Reformasi
Keuangan Partai
Heroik Mutaqin Pratama ; Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan
Demokrasi
|
KOMPAS, 11 April 2017
Disebutnya sejumlah nama anggota partai politik yang
diduga terlibat skandal korupsi KTP elektronik menjadi momentum untuk
menyegerakan penataan ulang sistem keuangan partai politik.
Selain faktor perilaku, mahalnya biaya politik dan
keterbatasan pendanaan partai disinyalir menjadi latar belakang banyaknya
anggota partai politik terlibat praktik pencarian dana gelap.
Sebagai institusi demokrasi, partai politik memang
membutuhkan uang untuk menjalankan berbagai fungsinya, seperti kaderisasi,
pendidikan politik, agregasi dan artikulasi kepentingan, serta kampanye.
Paling tidak terdapat dua jenis belanja partai. Pertama, belanja
pengorganisasian partai di mana uang dipergunakan untuk memenuhi aktivitas
organisasi di luar kampanye, seperti kesekretariatan, sewa kantor, rapat
rutin, kunjungan ke daerah, dan kongres. Kedua, belanja kampanye, yakni uang
yang dipergunakan untuk pemenangan partai di pemilu, mulai dari biaya
pemasaran politik, iklan di media massa, cetak baliho, poster, hingga stiker.
Tiga sumber penerimaan
Untuk memenuhi dua jenis belanja ini, UU No 2/2011 tentang
partai mengatur tiga sumber utama penerimaan partai. Pertama, iuran anggota.
Sumber penerimaan ini sepenuhnya menjadi otonomi internal partai politik
untuk mengatur besaran, termasuk waktu pemungutannya. Namun, iuran anggota
biasanya hanya berlaku bagi anggota partai politik yang menduduki kursi legislatif
ataupun eksekutif melalui mekanisme potong gaji. Sedangkan kader partai biasa
relatif tidak berjalan.
Kedua, sumbangan yang sah menurut hukum, baik perseorangan
maupun badan usaha memang dapat dijadikan sumber penerimaan potensial bagi
partai politik untuk memenuhi segala kebutuhannya. Akan tetapi, mekanisme ini
memiliki efek samping yang mengganggu otonomi internal partai jika dijadikan
sumber utama penerimaan. Hal ini karena partai politik akan dibuat bergantung
pada perseorangan atau badan usaha si penyumbang hingga pada akhirnya seorang
penyumbang diberikan ruang untuk mengintervensi kebijakan-kebijakan partai.
Ketiga, bantuan keuangan negara. Bersumber pada APBN dan
APBD, bantuan keuangan negara terhadap partai politik diprioritaskan untuk
melaksanakan pendidikan politik bagi anggota partai. Namun, PP No 5/2009
tentang bantuan keuangan partai politik menjelaskan, selain untuk pendidikan
politik, dapat digunakan pula untuk memenuhi kebutuhan operasional partai.
Bantuan ini hanya diberikan bagi partai politik yang
memperoleh kursi DPR dan DPRD yang besarannya dihitung berdasarkan perolehan
suara partai. Untuk partai politik yang meraih kursi DPR, misalnya, berhak
memperoleh Rp 108 per suara. Jika merujuk pada kajian yang dilakukan oleh
Perludem (2011), diperkirakan bantuan keuangan negara hanya mampu memenuhi
1,32 persen kebutuhan partai per tahun. Tidak heran kemudian terdapat
berbagai cara yang dilakukan oleh anggota partai untuk mencari dana di luar
tiga sumber penerimaan yang sudah diatur.
Meningkatkan bantuan negara
Melihat realitas ini, reformasi keuangan partai menjadi
suatu keniscayaan untuk dilakukan. Salah satu caranya dengan meningkatkan
bantuan keuangan negara kepada partai politik. Terdapat tiga keuntungan yang
dapat diperoleh dari ditingkatkannya bantuan negara. Pertama, mampu
meminimalkan praktik pencarian dana-dana ilegal yang dilakukan oleh anggota
partai politik sehingga anggota partai politik yang duduk di kursi legislatif
dan eksekutif dapat fokus untuk meningkatkan kualitas kerjaannya sebagai
wakil rakyat.
Kedua, peningkatan bantuan negara mampu menjaga
kemandirian partai politik sekaligus mengembalikan kedaulatan partai ke
tangan anggota partai. Akibat dari keterbatasan anggaran, parpol terpaksa
membuka ruang bagi kalangan pemodal untuk berpartisipasi aktif menyumbang.
Hingga pada akhirnya partai politik dikuasai oleh segelintir elite semata.
Dengan ditambahnya besaran bantuan keuangan negara terhadap parpol, sedikit
banyak menjadi filter masuknya oligark ke tubuh partai politik sekaligus
mengikis ketergantungan partai terhadap pemodal.
Ketiga, peningkatan bantuan keuangan negara terhadap
partai dapat mengembalikan partai politik dari organisasi privat menjadi
organisasi publik. Selama ini partai politik seakan-akan menjadi organisasi
privat yang bertugas memenuhi kehendaknya sendiri. Padahal, partai politik
memiliki fungsi publik untuk melayani masyarakat, seperti agregasi dan
artikulasi kepentingan publik dalam bingkai kebijakan publik pro rakyat.
Dengan ditambahnya bantuan negara terhadap partai paling tidak dapat
meningkatkan tanggung jawab partai politik terhadap publik karena uang yang
diperolehnya berasal dari publik.
Meski demikian, bukan berarti seluruh kebutuhan partai
dibiayai negara, melainkan disesuaikan secara proporsional dengan kebutuhan
partai politik. Hasil kajian KPK, misalnya, mengusulkan peningkatan bantuan
keuangan negara terhadap partai politik secara proporsional dan bertahap
selama 10 tahun dengan besaran bantuan 50 persen dari kebutuhan partai.
Namun, besaran ini dikhawatirkan dapat membuat partai
semakin bergantung kepada negara dan mengikis sumber penerimaan yang berasal
dari iuran anggota yang sebetulnya patut untuk ditingkatkan kembali. Untuk
itu paling tidak negara dapat meningkatkan bantuan keuangan terhadap partai
30 persen dari kebutuhan partai.
Peningkatan ini dilakukan secara bertahap dan wajib
berjalan beriringan dengan transparansi dan akuntabilitas pelaporan keuangan.
Hal ini karena uang yang diterima oleh partai politik berasal dari negara
yang diperoleh dari publik juga. Maka, logikanya publik berhak mengetahui
dipergunakan untuk apa saja uang tersebut. Dengan demikian, setiap laporan
keuangan partai wajib untuk diaudit dan jika didapati ketidaksesuaian berhak
dikenakan sanksi, seperti pengurangan besaran bantuan keuangan negara di
tahun berikutnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar