Energi
Politik KPK
Halili ; Pengajar Ilmu Politik di Universitas Negeri
Yogyakarta;
Peneliti di Setara Institute for
Democracy and Peace
|
KOMPAS, 31 Maret 2017
Pengungkapan kasus megakorupsi KTP-el yang diduga
melibatkan nama-nama besar politisi, pejabat negara, dan mantan pejabat telah
dibuka oleh KPK. Lembaga anti rasuah kini berutang kepada publik ihwal
penuntasannya.
Melihat begitu banyaknya politisi yang diduga terlibat
dalam kasus KTP-el, penulis menduga, bukan perkara mudah bagi KPK untuk
membongkar kasus ini hingga ke akar-akarnya dan menyeret semua pelakunya ke
kursi panas pengadilan tindak pidana korupsi.
KPK membutuhkan suplemen energi politik dalam menuntaskan
kasus korupsi yang melibatkan nama-nama kakap dari kelompok pelaku ”paus”.
Politik kekuasaan
KPK harus belajar dari kegagalan penuntasan kasus korupsi
oleh kepolisian pada kasus mafia hukum dan korupsi pajak pada tahun 2010
dengan aktor sentral Gayus Tambunan. Pengungkapan kasus Gayus tidak
betul-betul tuntas dan hingga kini menyisakan berbagai tanda tanya yang tidak
dapat dijawab.
Mengapa Gayus hanya dijerat dengan kasus PT SAT dengan
kerugian negara ”hanya” Rp 571 juta, padahal pangkal kasus ini adalah
kepemilikan rekening Rp 28 miliar dan deposito Rp 75 miliar oleh Gayus yang
tidak sesuai dengan profil pendapatannya sebagai PNS golongan III dan diduga
berasal dari korupsi pajak? Mengapa penegak hukum tidak menjerat Gayus dengan
penggelapan pajak yang melibatkan tiga perusahaan besar yang dalam kesaksian
Gayus di persidangan diakui sebagai sumber dari kepemilikan rekening Rp 28
miliar tersebut? Mengapa sebagian besar nama-nama kakap penegak hukum hanya
diproses melalui mekanisme administratif, padahal mereka nyata-nyata disebut
Gayus menjadi bagian dari tindak pidana korupsi dan mafia hukum di mana dia
menjadi salah satu simpul di dalamnya?
Jawaban kuncinya, sebab kasus Gayus bersilang-sengkarut
dengan politik kekuasaan saat itu. Pada akhirnya, kepolisian dan kejaksaan
”tunduk” pada kekuatan-kekuatan besar politik.
Selain itu, pimpinan dan penyidik KPK saat ini juga harus
mengambil pelajaran dari pengungkapan kasus Hambalang oleh KPK era
kepemimpinan sebelumnya. Korupsi yang menurut data BPK merugikan negara Rp
706 miliar tersebut telah menyeret para politisi kunci bahkan menteri dari
partai penguasa saat itu, yaitu Partai Demokrat.
Meski demikian, penetapan tersangka Ketua Umum Partai
Demokrat Anas Urbaningrum sebagai katup penutup kasus Hambalang diwarnai
kegaduhan politik. Bermula dari rilis hasil survei Saiful Mujani Research and
Consulting (3/2/2013) yang menempatkan elektabilitas Partai Demokrat di angka
8,3 persen, para politisi senior Demokrat di Kabinet Indonesia Bersatu jilid
II ”mengadu” kepada Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI sekaligus Ketua
Dewan Pembina dan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat.
Dari Jeddah, Presiden kemudian secara khusus meminta KPK
untuk segera menyelesaikan kasus Hambalang yang menyeret kader-kader Partai
Demokrat, termasuk Anas (Kompas, 23/2/2013).
Tensi politik ”kasus Anas” menguat setelah SBY mengambil
alih kewenangan Anas sebagai Ketua Umum Demokrat. Melalui tangan Majelis
Tinggi, SBY mendahului ”takdir” penetapan tersangka oleh KPK. Pada konferensi
pers tanggal 8 Februari 2013, SBY mengindikasikan bahwa tidak lama lagi Anas
akan ditetapkan sebagai tersangka.
Kuatnya energi politik ”kasus Anas” kemudian terjustifikasi
dengan peristiwa sangat tidak biasa di KPK, yaitu bocornya draf surat
perintah penyidikan (sprindik) yang menyebut status Anas sebagai tersangka.
Kegaduhan pemberantasan kasus korupsi proyek Hambalang
memakan ”korban” politik pada Pemilu 2014. Demokrat meluncur menjadi partai
medioker dengan perolehan suara 10,19 persen, dari sebelumnya 20,85 persen
suara dan memenangi Pemilu 2009.
Energi politik
Terdapat dua pelajaran penting dari kasus Gayus dan
Hambalang. Pertama, politik kekuasaan tidak pernah secara tulus memberikan
energi positif bagi pemberantasan korupsi.
Kedua, kegaduhan penuntasan kasus korupsi akan memberikan
referensi valid bagi rakyat untuk menghukum parpol yang terlibat dalam
penggarongan kekayaan negara.
Dalam konteks itu, KPK mestinya tidak surut selangkah pun
dengan kekuasaan politik dalam penuntasan megakorupsi KTP-el. Betul,
”ancaman” untuk merevisi UU KPK mengindikasikan kuatnya energi politik kontra
KPK.
Namun, dukungan publik akan selalu menjadi anti tesis bagi
politik kekuasaan yang menghambat pemberantasan korupsi. Pada kasus Cicak
versus Buaya I dan II terlihat nyata betapa energi politik rakyat kepada KPK
bak samudra yang tak pernah mengering.
Energi politik pemberantasan korupsi bagi KPK sejatinya
selalu bersumber dari rakyat, bukan dari politik kekuasaan. Jadi, KPK tidak
perlu berkecil hati meskipun silaturahim politik Presiden Joko Widodo dengan
presiden periode 2004-2014 SBY tidak menjadikan megakorupsi KTP sebagai isu
aktual yang penting untuk dibicarakan. Begitu pula ketika tidak tampak
dukungan politik nyata bagi penuntasan kasus korupsi ”berjemaah” KTP-el dari
pertemuan pimpinan lembaga-lembaga negara di istana.
Sejarah perjalanan institusi anti korupsi sebelum KPK
mengajarkan bahwa politik kekuasaan rezim memang tidak pernah memberikan
dukungan sejati bagi lembaga pemberantas korupsi. Yang terjadi justru
sebaliknya, berupaya melemahkan dan membubarkannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar