Minggu, 02 April 2017

Proporsionalitas Kursi Parpol di DPR

Proporsionalitas Kursi Parpol di DPR
Heroik Mutaqin Pratama  ;   Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
                                                        KOMPAS, 29 Maret 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Menambah jumlah kursi DPR menjadi salah satu wacana yang mencuat dalam RUU Pemilu. Fraksi Partai Gerindra, misalnya, mengusulkan penambahan 10 kursi dari 560 menjadi 570. Sementara Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa mengusulkan 619 kursi.

Munculnya daerah pemekaran baru dan tidak setaranya antara jumlah anggota DPR dan jumlah penduduk menjadi dua alasan yang melatarbelakangi munculnya wacana ini.

Akar pangkat tiga

Rein Tageepara dalam teorinya, the cube root of population,menawarkan rumus matematis akar pangkat tiga dari jumlah penduduk dalam menentukan jumlah kursi DPR.

Jika merujuk pada formula hitung ini, maka dari 237.556.363 jumlah penduduk di Indonesia hasil sensus tahun 2010, seharusnya terdapat 619 kursi DPR, bukan 560 kursi.

Meski demikian, rumus akar pangkat tiga bukanlah satu-satunya tolok ukur utama untuk menentukan jumlah kursi anggota legislatif di suatu negara. Terdapat banyak faktor di luar angka matematis yang menjadi indikator tertentu, seperti konteks sejarah, besarnya negara, geografis, jumlah wilayah administrasi, ataupun konsensus tertentu pembuat undang-undang.

Hal itu bisa dibuktikan dari banyaknya negara yang jumlah kursi dengan jumlah penduduknya tidak sesuai dengan akar pangkat tiga.

Berdasar studi yang dilakukan The Ace Electoral Knowledge Network (www.aceproject.org), dari 111 negara, hanya Norwegia yang jumlah penduduk dan jumlah kursi DPR sesuai dengan akar pangkat tiga. Selebihnya ada yang kurang dan ada juga yang melebihi hasil akar pangkat tiga.

India, misalnya, jika menggunakan rumus akar pangkat tiga dari 1.169.850.000 jumlah penduduk di India, maka seharusnya kursi lok sbha atau DPR di India 1.054 bukan 552.

Begitu pula Amerika Serikat. Seharusnya terdapat 552 kursi di house of representatives,bukan 435. Akan tetapi, berdasarkan konstitusi AS 1911, penentuan jumlah kursi ditetapkan berdasarkan fixed seat.Mengubah jumlah kursi DPR di AS harus melalui amandemen konstitusi.

Pada sisi lain, terdapat pula kursi DPR yang jumlahnya melebihi hasil akar pangkat tiga. Jerman, misalnya, akar pangkat tiga dari 82.002.000 penduduk di Jerman adalah 434 kursi. Realitasnya Jerman mengalokasikan kursi DPR 622.

Italia pun demikian. Jika dihitung menggunakan rumus Tageepara, seharusnya jumlah kursi DPR di Italia sebanyak 392, bukan 630 kursi, sehingga terdapat 238 kursi DPR berlebih di Italia.

Realokasi kursi

Di tengah banyak negara memiliki caranya masing-masing selain akar pangkat tiga. Dalam konteks Indonesia, menambah jumlah kursi DPR sesuai akar pangkat tiga tidaklah relevan. Itu akan menambah beban anggaran negara yang tentunya berseberangan dengan semangat efisiensi dan efektivitas. Jauh dari itu, proporsionalitas alokasi kursi DPR ke provinsi sendiri masih belum terjamin.

Pada Pemilu 2014 alokasi kursi ke provinsi serta batasan-batasan daerah pemilihan sudah ditentukan dalam UU No 8/2012. Di bawah mekanisme fixed seat ini, distribusi jumlah kursi DPR ke masing-masing provinsi tidak setara dengan jumlah penduduk di provinsi. Padahal, proporsionalitas jumlah kursi ke provinsi menjadi suatu keniscayaan dalam sistem pemilu proporsional.

Alhasil terdapat beberapa daerah yang mengalami jumlah kursi berlebih atau over representated dan terdapat juga provinsi yang kekurangan kursi alias under representated. Hal ini berdasarkan hasil hitung ulang yang dilakukan oleh Perludem dengan menggunakan formula kuota hare atau yang lebih dikenal dengan bilangan pembagi pemilih, serta basis data kependudukan sensus di tahun 2010. Terdapat delapan provinsi yang kekurangan kursi dan sembilan provinsi memperoleh kursi berlebih, sedangkan sisanya setara antara jumlah penduduk dan kursi.

Sebagai contoh Provinsi Kepulauan Riau dengan jumlah penduduk 1.685.698 berhak memperoleh empat kursi DPR. Tetapi, UU No 8/2012 hanya mengalokasikan tiga kursi. Implikasinya satu kursi DPR di Provinsi Kepulauan Riau setara dengan 561.899 jumlah penduduk di Kepri. Padahal, rata-rata nasional satu kursi DPR hanya 405.335 penduduk. Berbeda dengan Kalimantan Selatan yang memperoleh kursi berlebih.

Dari 3.626.119 penduduk di Kalimantan Selatan, seharusnya Kalsel memperoleh delapan kursi DPR. Akan tetapi, UU Pemilu Legislatif menetapkan 11 kursi yang berarti satu kursi DPR di Kalsel untuk 329.647 penduduk.

Dari sinilah kemudian realokasi kursi DPR ke provinsi secara proporsional berdasarkan one person, one vote, one value jauh lebih utama dibandingkan dengan menambah jumlah kursi.

Selain menjaga kesetaraan representasi antar-provinsi, penataan ulang jumlah kursi dapat mempermudah kerja anggota DPR yang selama ini memiliki cakupan wilayah dapil luas dan jumlah konstituen yang banyak. Jika diredistribusi ulang, dapat meningkatkan kedekatan wakil rakyat dengan rakyatnya.

Dari kursi berlebih

Lalu, bagaimana dengan daerah pemekaran baru? Provinsi Kalimantan Utara dapat memperoleh kursi dari provinsi yang memperoleh kursi berlebih. Begitu pula dengan WNI di luar negeri yang selama ini kursinya digabung dengan DKI Jakarta. Padahal, persoalan dan kebutuhan WNI di luar negeri tidaklah sama dengan dalam negeri. Sudah sepatutnya dialokasikan kursi khusus dapil luar negeri.

Adapun mekanisme untuk menata ulang kursi ini sebaiknya jumlah kursi di setiap dapil tidak lagi menjadi lampiran UU, tetapi diserahkan ke KPU dan UU untuk mengatur prinsip pengalokasian dan pembentukannya seperti kesetaraan penduduk, integralitas, dan kohesivitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar