Pemimpin
Keteladanan
Asep Salahudin ; Wakil Rektor I IAILM Pesantren Suryalaya;
Ketua Lakpesdam PWNU Jawa Barat
|
KOMPAS, 31 Maret 2017
Defisit keteladanan, inilah yang sering terjadi dalam
politik kepemimpinan kita. Keteladanan acap kali absen dalam diri sang
pemimpin sehingga nyaris ritus demokrasi lima tahunan hanya menghasilkan kaum
penguasa, bukan negarawan. Hanya melahirkan mental menak, bukan para
pemimpinyang siap berkhidmat untuk masyarakat.
Peristiwa bancakan anggaran KTP elektronik (KTP-el) yang
dilakukankebanyakan anggota Dewan semakin memastikan bagaimana kaum pemimpin
yang seharusnya memberikan contoh baik justru memanggungkan perilaku
jahiliah. Padahal, harkatseorang pemimpin itu bukan diletakkan pada hebatnya
retorika dan manisnya kata-kata, bukan pada rautmurah senyum, melainkan justru
pada keteladanan itu sendiri, pada satunya kata dengan perbuatan.
Benar yang dibilang WS Rendra, ”perjuangan adalah
pelaksanaan kata-kata”. Perjuangan adalah bagaimana sumpah itu tak menjadi
sampah, janjidapat terbukti, visi dan misi mampu diaksentuasikan menjadi
bagian dari pengalaman politik harian kebangsaan yang mempercepat terwujudnya
negara kesejahteraan. Kata Kong Fu Tse, ”Ciri-ciri orang yang berjiwa besar
ialah menjadi teladan dan kemudian ia minta agar orang-orang lain
mengikutinya.”
Tidak ada yang lebih cepat menular daripada teladan
perbuatan baik diikuti oleh perbuatan baik, sebagaimana perbuatan buruk
beranak pinak menjadi perbuatan buruk pula (Francois de La Rochefoucauld).
Teladan itu merembes ke bawah bukan merangkak ke atas (George Rona);tak ada
yang begitu cepatberjangkit seperti teladan (Charles Kingsley), dalam
kata-kata Nabi Muhammad SAW, ”Lihatlah apa yang diperbuatnya bukan apa yang
dikatakannya” karena ”keteladanan lebih mujarab ketimbang perkataan” (Imam
Ali).
Di sinilah penting menyimak terus riwayat manusia
pergerakan. Bagaimana mereka diterima khalayak dan akhirnya jadi pemimpin
bangsa karena mereka dengan riil memberi teladan tentang hidup sederhana,
kejujuran yang dijadikanhaluan utama kehidupannya, keteguhan dalam memegang
prinsip, selarasnya apa yang digelorakan dengan perilaku keseharian.
Tak sekadar lambang
Bahwa proklamasi yang dibacakanSoekarno-Hatta bukan
sekadar lambang bangsa ini keluar dari sekapan kaum penjajah, melainkan juga
melambangkan sebuah tindakan dari serangkaian wacana yang telah dimatangkan
pada masa sebelumnya. Atas nama keteladanan,mereka tak hanya berani
mengorbankan benda, tetapi juga siap mempertaruhkan nyawanya.
Ini juga kunci utama keberhasilan perubahan sosial yang
dilakukan para pemimpin besar dan para nabi. Model kepemimpinan yang
dikembangkan sangat sederhana, tetapi memiliki daya jelajah perubahandahsyat:
model keteladanan menjadi suluh, menjadi obor yang menerangi semesta.
Nabi Isa tak saja menyerukan risalah cinta damai, tetapi
tubuhnya sendiri juga menyimbolkan diri yang intim menyatu dengan kesantunan.
Nabi Musa bukan hanya mempromosikan keberanian mengukuhi
prinsip kebenaran, melainkan dirinya yang memimpin langsung merobohkan
penguasa tiran Firaun. Nabi Muhammad SAW bukan hanya berkhotbah di masjid
tentang kesederhanaan, beliau sendiri yang mengambil pilihan rumahnya menyatu
dengan masjid, menjahit sendiri pakaiannya, banyak berpuasa, dan tidak pernah
berdusta. Demikian juga Sidarta Gautama yang dengan heroik melepaskan seluruh
takhta kekuasaan demi menyambut terang di bawah pohon bodis dan setelah wahyu
itu diturunkan dengan lantang diserukannya keniscayaan kekuasaan dikelola
lewat cara yang benar dan menjunjung tinggi akal sehat.
Dalam sebuah narasi teologis terungkap bahwa salah satu
yang menjadi penyebab kehancuran Bani Israel sehingga negaranya ditimpa
petakaadalah karena mereka terlampau banyak ”cakap” tetapi lupa bertindak,
terlalu banyak berdiskusi, tetapi alpa menajamkan kepekaan nurani.
Melampaui khotbah
Khotbah keagamaan dan pidato kebangsaan memang penting,
tetapi yang lebih penting bagaimana khotbah itu menginjeksikan kesadaran
kepada seseorang, baik dalam konteks keumatan maupun kebangsaan, untuk
melakukan transformasi sosial menuju karya dan tindakan bermakna. Dari
ortodoksi ke ortopraksi.
Seluruhnya memang bermula dari kata, tetapi kata-kata itu
agar memiliki ”rajah” harus mempunyai kaki tangan berupa kerja, karya, dan
kenyataan. Betul apa yang dibilang Hannah Arendt bahwa hakikat manusia adalah
kerja. Seluruh kegiatan, termasuk kegiatan politik, sosial,dan kebudayaan,
adalah rangkaian kehidupan manusia yang berhubungan dengan praksis.
Menurut Arendt, vita activa terdiri atas
tiga elemen dasar: kerja (labor), karya (work), dan tindakan (action).
Kerja (labor) adalah cara kita melakukan aktivitas setiap hari agar
hidup seperti makan dan minum. Kerja merupakan aktivitas untuk memenuhi hajat
biologis. Karya (work) adalah aktivitas produktif sebagai satu proses
mencapai tujuan material.
Karya, kata Arendt, menciptakan dunia di sekitar kita.
Karya (work) dapat selalu dibedakan dengan kerja (labor).
Tindakan (action) adalah juga aktivitas produktif, tetapi tidak
menyangkut benda, dalam pengertian material. Tindakan adalah apa yang
dilakukan manusia ketika mereka berkomunikasi satu sama lain, memperlakukan
orang lain dengan bijaksana termasuk kesediaan masuk dalam
pengalamanpluralitas, memandang kemajemukan sebagai undangan eksistensial
agar manusia satu sama lain bisa bertindak secara bijak, rasional, dan
memahami filosofi dari kemajemukan. Manusia harus mengorganisasidiri mereka
sendiri dalam tindakan, terutama menyangkut politikyang notabene berhubungan
dengan orang banyak (Benyamin Molan, 2009).
Jika Decartes menyebut berpikir sebagai modus eksistensial
manusia, dalam konteks negara, bukan hanya berhenti sebatas berpikir,
melainkan juga bekerja, ”aku bekerja, maka aku ada”. Bekerja menjadialasan
utama di balik kehadiran manusia. Wilfred Cantwell Smith menulis,”Keyakinan
eksistensial merupakan kesanggupan untuk hidup pada suatu level yang
melampaui godaan materi dan kesenangan duniawi, kemampuan masuk dalam aras
transenden. Ucapan, perbuatan, dan tindakan mencerminkan saluran suci epifani
ilahi.”
Pemimpin dan atau calon pemimpin berhentilah bicara dan
berwacana.Istirahatkan kata-kata, simpan kalimat rayuan gombal, bekerjalah
dengan intim dan sepenuh jiwa.Tegas dan bertindaklah sesuai kapasitas.
Berikan rakyat keteladanan. Saatnya keteladanan berbicara dan menjadi pandu
yang tampil di muka.
Kita tidak membutuhkan sama sekali kerumunan pemimpin
berwajah dasamuka, memburu citra, dan hanya cakap mengobral kata-kata yang
dianggit dari kitab partisan yang sarat kepentingan kelompok. Pemimpin harus
memastikan kehadirannya dengan bekerja. Bekerja benar, ikhlas, jujur, rasional,
dan tidak korup. Setelah itu, tanpa diminta, segenap warga akan memberikan
dukungan sepenuh jiwa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar