Proteksionisme
Trump dan Kita
Muhamad Chatib Basri ; Guru Besar Tamu Australian National
University, Canberra
|
KOMPAS, 12 April 2017
Pernah ada masa di mana kita, di negara berkembang,
berteriak dengan cemas: perdagangan global hanya menguntungkan negara maju!
Dan, Donald Trump membatalkan kecemasan itu.
Di masa ini yang terjadi justru sebaliknya. Adalah Amerika
Serikat (AS) dan Eropa yang cemas pada globalisasi. Kemenangan Trump sebagai
presiden AS, fenomena Brexit, anti-imigrasi menunjukkan kecemasan dan
perlawanan terhadap globalisasi. Tak berhenti di situ, pertemuan para menteri
keuangan dan gubernur bank sentral G-20 di Jerman, pertengahan Maret 2017,
gagal memperoleh kesepakatan untuk perdagangan dan investasi yang bebas. AS,
yang selama ini menobatkan diri sebagai pemimpin globalisasi, mengambil
posisi berlawanan.
Tentunya terlalu dini menyimpulkan dunia telah menjadi
proteksionis. Namun, kita bisa membaca: iklim untuk kerja sama perdagangan
tak lagi cerah. Menariknya, China dan negara-negara Asia Timur menyerukan
betapa pentingnya globalisasi. Bagaimana kita menjelaskan ini? Apa dampaknya
dan apa yang harus dilakukan ASEAN termasuk Indonesia?
Minggu lalu, di Cebu, Filipina, saya memberikan pandangan
saya kepada para menkeu ASEAN mengenai dampak proteksionisme AS terhadap
ASEAN. Dalam retreat yang dihadiri terbatas oleh 10 menkeu ASEAN, termasuk
Sri Mulyani dari Indonesia, saya menyampaikan risiko dunia memasuki
keseimbangan baru (new normal) jika AS menjadi proteksionis. Dan, ini
membahayakan Asia. Kita tahu, sejarah keberhasilan ekonomi negara Asia Timur,
seperti Jepang, Korea Selatan, China, Singapura, dan Taiwan, adalah sejarah
perdagangan dan industrialisasi.
Perdagangan dan industrialisasi telah mendorong integrasi
ekonomi di kawasan ini. Ini semua dimungkinkan karena perekonomian global
relatif terbuka saat itu. Strategi pembangunan yang menitikberatkan orientasi
ekspor dan industrialisasi dengan jaringan produksi (production network)
telah membawa Asia Timur dan ASEAN menjadi salah satu kawasan dengan
pertumbuhan tertinggi di dunia, sampai saat ini. Sejalan dengan itu, tingkat
kemiskinan juga menurun di Asia.
Langkah antisipasi
Dunia berubah, perekonomian dunia mengalami perlambatan,
begitu juga dengan perdagangan global. Perekonomian China juga mulai memasuki
keseimbangan baru. Dan, di tengah perubahan ini, AS meneriakkan kecemasan
pada globalisasi. Jika benar AS akan menjadi proteksionis, apa dampaknya?
Perhitungan yang dibuat oleh Organisasi Perdagangan Dunia/WTO (2016) dan Bank
Pembangunan Asia/ADB (2015) menunjukkan, sebelum krisis finansial global
(global financial crisis/ GFC), kenaikan pertumbuhan ekonomi global sebanyak
satu kali akan meningkatkan perdagangan global sebanyak 2-3 kali. Namun,
rasio ini menurun menjadi satu kali setelah GFC. Bahkan, dalam tahun 2016,
rasio itu kurang dari satu.
Artinya, perdagangan dunia justru menyusut. Ekonom dari
ADB, Cyn-Young Park (2016), juga menunjukkan bahwa perdagangan di Asia
terfokus pada pola perdagangan barang intermediasi di mana pembeli akhir yang
paling berpengaruh adalah AS. Artinya, jika AS menjadi proteksionis,
perdagangan di internal Asia termasuk ASEAN akan menurun. ASEAN harus
mengantisipasi itu. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan di sini.
Pertama, walaupun dunia memasuki ”new normal”, pertumbuhan
ekonomi di kawasan Asia Timur dan ASEAN masih yang tertinggi di dunia. Ia
masih memiliki potensi untuk terus tumbuh. Sayangnya, ruang untuk itu semakin
terbatas. Kenaikan bunga The Fed akan membuat terbatasnya kebijakan moneter
di ASEAN. Bahkan, apabila kenaikan bunga di AS cukup tajam, maka negara ASEAN
harus menaikkan tingkat bunga. Belajar dari pengalaman Taper Tantrum 2013—di
mana AS berencana melakukan normalisasi kebijakan moneternya dengan mulai
menaikkan bunga—negara-negara ASEAN terlihat lebih siap mengantisipasinya.
Alasannya: defisit transaksi berjalan relatif terjaga saat
ini, begitu juga dengan defisit anggaran. Dan, yang lebih penting lagi,
penyesuaian terhadap arus modal keluar dan nilai tukar sudah terjadi sejak
2013 sehingga dampak yang timbul mungkin akan minimal. Namun, apabila
kenaikan bunga di AS cukup drastis, maka negara-negara ASEAN perlu
mengantisipasi risiko dari arus modal keluar dan tekanan nilai tukar. Dengan
terbatasnya ruang kebijakan moneter, maka peran dari stimulus fiskal menjadi
amat penting. Stimulus fiskal ini tentu tidak hanya terbatas pada peningkatan
volume belanja, tetapi yang paling penting adalah perbaikan kualitas belanja
ke sektor yang produktif.
Kedua, untuk menjaga pertumbuhan, kebijakan fiskal harus
dikombinasikan dengan kebijakan perdagangan dan investasi. Untuk itu,
kelanjutan reformasi struktural dan kerja sama internasional dalam
perdagangan dan investasi menjadi amat penting. Upaya untuk memperbaiki iklim
investasi, deregulasi ekonomi, keterbukaan perdagangan dan investasi melalui
reformasi sepihak (unilateral reform) menjadi kunci. Dan, dalam jangka
menengah dan panjang, produktivitas harus ditingkatkan melalui perbaikan
kualitas sumber daya manusia, infrastruktur, dan tata kelola pemerintahan.
Sayangnya, ini tak mudah.
Unilateral reform adalah opsi yang ideal, tetapi tak mudah
secara politik. Perlambatan ekonomi yang terjadi dan kecenderungan
proteksionisme AS akan menimbulkan tekanan politik kepada pemerintah untuk
juga menjadi proteksionis. Di sisi lain, dorongan reformasi melalui agenda
multilateral juga tak jelas (Bhagwati, Sutherland, Amoako, Baldwin, Basri,
Guth, Puche, Togan, Von Hagen, 2011).
Ketiga, fenomena Brexit, gagalnya dukungan untuk
perdagangan bebas dalam pertemuan G-20 di Jerman, menguatnya sentimen
anti-globalisasi, dan mundurnya AS dari Kemitraan Trans-Pasifik
(Trans-Pacific Partnership/TPP) menunjukkan model generasi pertama
globalisasi—dengan membuka seluas-luasnya hambatan perdagangan untuk barang
dan jasa—ternyata tak mendapatkan dukungan politik yang kuat. Asumsi bahwa
reformasi ekonomi dengan membuka pasar akan diikuti reformasi politik tak
terjadi. Globalisasi gagal memberikan manfaat yang seketika bagi sebagian
besar rakyat. Sukses sebuah reformasi kerap tak bergantung pada baik atau
buruknya agenda reformasi, tapi pada dukungan politik untuk membuat reformasi
itu dapat berlanjut.
Dilema reformasi ekonomi adalah pengorbanan harus
dilakukan seketika, sedangkan manfaatnya baru dirasakan dalam jangka panjang.
Untuk itu, perlu quick wins atau cerita sukses yang manfaatnya dapat
dirasakan rakyat seketika. Reformasi yang hanya terfokus isu jangka panjang,
tanpa memperhatikan siklus politik, akan sulit mendapat dukungan politik.
Masa tak mudah
Keempat, dalam retreat para menkeu ASEAN itu, saya
menyampaikan pentingnya mengidentifikasi kerja sama kawasan yang dapat
diterima secara politik dan bermanfaat secara ekonomi. Lebih penting lagi,
kerja sama ini harus memberikan dampak yang dapat dirasakan sebagian besar
rakyat sehingga dukungan politik kepada para pemimpin untuk melakukan kerja
sama regional cukup kuat. Dengan itu, kelangsungan kerja sama kawasan dapat
dijaga. Saya melihat bahwa kerja sama dalam infrastruktur atau konektivitas
adalah pilihan yang baik.
Begitu juga dalam meningkatkan SDM. Sebagian besar negara
ASEAN membutuhkan infrastruktur, dan semua negara di ASEAN paham pentingnya
konektivitas. Selain itu, keberhasilan kerja sama ASEAN juga akan bergantung
pada kepemimpinan Indonesia sebagai negara terbesar. Dan, kita tahu,
infrastruktur dan konektivitas adalah agenda utama Pemerintah Indonesia saat
ini. Dengan demikian, Indonesia dapat membuat agenda ini menjadi agenda
ASEAN, sekaligus mengambil inisiatif kepemimpinan di ASEAN.
Infrastruktur dapat dijadikan agenda awal bersama, setelah
itu baru masuk ke agenda lebih sensitif. Itu sebabnya, mekanisme kerja sama
regional harus bertahap. Berangkat dari target yang rendah, dan setelah
sukses, mulai meningkat ke arah kerja sama yang lebih kompleks.
Mekanisme pembahasan pun perlu diubah. Saya ingat diskusi
saya dengan Dani Rodrik di Harvard University beberapa waktu lalu. Ia
menyebut perlunya menyelamatkan globalisasi dari desakan para pendukung
fanatiknya, yang menginginkan agar kebijakan sebuah negara harus menyesuaikan
diri dengan kepentingan global. Rodrik menyebut hal ini tak mungkin secara
politik. Justru jika dipaksakan, perlawanan terhadap globalisasi terjadi.
Dan, ia benar. Karena itu, ia mengusulkan bahwa dalam globalisasi tetap diberikan
ruang bagi kebijakan nasional untuk melindungi kepentingan masing-masing
negara. Artinya, globalisasi harus berjalan dalam kendala politik yang ada.
Kelima, dalam kaitan inilah saya melihat Kemitraan Ekonomi
Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP)
merupakan salah satu opsi penting yang perlu dipertimbangkan. Kita tahu, TPP
praktis berakhir ketika AS memutuskan menarik diri dari kesepakatan itu.
Dengan itu, maka RCEP adalah salah satu opsi yang tersedia. Apabila dilihat
dari segi karakteristik baik RCEP dan TPP mencakup lebih dari sepertiga PDB
global, dan hampir sepertiga perdagangan global. Artinya RCEP merupakan opsi
yang menarik dari segi cakupannya. Bahkan, RCEP mencakup 48 persen penduduk
dunia, sementara TPP 11 persen (Pangestu dan Armstrong).
Pangestu dan Armstrong (2016) menunjukkan bahwa RCEP
adalah kerangka yang dinamis (on going
framework), yang membuka ruang bagi pembicaraan perdagangan dan investasi
secara bertahap. Memang ada risiko bahwa proses negosiasi menjadi terlalu
lama. Namun, dalam situasi politik seperti ini, pendekatan ini justru akan
lebih efektif untuk membangun kembali kepercayaan pada kerja sama
internasional. Tak kalah penting, ASEAN harus mampu memainkan peran
geopolitiknya, dengan menjaga keseimbangan antara China, Jepang, dan India.
Di sinilah RCEP menjadi penting karena ia menekankan pentingnya sentralitas
ASEAN. Dan, karena RCEP adalah inisiatif Indonesia, anggapan bahwa ini adalah
agenda China dapat ditepis.
Saya tahu, ini masa-masa tak mudah. Masa di mana
globalisasi harus tetap berjalan dalam kendala politik yang ada. Masa di mana
kita perlu menyelamatkan globalisasi dari para pendukungnya. How to save globalization from its
cheerleaders, begitu kata Rodrik. Saya kira, dia benar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar