Tak
Lucu
Putu Setia ; Pengarang;
Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO, 08 April 2017
Hadir pada ulang tahun Romo Imam,
saya diminta menyampaikan kritik. Saya katakan Romo sudah berubah.
"Tidak lagi lucu, baik saat memberi wejangan maupun saat menulis di
jurnal. Barangkali faktor usia," kata saya.
Romo langsung terbahak.
"Sampeyan benar," katanya. "Ulah para negarawan kita sudah
tidak lagi pada tingkat yang dianggap lelucon. Sudah persoalan serius yang
harus diingatkan bahwa mereka sangat tidak layak. Mereka memberi contoh yang
buruk, tak pantas disebut yang terhormat atau yang mulia. Bagaimana menyikapi
ini dengan lucu?"
Saya paham arahnya dan karena itu
ikut tertawa. "Coba sampeyan pikir. Sidang Dewan Perwakilan Daerah
seperti anak-anak TK berebut hadiah cokelat, saling dorong. Di mana lucunya?
Mereka menyebut dirinya senator meski itu berbau Amerika, padahal di sana kan
negara serikat, kita negara kesatuan. Mereka dipilih untuk mewakili daerah
menampung aspirasi yang mungkin tak tertampung oleh wakil rakyat dari partai
politik, eh, malah kini menjadi anggota partai, bahkan jadi
pengurusnya."
"Jadi ketua umum partai,
Romo," saya memotong. Romo bertambah semangat. "Ya, ketua umum
partai dan kini menjadi ketua lembaga perwakilan daerah itu. Dia bilang tidak
berambisi. Bahkan, menjelang terpilih secara aklamasi, dia bilang sempat
dibangunkan. Langsung perut jadi mual mendengarnya, apa dikira kita ini
bodoh? Terus lucunya di mana?"
"Ada yang lebih lucu, Romo.
Mahkamah Agung membuat keputusan mahapenting dengan salah ketik dan keputusan
salah ketik itu dijadikan alasan pula untuk memilih pimpinan wakil
daerah," kata saya. Romo langsung merespons: "Kalau itu dianggap
lucu, sampeyan ikut menghina lembaga negara. Bagaimana mungkin keputusan yang
menyangkut negara dan bangsa sampai salah ketik? Memangnya selesai diketik
langsung diteken hakim agung tanpa dibaca berulang-ulang? Memangnya tukang
ketik itu tamatan sekolah dasar? Omong kosong semuanya, ini kesengajaan.
Kalau itu kekeliruan, harus diganjar dengan sanksi. Jika perlu, tukang ketik
dan tukang tekennya dipecat."
Saya diam. Romo memang betul
berubah. Kesannya jadi pemarah, bukan lagi humoris. "Sampeyan pikir
lagi, keputusan MA mencabut tata tertib dan memberlakukan tata tertib lama di
mana jabatan pimpinan wakil daerah itu tetap lima tahun. Tapi ini dilabrak
dan tetap memilih pimpinan yang baru. Eh, kenapa MA mau melantiknya pula?
Kan, artinya menelan ludah sendiri. Memang enak ludah itu ditelan?"
"Romo, MA bukan melantik,
tapi menuntun pengambilan sumpah," kata saya. "Apa bedanya? Itu kan
alasan dibuat-buat karena dihujani kritik," Romo cepat membalas.
"Ayo buat survei, tanya masyarakat, apa tahu bedanya MA melantik
pimpinan lembaga negara dengan MA menuntun sumpah? Baru pertama kali ini ada
istilah menuntun sumpah. Sumpah kok dituntun, memangnya yang menuntun itu
sudah tahu ke arah mana perjalanan sumpah? Pendeta atau ulama yang
mendampingi orang yang disumpah saja dinyatakan sebagai saksi, bukan
penuntun."
Saya kira Romo betul-betul
berubah, sepertinya tak ada sisa humornya. "Kalau begitu, prediksinya
siapa yang menang di DPD ini, Romo?" tanya saya. Romo menjawab kalem:
"Mungkin para ketua partai itu. Ketua DPR kan ketua umum partai, ketua
MPR juga ketua umum partai, DPD kenapa tidak? Tinggal ketua umum partai
lainnya dicarikan tempat yang layak." Romo terbahak-bahak.
"Nah, lucu dong, Romo bisa
tertawa," kata saya. Romo berhenti tertawa: "Saat ini orang tertawa
bukan karena ada yang lucu, tapi menertawakan sebuah kebodohan." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar