Kamis, 13 April 2017

Proteksionisme Trump dan Kita

Proteksionisme Trump dan Kita
Muhamad Chatib Basri  ;   Guru Besar Tamu Australian National University, Canberra
                                                        KOMPAS, 12 April 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pernah ada masa di mana kita, di negara berkembang, berteriak dengan cemas: perdagangan global hanya menguntungkan negara maju! Dan, Donald Trump membatalkan kecemasan itu.

Di masa ini yang terjadi justru sebaliknya. Adalah Amerika Serikat (AS) dan Eropa yang cemas pada globalisasi. Kemenangan Trump sebagai presiden AS, fenomena Brexit, anti-imigrasi menunjukkan kecemasan dan perlawanan terhadap globalisasi. Tak berhenti di situ, pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G-20 di Jerman, pertengahan Maret 2017, gagal memperoleh kesepakatan untuk perdagangan dan investasi yang bebas. AS, yang selama ini menobatkan diri sebagai pemimpin globalisasi, mengambil posisi berlawanan.

Tentunya terlalu dini menyimpulkan dunia telah menjadi proteksionis. Namun, kita bisa membaca: iklim untuk kerja sama perdagangan tak lagi cerah. Menariknya, China dan negara-negara Asia Timur menyerukan betapa pentingnya globalisasi. Bagaimana kita menjelaskan ini? Apa dampaknya dan apa yang harus dilakukan ASEAN termasuk Indonesia?

Minggu lalu, di Cebu, Filipina, saya memberikan pandangan saya kepada para menkeu ASEAN mengenai dampak proteksionisme AS terhadap ASEAN. Dalam retreat yang dihadiri terbatas oleh 10 menkeu ASEAN, termasuk Sri Mulyani dari Indonesia, saya menyampaikan risiko dunia memasuki keseimbangan baru (new normal) jika AS menjadi proteksionis. Dan, ini membahayakan Asia. Kita tahu, sejarah keberhasilan ekonomi negara Asia Timur, seperti Jepang, Korea Selatan, China, Singapura, dan Taiwan, adalah sejarah perdagangan dan industrialisasi.

Perdagangan dan industrialisasi telah mendorong integrasi ekonomi di kawasan ini. Ini semua dimungkinkan karena perekonomian global relatif terbuka saat itu. Strategi pembangunan yang menitikberatkan orientasi ekspor dan industrialisasi dengan jaringan produksi (production network) telah membawa Asia Timur dan ASEAN menjadi salah satu kawasan dengan pertumbuhan tertinggi di dunia, sampai saat ini. Sejalan dengan itu, tingkat kemiskinan juga menurun di Asia.

Langkah antisipasi

Dunia berubah, perekonomian dunia mengalami perlambatan, begitu juga dengan perdagangan global. Perekonomian China juga mulai memasuki keseimbangan baru. Dan, di tengah perubahan ini, AS meneriakkan kecemasan pada globalisasi. Jika benar AS akan menjadi proteksionis, apa dampaknya? Perhitungan yang dibuat oleh Organisasi Perdagangan Dunia/WTO (2016) dan Bank Pembangunan Asia/ADB (2015) menunjukkan, sebelum krisis finansial global (global financial crisis/ GFC), kenaikan pertumbuhan ekonomi global sebanyak satu kali akan meningkatkan perdagangan global sebanyak 2-3 kali. Namun, rasio ini menurun menjadi satu kali setelah GFC. Bahkan, dalam tahun 2016, rasio itu kurang dari satu.

Artinya, perdagangan dunia justru menyusut. Ekonom dari ADB, Cyn-Young Park (2016), juga menunjukkan bahwa perdagangan di Asia terfokus pada pola perdagangan barang intermediasi di mana pembeli akhir yang paling berpengaruh adalah AS. Artinya, jika AS menjadi proteksionis, perdagangan di internal Asia termasuk ASEAN akan menurun. ASEAN harus mengantisipasi itu. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan di sini.

Pertama, walaupun dunia memasuki ”new normal”, pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Timur dan ASEAN masih yang tertinggi di dunia. Ia masih memiliki potensi untuk terus tumbuh. Sayangnya, ruang untuk itu semakin terbatas. Kenaikan bunga The Fed akan membuat terbatasnya kebijakan moneter di ASEAN. Bahkan, apabila kenaikan bunga di AS cukup tajam, maka negara ASEAN harus menaikkan tingkat bunga. Belajar dari pengalaman Taper Tantrum 2013—di mana AS berencana melakukan normalisasi kebijakan moneternya dengan mulai menaikkan bunga—negara-negara ASEAN terlihat lebih siap mengantisipasinya.

Alasannya: defisit transaksi berjalan relatif terjaga saat ini, begitu juga dengan defisit anggaran. Dan, yang lebih penting lagi, penyesuaian terhadap arus modal keluar dan nilai tukar sudah terjadi sejak 2013 sehingga dampak yang timbul mungkin akan minimal. Namun, apabila kenaikan bunga di AS cukup drastis, maka negara-negara ASEAN perlu mengantisipasi risiko dari arus modal keluar dan tekanan nilai tukar. Dengan terbatasnya ruang kebijakan moneter, maka peran dari stimulus fiskal menjadi amat penting. Stimulus fiskal ini tentu tidak hanya terbatas pada peningkatan volume belanja, tetapi yang paling penting adalah perbaikan kualitas belanja ke sektor yang produktif.

Kedua, untuk menjaga pertumbuhan, kebijakan fiskal harus dikombinasikan dengan kebijakan perdagangan dan investasi. Untuk itu, kelanjutan reformasi struktural dan kerja sama internasional dalam perdagangan dan investasi menjadi amat penting. Upaya untuk memperbaiki iklim investasi, deregulasi ekonomi, keterbukaan perdagangan dan investasi melalui reformasi sepihak (unilateral reform) menjadi kunci. Dan, dalam jangka menengah dan panjang, produktivitas harus ditingkatkan melalui perbaikan kualitas sumber daya manusia, infrastruktur, dan tata kelola pemerintahan. Sayangnya, ini tak mudah.

Unilateral reform adalah opsi yang ideal, tetapi tak mudah secara politik. Perlambatan ekonomi yang terjadi dan kecenderungan proteksionisme AS akan menimbulkan tekanan politik kepada pemerintah untuk juga menjadi proteksionis. Di sisi lain, dorongan reformasi melalui agenda multilateral juga tak jelas (Bhagwati, Sutherland, Amoako, Baldwin, Basri, Guth, Puche, Togan, Von Hagen, 2011).

Ketiga, fenomena Brexit, gagalnya dukungan untuk perdagangan bebas dalam pertemuan G-20 di Jerman, menguatnya sentimen anti-globalisasi, dan mundurnya AS dari Kemitraan Trans-Pasifik (Trans-Pacific Partnership/TPP) menunjukkan model generasi pertama globalisasi—dengan membuka seluas-luasnya hambatan perdagangan untuk barang dan jasa—ternyata tak mendapatkan dukungan politik yang kuat. Asumsi bahwa reformasi ekonomi dengan membuka pasar akan diikuti reformasi politik tak terjadi. Globalisasi gagal memberikan manfaat yang seketika bagi sebagian besar rakyat. Sukses sebuah reformasi kerap tak bergantung pada baik atau buruknya agenda reformasi, tapi pada dukungan politik untuk membuat reformasi itu dapat berlanjut.

Dilema reformasi ekonomi adalah pengorbanan harus dilakukan seketika, sedangkan manfaatnya baru dirasakan dalam jangka panjang. Untuk itu, perlu quick wins atau cerita sukses yang manfaatnya dapat dirasakan rakyat seketika. Reformasi yang hanya terfokus isu jangka panjang, tanpa memperhatikan siklus politik, akan sulit mendapat dukungan politik.

Masa tak mudah

Keempat, dalam retreat para menkeu ASEAN itu, saya menyampaikan pentingnya mengidentifikasi kerja sama kawasan yang dapat diterima secara politik dan bermanfaat secara ekonomi. Lebih penting lagi, kerja sama ini harus memberikan dampak yang dapat dirasakan sebagian besar rakyat sehingga dukungan politik kepada para pemimpin untuk melakukan kerja sama regional cukup kuat. Dengan itu, kelangsungan kerja sama kawasan dapat dijaga. Saya melihat bahwa kerja sama dalam infrastruktur atau konektivitas adalah pilihan yang baik.

Begitu juga dalam meningkatkan SDM. Sebagian besar negara ASEAN membutuhkan infrastruktur, dan semua negara di ASEAN paham pentingnya konektivitas. Selain itu, keberhasilan kerja sama ASEAN juga akan bergantung pada kepemimpinan Indonesia sebagai negara terbesar. Dan, kita tahu, infrastruktur dan konektivitas adalah agenda utama Pemerintah Indonesia saat ini. Dengan demikian, Indonesia dapat membuat agenda ini menjadi agenda ASEAN, sekaligus mengambil inisiatif kepemimpinan di ASEAN.

Infrastruktur dapat dijadikan agenda awal bersama, setelah itu baru masuk ke agenda lebih sensitif. Itu sebabnya, mekanisme kerja sama regional harus bertahap. Berangkat dari target yang rendah, dan setelah sukses, mulai meningkat ke arah kerja sama yang lebih kompleks.

Mekanisme pembahasan pun perlu diubah. Saya ingat diskusi saya dengan Dani Rodrik di Harvard University beberapa waktu lalu. Ia menyebut perlunya menyelamatkan globalisasi dari desakan para pendukung fanatiknya, yang menginginkan agar kebijakan sebuah negara harus menyesuaikan diri dengan kepentingan global. Rodrik menyebut hal ini tak mungkin secara politik. Justru jika dipaksakan, perlawanan terhadap globalisasi terjadi. Dan, ia benar. Karena itu, ia mengusulkan bahwa dalam globalisasi tetap diberikan ruang bagi kebijakan nasional untuk melindungi kepentingan masing-masing negara. Artinya, globalisasi harus berjalan dalam kendala politik yang ada.

Kelima, dalam kaitan inilah saya melihat Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP) merupakan salah satu opsi penting yang perlu dipertimbangkan. Kita tahu, TPP praktis berakhir ketika AS memutuskan menarik diri dari kesepakatan itu. Dengan itu, maka RCEP adalah salah satu opsi yang tersedia. Apabila dilihat dari segi karakteristik baik RCEP dan TPP mencakup lebih dari sepertiga PDB global, dan hampir sepertiga perdagangan global. Artinya RCEP merupakan opsi yang menarik dari segi cakupannya. Bahkan, RCEP mencakup 48 persen penduduk dunia, sementara TPP 11 persen (Pangestu dan Armstrong).

Pangestu dan Armstrong (2016) menunjukkan bahwa RCEP adalah kerangka yang dinamis (on going framework), yang membuka ruang bagi pembicaraan perdagangan dan investasi secara bertahap. Memang ada risiko bahwa proses negosiasi menjadi terlalu lama. Namun, dalam situasi politik seperti ini, pendekatan ini justru akan lebih efektif untuk membangun kembali kepercayaan pada kerja sama internasional. Tak kalah penting, ASEAN harus mampu memainkan peran geopolitiknya, dengan menjaga keseimbangan antara China, Jepang, dan India. Di sinilah RCEP menjadi penting karena ia menekankan pentingnya sentralitas ASEAN. Dan, karena RCEP adalah inisiatif Indonesia, anggapan bahwa ini adalah agenda China dapat ditepis.

Saya tahu, ini masa-masa tak mudah. Masa di mana globalisasi harus tetap berjalan dalam kendala politik yang ada. Masa di mana kita perlu menyelamatkan globalisasi dari para pendukungnya. How to save globalization from its cheerleaders, begitu kata Rodrik. Saya kira, dia benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar