya minimal dengan
tiga tindakan. Pertama, mendeliniasi wilayah rawan longsor dan potensi area
terdampak jika terjadi longsor dalam area-area yang disebut zona. Wilayah
rawan longsor dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu sangat rawan
(merah), rawan (kuning), dan aman (hijau). Zona merah harus dijadikan areal
konservasi sehingga bebas dari kegiatan pertanian, pembangunan perumahan, dan
infrastruktur. Zona kuning dapat dijadikan area pertanian, tetapi memerlukan
perlakuan khusus yang harus diterapkan secara ketat. Daerah zona kuning itu
dimungkinkan untuk budi daya sepanjang dilakukan tiga rekayasa, yaitu
mengubah bentuk geometri dari lereng, menghindari terjadinya penjenuhan air
pada tanah bagian atas, dan meningkatkan ketahanan gesekan tanah menggunakan
rekayasa bangunan sipil teknik. Rekayasa harus memperhatikan sifat fisik
tanah di wilayah itu. Riset di Balai Penelitian Tanah mengungkap ketahanan
gesekan tanah yang menjadi penentu peluang terjadinya tanah longsor
ditentukan bentuk partikel tanah.
Pada partikel liat, penambahan air mempercepat keruntuhan.
Sebaliknya, pada partikel pasir, penambahan air justru memperlambat
keruntuhan. Kedua, pembangunan sistem peringatan dini pada zona merah dan
zona kuning. Sistim peringatan dini dibangun berdasarkan faktor penyebab
utama longsor. Sementara itu, faktor pemicu tanah longsor menjadi parameter
tambahan dalam sistem itu. Ketiga, merevegetasi dengan tanaman tahunan
berakar dalam untuk stabilisasi lereng pada wilayah sangat rawan. Revegetasi
juga dapat dilakukan dengan penanaman tanaman berakar dalam, tetapi bermassa
ringan seperti akar wangi. Mitigasi bencana longsor menjadi tugas kita
bersama yang mendesak karena menyangkut kehidupan masyarakat kecil di wilayah
perbukitan dan pegunungan yang umumnya petani. Mitigasi bencana longsor juga
secara tidak langsung mempertahankan kelangsungan pasokan bahan pangan untuk
masyarakat Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar