Kamis, 13 April 2017

Renungan Paskah Pemimpin yang Melayani

Renungan Paskah Pemimpin yang Melayani
Aloys Budi Purnomo  ;   Rohaniwan;
Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang
                                              MEDIA INDONESIA, 13 April 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

MASYARAKAT kita sedang dicabik-cabik peperangan, permusuhan, dan kekerasan. Kondisi sosial-politik kita terluka karena meluasnya individualisme yang memecah belah satu terhadap yang lain. Tak sedikit figur publik sosial-politik kita menjadi ganas, sinis, korup, dan mengejar kesejahteraan pribadi, bukan kesejahteraan umum. Perpecahan muncul dalam komunitas masyarakat, keluarga, dan bertetangga hanya karena perbedaan aspirasi politik. Kehidupan bertetangga dan berteman di masyarakat dan di tempat bekerja berubah menjadi permusuhan hanya karena iri hati, cemburu, dan dendam, bahkan di antara kelompok seagama sekalipun. Kelompok yang satu dan lainnya saling bermusuhan hanya demi kekuasaan, gengsi, kesenangan, dan keterjaminan ekonomi sesaat. Eksklusivisme menyingkirkan inklusivisme. Kepentingan politik mengubah persahabatan menjadi permusuhan bahkan dengan ujaran-ujaran kebencian.

Lebih parah lagi, yang terlibat dalam luka akibat perpecahan menjadi sulit untuk mengampuni dan membangun rekonsiliasi. Sungguh mengerikan menyaksikan betapa kelompok tertentu membenarkan berbagai bentuk permusuhan, perpecahan, fitnah, pencemaran nama baik, dendam, iri hati, dan hasrat memaksakan kehendak. Bahkan, itu dilakukan dengan menghalalkan segala cara dan penganiayaan baik secara verbal maupun faktual. Dalam situasi dan kondisi ini, kita membutuhkan pemimpin-pemimpin yang mampu melayani dengan hati, bukan pemimpin yang penuh dengan janji bahkan sekadar meraih kekuasaan. Apalagi disertai dengan arogansi manis di bibir lain di hati. Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang memiliki kasih kepada sesama, bukan pemimpin yang dikuasai sikap dendam kesumat, apalagi hanya demi memuaskan syahwat pejabat jahat yang ujung-ujungnya hanya akan mengabaikan rakyat! Nafsu akan kekuasaan, apalagi dengan menghalalkan segala cara, tak akan pernah menjadikan seseorang menjadi pemimpin yang melayani rakyat.

Nafsu akan kekuasaan biasanya berkelindan dengan nafsu akan kekayaan yang bertentangan dengan citra pemimpin sebagai pelayan. Paskah menjadi momentum untuk memohon kepada Tuhan agar membantu kita memiliki pemimpin yang melayani dan memahami hukum kasih. Atas nama hukum kasih kepada Allah dan kepada sesama, Yesus rela wafat untuk mendamaikan kita. Ia bahkan mendoakan orang-orang yang menyalibkan-Nya dan memohonkan pengampunan bagi mereka yang membunuh-Nya. Ia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani, bahkan menyerahkan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang. Pemimpin yang melayani tidak akan membangun tembok pemisah antarsesama, tidak pula mendengungkan permusuhan dan perpecahan. Fakta historis yang tak dapat disangkal dalam kehidupan Yesus sebagai pemimpin yang melayani ialah bahwa Ia rela bergaul dengan siapa saja, tak hanya dengan kelompok tertentu. Secara sosial, Ia bercampur dengan para pengemis, pemungut cukai, dan pelacur, bahkan para pendusta. Dalam sejarah pelayanan-Nya, bahkan hingga kematian dan kebangkitan-Nya, Yesus dengan tegas bahkan keras melawan semua bentuk nafsu akan kekuasaan dan kekayaan.

Bahkan, Yesus memandang nafsu itu sebagai sebuah struktur kejahatan. Penolakan-Nya terhadap struktur kejahatan itu membuat diri-Nya harus mengalami penolakan bahkan pembunuhan pada peristiwa salib. Ia menghayati hukum kasih yang diajarkan-Nya secara sempurna. Paskah menjadi kesempurnaan hukum kasih itu dengan segala keindahannya. Betapa indahnya masyarakat kita pula, bila kehidupan bersama ditandai dengan semangat saling mengasihi. Kasih terungkap dalam sikap tidak kalah terhadap kejahatan, melainkan mengalahkan kejahatan dengan kebaikan. Kasih mendorong setiap orang, juga seorang pemimpin, untuk tidak jemu-jemu berbuat kebaikan kepada rakyatnya, demi kesejahteraan rakyatnya, juga kendati yang menolak dan berbeda aspirasi politik terhadap dirinya. Komitmen pelayanan bagi masyarakat yang ditopang spirit Paskah dilandasi pada sikap iman bahwa Yesus menumpahkan darah-Nya bagi umat manusia tanpa diskriminasi. Iman yang demikian menghapus setiap keraguan akan kasih tanpa batas yang memulihkan martabat setiap umat manusia, apa pun kelompok, latar belakang sosial, politik, dan keagamaannya. Alih-alih mengobarkan kebencian, dendam, dan permusuhan, pemimpin yang melayani dengan landasan kasih akan mengedepankan kerukunan, keutuhan, persaudaraan, dan keselarasan dalam keberbedaan dan keberagaman. Kasih tanpa diskriminasi senantiasa kontemplatif.

Ia membiarkan dirinya melayani sesama dan rakyat bukan karena sekadar demi kebutuhan, namun terutama karena hasrat membangun peradaban kasih bagi masyarakat yang sejahtera, bermartabat, dan beriman, apa pun agamanya. Pemimpin yang melayani mengidentifikasikan dirinya dengan mereka yang kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel. Dasarnya ialah solidaritas dan belarasa bagi kaum papa dan duafa. Cita-citanya ialah kesejahteraan bersama (bonum commune) yang bermartabat baik dari sisi mental, spiritual, maupun finansial. Ia jauh dari hasrat manipulasi, korupsi, kolusi, dan nepotisme. Keluhuran martabat pribadi manusia dan kesejahteraan umum menjadi motivasi bagi pemimpin yang melayani untuk selalu melawan setiap bentuk korupsi. Semoga Paskah menjadi mementum lahirnya pemimpin-pemimpin yang melayani tanpa diskriminasi. Pemimpin yang melayani dalam akuntabilitas, kredibilitas, dan transparansi yang menyejahterakan hidup bersama! Selamat Paskah 2017!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar