Menanti
Artidjo’s Effect
Aradila Caesar Ifmaini Idris ; Peneliti Hukum Indonesia
Corruption Watch
|
MEDIA
INDONESIA, 05 April 2017
HADIRNYA
pengadilan tipikor bukan tanpa alasan. Selain alasan teknis yang berkaitan
dengan kekhususan tindak pidana korupsi, pengadilan tipikor hadir dengan
menanggung beban tercapainya keadilan bagi korban korupsi. Penanganan perkara
korupsi memiliki dimensi luas yang tidak hanya berfokus pada pelaku dan upaya
menghukum pelaku, tetapi juga menghadirkan rasa keadilan bagi masyarakat pada
umumnya sebagai korban dari kejahatan korupsi. Pengadilan tipikor yang
menyandang status pengadilan khusus tentu membawa implikasi yang serius dalam
banyak hal. Salah satunya berimplikasi pula terhadap putusan yang dihasilkan
pengadilan tipikor. Putusan pengadilan tipikor harus mengandung tiga dimensi
utama. Pertama, keadilan bagi korban secara luas. Kedua, keadilan bagi
terdakwa. Ketiga berkontribusi langsung terhadap upaya pemberantasan korupsi.
Indonesia
Corruption Watch mencatat selama 5 tahun terakhir pengadilan tipikor
menunjukkan fenomena kecenderungan menjatuhkan hukuman ringan bagi pelaku
korupsi. Setiap tahunnya hukuman pidana penjara 1 tahun hingga 1 tahun 6
bulan penjara menjadi pilihan favorit bagi pengadilan tipikor dalam
menjatuhkan hukuman. Selain rendahnya hukuman bagi pelaku, pengadilan tipikor
kurang berani menjatuhkan hukuman pidana denda yang berat bagi pelaku. Hal
ini seakan telah menjadi praktik kebiasaan di pengadilan tipikor untuk
menjatuhkan hukuman pidana penjara dan denda yang ringan bagi pelaku. Belum
lagi jika dilihat dari fakta, tidak semua pelaku korupsi dibebani tanggung
jawab pembayaran uang pengganti.
Kondisi
ini cukup berbeda dengan yang terjadi di MA. Hakim Artidjo Alkostar dkk
sering kali memperberat hukuman bagi pelaku korupsi. Fenomena penjatuhan
hukuman berat yang dilakukan Hakim Artidjo dan kolega di MA diharapkan mampu
menular ke hakim-hakim di pengadilan tipikor atau biasa dikenal dengan
sebutan Artidjo’s effect. Namun pada kenyataannya, praktik pemberatan hukuman
bagi pelaku korupsi yang dilakukan Hakim Artidjo dan kolega tidak menjadi
preseden bagi hakim pengadilan tipikor. Hampir tidak ada hakim pengadilan
tipikor yang menduplikasi semangat itu dan menjatuhkan hukuman yang lebih
berat bagi pelaku korupsi. Mustahil bagi MA jika hanya berharap pada efek
putusan Artidjo untuk dapat mengubah kondisi penjatuhan hukuman ringan bagi
pelaku korupsi. Perlu ada terobosan yang mampu mendorong hakim pengadilan
tipikor untuk menjatuhkan hukuman lebih berat kepada pelaku korupsi. Dorongan
itu setidaknya dapat dilakukan dengan memformulasikan pedoman pemidanaan bagi
hakim pengadilan tipikor.
Formulasi
pedoman pemidanaan bagi hakim pengadilan tipikor merupakan hak yang cukup
mendesak karena praktik penjatuhan hukuman ringan bagi pelaku korupsi sudah
berlangsung bertahun-tahun. Selain itu, ketiadaan pedoman pemidanaan
menempatkan hakim pengadilan tipikor dalam ruang diskresi yang sangat luas
dalam menjatuhkan hukuman bagi pelaku. Tidak ada rambu-rambu yang dapat
dipakai untuk membatasi diskresi hakim yang teralu luas. Pada praktiknya
ketiadaan pedoman pemidanaan dalam perkara korupsi justru melahirkan
persoalan baru. Indonesia Corruption Watch mencatat tingginya disparitas
pemidanaan sebagai hasil dari ketiadaan pedoman pemidanaan. Sering kali
ditemukan perkara yang memiliki kesamaan tapi sangat berbeda dari segi
hukuman yang dijatuhkan. Ketiadaan pedoman pemidanaan pada akhirnya berujung
pada tidak tercapainya keadilan baik bagi pelaku maupun masyarakat sebagai
korban korupsi. Yang penting untuk dicatat ialah keberadaan pedoman
pemidanaan bukanlah bertujuan mengesampingkan atau menghilangkan independensi
hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara. Pedoman pemidanaan dalam perkara
korupsi tetap memberikan ruang bagi hakim dalam mempraktikkan independensi
dan kemandiriannya dalam menjatuhkan hukuman bagi pelaku. Pedoman pemidanaan
hanya dijadikan rambu-rambu bagi hakim dan menjaga agar independensi hakim
tidak bersifat abusif.
Pekerjaan rumah pemerintah
Persoalan
hukuman ringan juga tidak terlepas dari pengaturan ancaman hukuman pasal
korupsi dalam UU Tipikor. Pemerintah dalam hal ini harus melakukan evaluasi
secara menyeluruh terhadap pelaksanaan UU Tipikor. Hal ini sekaligus
bertujuan menguji apakah upaya pemberantasan korupsi melalui penegakan hukum
sudah berjalan efektif dan berdampak optimal terhadap kerja pemberantasan
korupsi secara keseluruhan. Evaluasi pemerintah harus difokuskan pada
penjatuhan hukuman bagi pelaku korupsi dan efektivitas penjatuhannya. Apakah
penjatuhan hukuman bagi pelaku korupsi membawa dampak langsung terhadap upaya
pemberantasan korupsi. Selain itu, pemerintah perlu menimbang kembali kondisi
pemberantasan korupsi dewasa ini. Perlu ada penyesuaian terhadap beberapa
ketentuan dalam Undang-Undang Tipikor agar sesuai dengan perkembangan politik
hukum Indonesia.
Salah
satunya terkait dengan pengaturan Pasal dan Pasal 3 UU Tipikor. Dalam
praktiknya pengaturan kedua pasal itu menimbulkan persoalan pelik karena
ketentuan hukuman dalam Pasal 3 bagi pelaku yang merupakan penyelenggara
negara jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan ketentuan Pasal 2 yang
ditujukan secara lebih umum. Penyesuaian terhadap hukuman dalam kedua pasal
itu juga perlu mempertimbangkan aspek besarnya diskresi hakim. Karena itu,
perubahan UU Tipikor harus pula memperkecil ruang diskresi hakim dalam
menjatuhkan hukuman. Ke depan, diskresi itu harus pula sejalan dengan pedoman
pemidanaan perkara korupsi. Dengan begitu, upaya mencapai putusan yang
memiliki dimensi keadilan bagi pelaku, masyarakat sebagai korban dan
berdampak pada pemberantasan korupsi dapat tercapai. Pada akhirnya hukuman
ringan bagi pelaku korupsi tentu tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat
dan terlebih lagi tidak memberikan dampak positif terhadap upaya
pemberantasannya. Hal ini merupakan ancaman serius bagi eksistensi pengadilan
tipikor. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar