Jumat, 07 April 2017

Menanti Artidjo’s Effect

Menanti Artidjo’s Effect
Aradila Caesar Ifmaini Idris  ;  Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch
                                              MEDIA INDONESIA, 05 April 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

HADIRNYA pengadilan tipikor bukan tanpa alasan. Selain alasan teknis yang berkaitan dengan kekhususan tindak pidana korupsi, pengadilan tipikor hadir dengan menanggung beban tercapainya keadilan bagi korban korupsi. Penanganan perkara korupsi memiliki dimensi luas yang tidak hanya berfokus pada pelaku dan upaya menghukum pelaku, tetapi juga menghadirkan rasa keadilan bagi masyarakat pada umumnya sebagai korban dari kejahatan korupsi. Pengadilan tipikor yang menyandang status pengadilan khusus tentu membawa implikasi yang serius dalam banyak hal. Salah satunya berimplikasi pula terhadap putusan yang dihasilkan pengadilan tipikor. Putusan pengadilan tipikor harus mengandung tiga dimensi utama. Pertama, keadilan bagi korban secara luas. Kedua, keadilan bagi terdakwa. Ketiga berkontribusi langsung terhadap upaya pemberantasan korupsi.

Indonesia Corruption Watch mencatat selama 5 tahun terakhir pengadilan tipikor menunjukkan fenomena kecenderungan menjatuhkan hukuman ringan bagi pelaku korupsi. Setiap tahunnya hukuman pidana penjara 1 tahun hingga 1 tahun 6 bulan penjara menjadi pilihan favorit bagi pengadilan tipikor dalam menjatuhkan hukuman. Selain rendahnya hukuman bagi pelaku, pengadilan tipikor kurang berani menjatuhkan hukuman pidana denda yang berat bagi pelaku. Hal ini seakan telah menjadi praktik kebiasaan di pengadilan tipikor untuk menjatuhkan hukuman pidana penjara dan denda yang ringan bagi pelaku. Belum lagi jika dilihat dari fakta, tidak semua pelaku korupsi dibebani tanggung jawab pembayaran uang pengganti.

Kondisi ini cukup berbeda dengan yang terjadi di MA. Hakim Artidjo Alkostar dkk sering kali memperberat hukuman bagi pelaku korupsi. Fenomena penjatuhan hukuman berat yang dilakukan Hakim Artidjo dan kolega di MA diharapkan mampu menular ke hakim-hakim di pengadilan tipikor atau biasa dikenal dengan sebutan Artidjo’s effect. Namun pada kenyataannya, praktik pemberatan hukuman bagi pelaku korupsi yang dilakukan Hakim Artidjo dan kolega tidak menjadi preseden bagi hakim pengadilan tipikor. Hampir tidak ada hakim pengadilan tipikor yang menduplikasi semangat itu dan menjatuhkan hukuman yang lebih berat bagi pelaku korupsi. Mustahil bagi MA jika hanya berharap pada efek putusan Artidjo untuk dapat mengubah kondisi penjatuhan hukuman ringan bagi pelaku korupsi. Perlu ada terobosan yang mampu mendorong hakim pengadilan tipikor untuk menjatuhkan hukuman lebih berat kepada pelaku korupsi. Dorongan itu setidaknya dapat dilakukan dengan memformulasikan pedoman pemidanaan bagi hakim pengadilan tipikor.

Formulasi pedoman pemidanaan bagi hakim pengadilan tipikor merupakan hak yang cukup mendesak karena praktik penjatuhan hukuman ringan bagi pelaku korupsi sudah berlangsung bertahun-tahun. Selain itu, ketiadaan pedoman pemidanaan menempatkan hakim pengadilan tipikor dalam ruang diskresi yang sangat luas dalam menjatuhkan hukuman bagi pelaku. Tidak ada rambu-rambu yang dapat dipakai untuk membatasi diskresi hakim yang teralu luas. Pada praktiknya ketiadaan pedoman pemidanaan dalam perkara korupsi justru melahirkan persoalan baru. Indonesia Corruption Watch mencatat tingginya disparitas pemidanaan sebagai hasil dari ketiadaan pedoman pemidanaan. Sering kali ditemukan perkara yang memiliki kesamaan tapi sangat berbeda dari segi hukuman yang dijatuhkan. Ketiadaan pedoman pemidanaan pada akhirnya berujung pada tidak tercapainya keadilan baik bagi pelaku maupun masyarakat sebagai korban korupsi. Yang penting untuk dicatat ialah keberadaan pedoman pemidanaan bukanlah bertujuan mengesampingkan atau menghilangkan independensi hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara. Pedoman pemidanaan dalam perkara korupsi tetap memberikan ruang bagi hakim dalam mempraktikkan independensi dan kemandiriannya dalam menjatuhkan hukuman bagi pelaku. Pedoman pemidanaan hanya dijadikan rambu-rambu bagi hakim dan menjaga agar independensi hakim tidak bersifat abusif.

Pekerjaan rumah pemerintah

Persoalan hukuman ringan juga tidak terlepas dari pengaturan ancaman hukuman pasal korupsi dalam UU Tipikor. Pemerintah dalam hal ini harus melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap pelaksanaan UU Tipikor. Hal ini sekaligus bertujuan menguji apakah upaya pemberantasan korupsi melalui penegakan hukum sudah berjalan efektif dan berdampak optimal terhadap kerja pemberantasan korupsi secara keseluruhan. Evaluasi pemerintah harus difokuskan pada penjatuhan hukuman bagi pelaku korupsi dan efektivitas penjatuhannya. Apakah penjatuhan hukuman bagi pelaku korupsi membawa dampak langsung terhadap upaya pemberantasan korupsi. Selain itu, pemerintah perlu menimbang kembali kondisi pemberantasan korupsi dewasa ini. Perlu ada penyesuaian terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Tipikor agar sesuai dengan perkembangan politik hukum Indonesia.

Salah satunya terkait dengan pengaturan Pasal dan Pasal 3 UU Tipikor. Dalam praktiknya pengaturan kedua pasal itu menimbulkan persoalan pelik karena ketentuan hukuman dalam Pasal 3 bagi pelaku yang merupakan penyelenggara negara jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan ketentuan Pasal 2 yang ditujukan secara lebih umum. Penyesuaian terhadap hukuman dalam kedua pasal itu juga perlu mempertimbangkan aspek besarnya diskresi hakim. Karena itu, perubahan UU Tipikor harus pula memperkecil ruang diskresi hakim dalam menjatuhkan hukuman. Ke depan, diskresi itu harus pula sejalan dengan pedoman pemidanaan perkara korupsi. Dengan begitu, upaya mencapai putusan yang memiliki dimensi keadilan bagi pelaku, masyarakat sebagai korban dan berdampak pada pemberantasan korupsi dapat tercapai. Pada akhirnya hukuman ringan bagi pelaku korupsi tentu tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat dan terlebih lagi tidak memberikan dampak positif terhadap upaya pemberantasannya. Hal ini merupakan ancaman serius bagi eksistensi pengadilan tipikor. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar