Prananda,
Puan, atau yang Lain?
Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 08 April 2017
Ketua Umum PDI-P Megawati
Soekarnoputri tiba-tiba mengeluarkan pernyataan yang mengernyitkan dahi.
Dalam pidato peresmian Kantor DPP Banteng Muda di Jakarta, Kamis (30/4),
Megawati yang baru saja genap berusia 70 tahun mengungkapkan keinginan
pensiun dari dunia politik. Dengan kata lain, Megawati membuka kemungkinan
mengundurkan diri dari jabatan ketua umum partai sebelum kongres yang dijadwalkan
tahun 2020.
Barangkali pernyataan itu cuma
pelampiasan dari kegundahan sesaat, sekadar ingin mengetes pasar politik.
Namun, bisa juga hal serius karena Megawati sudah terlada Pemilu 2014. Ia gagal menjadi
presiden dalam pemilihan di MPR 1999, menggantikan Abdurrahman Wahid sebagai
presiden 2001-2004, dan dua kali mencalonkan diri sebagai presiden, yaitu
pada 2004 dan 2009.
Pasang-surut, naik-turun, dan
suka-duka politik telah ia lalui dalam waktu panjang. Wajar jika tiba-tiba ia
merasa jenuh sekalipun jalan terjal perjuangan masih menghadang. Betul atau
tidak ia akan mengundurkan diri, baik dengan tiba-tiba maupun di kongres
2020, ini jadi sinyal bagi semua pengurus PDI-P untuk mengantisipasinya.
Namun, rasanya mustahil Megawati
mengundurkan diri karena ia akan menunggu kongres tahun 2020. Lagi pula PDI-P
sampai detik ini adem ayem saja, belum dilanda ”konflik internal” antara
hidup dan mati sampai mengganggu partai. Apalagi, Megawati sebagai ketua umum
periode 2010-2015 terbilang sukses memenangi Pemilu 2014 dan, khususnya,
Pilpres 2014 yang diadakan secara langsung sejak 2004.
Bayangkan, setelah 10 tahun jadi
oposisi, PDI-P memenangi Pemilu 2014 walau masih jauh di bawah target 27
persen suara. Kader partai, Joko Widodo, terpilih sebagai presiden. Dalam
masa keemasan PDI-P ini, Megawati dipandang sebagai tokoh politik paling
berpengaruh di republik ini.
Megawati mustahil mengundurkan
diri karena akar rumput tidak akan bergerak membangkang atau patuh selain
pada saat kongres saja. Telah terbukti pada empat kali kongres, Megawati
terpilih secara aklamasi. Suka atau tidak, akar rumput tetap meyakini warisan
Soekarnoisme masih terpatri pada sosok putri tertuanya itu.
Terlepas dari ”cerita-cerita
sukses” tersebut, kondisi kekinian PDI-P tidaklah imun dari berbagai masalah
yang dapat menyuramkan masa depan partai. Setelah Taufiq Kiemas tutup usia 8
Juni 2013, hilang sudah sosok politisi/aktivis ulung yang pragmatis sekaligus
kompromistis, yang, seperti peselancar, piawai meniti buih. Dalam sepak bola,
Taufiq Kiemas ibarat playmaker yang mengotaki pertandingan.
Betul Megawati memang lebih
leluasa menjalankan roda day-to-day politics. Namun, juga ada kerugian besar
karena ketiadaan sang suami yang terbiasa berperan sebagai the devil’s
advocate. Para pengurus DPP cenderung sungkan kepada Megawati, hanya satu-dua
yang nyaris seusia dia yang ”berani bicara”, misalnya Emir Moeis.
Rasa sungkan terhadap Megawati
terbilang wajar karena hubungan yang bersifat patron-client (bapak-anak buah)
berhubung perbedaan usia yang cukup jauh. Namun, kelemahan ini cukup
tertutupi oleh fakta bahwa tak sedikit kader di luar trah yang mumpuni,
seperti Sekjen Hasto Kristiyanto dan Wasekjen Utut Adianto. Belum lagi yang
berkiprah di birokrasi, seperti Mendagri Tjahjo Kumolo dan Wakil Ketua KEIN
Arif Budimanta.
Bahwa trah Soekarno yang harus
melanjutkan kepemimpinan partai, itu mungkin benar. Di lain pihak, estafet kepemimpinan
dinasti partai politik di dunia ini, termasuk di Indonesia, memang cukup
kompleks. Sebagian pemilih yang pejah gesang nderek Gusti mengharapkan
semacam hasil ”fotokopi” yang mendekati sosok tulen Soekarno pada anak
ataupun cucunya.
Padahal, mustahil mengharapkan
kedatangan ”Soekarno baru” dari trah tersebut. Politik kita makin hari makin
membumi dan makin mudah dikelola, antara lain dengan menyesuaikan diri dengan
selera pasar/pemilih. Dalam konteks itu, mungkin tidak sulit memasarkan
produk dinasti, seperti Puan Maharani dan Prananda Prabowo.
Masalahnya, mereka mungkin belum
maksimal memanfaatkan peluang untuk muncul. Megawati adalah orang yang
sungkan berbicara secara terbuka dalam soal ini, lebih suka membimbing dari
belakang sembari mengamati dari kejauhan. Ia mungkin juga masih menjaga
perasaan kader-kader lain karena politik dinasti kadang masih dipandang
dengan sinis.
PDI-P, seperti halnya partai lain,
merupakan korporasi (bukan lagi sekadar partai politik) yang sudah berjalan
sesuai lajur ideologi, program, dan aksi nyata. Cepat atau lambat, masalah
regenerasi kepemimpinan merupakan keniscayaan yang harus diantisipasi. Apakah
Puan atau Prananda yang disiapkan PDI-P untuk menggantikan ibu mereka atau
barangkali kader ideologis lainnya, itu akan jadi debat menarik untuk diikuti
secara saksama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar