IPM
dan Kutukan Bonus Demografi
Agus Wibowo ; Pengelola
Jurnal Pendidikan Ekonomi dan Bisnis;
Dosen
Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 10 April 2017
UNITED Nations Development Programme (UNDP, 2017)
baru-baru ini merilis data yang mengkhawatirkan kita bersama. Menurut UNDP,
peringkat indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia merosot tajam, dari
peringkat 110 ke 113 dari 188 negara yang disurvei. Laporan UNDP sekaligus
menempatkan Indonesia dalam kategori pembangunan manusia tingkat menengah
atau stagnan dari kategori tahun sebelumnya. Merosotnya IPM Indonesia
mestinya segera ditanggapi serius oleh pemerintah. Perlu langkah-langkah
strategis memulihkan posisi IPM Indonesia, apalagi menjelang masa panen bonus
demografi. Jika hanya ditanggapi sebagai angin lalu, bahkan tidak diikuti
langkah-langkah strategis, bukan tidak mungkin bonus demografi justru menjadi
'kutukan'.
Berdasarkan data yang dirilis Badan Kependudukan PBB
(UNFPA, 2015), Indonesia bakal memanen puncak bonus demografi pada kurun
waktu 2028-2035. UNFPA juga menyebut pada puncak bonus demografi itu akan
tersedia lebih dari 65 juta tenaga kerja muda produktif usia 15-29 tahun.
Jumlah terbesar bahkan sejak Indonesia merdeka. Bapenas (2014) juga menyebut bonus
demografi ini merupakan karunia yang tak ternilai. Itu jika pemerintah mampu
mengelolanya dengan baik, terutama melalui investasi pendidikan yang efektif.
Pemerintah akan menuai keuntungan dari berbagai aspek, seperti aspek ekonomi,
sosial, dan tentu saja SDM-nya. Produktivitas negara dan pertumbuhan ekonomi
akan meningkat dengan limpahan SDM yang terserap di berbagai sektor, terutama
ekonomi kreatif. Sementara itu, kesejahteraan masyarakat pun membaik sebagai
akibat melimpahnya penduduk usia kerja.
Bonus demografi, tulis Mason (2015), akan menjadi berkah
jika pemerintah Indonesia sigap dan cakap mengelola investasi pendidikan anak
bangsa. Tentu saja pendidikan yang berkualitas, merata, dan terjangkau oleh
segenap anak bangsa tanpa terkecuali. Tidak ada jurang antara si kaya dan si
miskin; semua mendapat kesetaraan dalam mengakses pendidikan. Kesempatan yang
terbuka lebar serta pendidikan berbasis forward looking ini, simpul Mason,
akan menghasilkan SDM Indonesia yang terampil, kompeten, berkualitas, dan
mampu menyiasati peluang dengan baik. Sebaliknya, jika pemerintah setengah
hati mempersiapkan investasi pendidikan, menurut Mason, akan terjadi musibah
bahkan kutukan dari bonus demografi itu. Akan melimpah SDM di Indonesia yang
rendah kompetensi dan tidak mampu menyiasati peluang yang ada. Mereka akan
menambah jumlah angka pengangguran, yang tidak urung menimbulkan problem
sosial pelik dan rumit.
Jurang kesenjangan
Apakah rekomendasi Mason itu dilaksanakan dengan baik oleh
pemerintah sebagai stakeholder pendidikan? Tampaknya belum. Data yang dirilis
badan pendidikan PBB UNICEF (2015) menyebutkan hampir setengah dari anggaran
pendidikan di Indonesia hanya dinikmati sekitar 10% penduduk. Hal itu berarti
kesempatan mengakses pendidikan bagi anak-anak miskin di Indonesia sangat
sedikit. UNICEF juga sampai pada kesimpulan bahwa anggaran pendidikan lebih
banyak dinikmati golongan menengah ke atas. Sekitar 20% murid yang kaya
menerima 18 kali lebih banyak aneka fasilitas sumber daya jika dibandingkan dengan
20% mereka yang miskin. Bahkan, anak laki-laki kaya lebih sering mendapat
akses pendidikan lebih ketimbang lawan jenisnya. Itu merata terjadi tidak
hanya di perdesaan, tetapi juga di perkotaan. Temuan UNICEF semakin diperkuat
dengan data yang dirilis Bank Dunia setahun lalu. Bank Dunia mencatat
ketimpangan pendidikan di Indonesia ini dipicu rendahnya angka partisipasi
pendidikan masyarakat dan tingkat pendidikan.
Ketimpangan pendidikan di Indonesia, tulis Bank Dunia,
bahkan setara dengan Uganda, Ethiopia, dan beberapa negera miskin di Eropa
lainnya. Menguatkan temuan Digdowiseiso (2009), ketimpangan pendidikan di
Indonesia menurut Bank Dunia juga bertalian erat dengan ketimpangan ekonomi.
Bank Dunia menyebut hanya 1% rumah tangga (sekitar 2,5 juta orang) menguasai
lebih dari 50,3% kekayaan Indonesia. Jika asumsi kisaran diperlebar, 10%
orang menguasai 70% kekayaan bumi Indonesia. Ketimpangan di bidang ekonomi
dan pendidikan ini jauh di bawah Rusia (1:66,2%), bahkan Thailand yang hanya
1:50,5% kekayaan nasional. Badan Pusat Statistik (BPS) setahun lalu merilis
data sebanyak 4,9 juta anak miskin di Indonesia belum mampu mengakses
pendidikan. Mereka tidak mendapatkan kemudahan akses pendidikan bukan hanya
karena kemiskinan, tetapi juga faktor tinggal di daerah yang secara geografis
sulit atau terpaksa bekerja. Selain itu, jika angka partisipasi murni (APM)
berdasarkan provinsi 2016, di DKI Jakarta saja hanya 68% (Kemendikbud 2016),
bagaimana dengan daerah lainnya? Di negeri ini, tulis Agus Wibowo (2015), orang
miskin dalam konteks tertentu terus dipelihara. Mereka merupakan komuditas
jualan yang laris bagi elite politik negeri ini. Orang miskin begitu
diagung-agungkan, entah dalam pemilihan umum legislatif, pemilihan presiden
(pilpres), pemilihan bupati/wali kota, maupun pemilihan lurah.
Akan tetapi, ketika sang kandidat sudah berhasil meraih
kursi kekuasaan, dan proses politik berakhir, orang miskin kembali pada
penderitaan mereka. Di satu sisi, komersialisasi pendidikan semakin tak
terbendung. Tidak hanya di jenjang perguruan tinggi, di level dasar dan
menengah, pendidikan kita semakin mahal tak terjangkau. Jika investasi dana
yang mahal itu berbanding lurus dengan kualitas pendidikan, tentu tidak
masalah. Yang terjadi justru masyarakat sudah mengeluarkan dana tidak
sedikit, tetapi garansi kualitas pendidikan mengecewakan. Singkat kata,
pendidikan kita lebih sering mahal tetapi murah kualitas. Turunnya IPM
Indonesia, meski menurut pemerintah disebabkan banyak hal, yang nyata ialah
pembatasan akses. Masyarakat miskin terbatasi akses, sedangkan di sisi lain
komersialisasi pendidikan meningkat tajam. Ketika pendidikan sudah
mengutamakan bisnis dan komersialisasi, roh pedagogis akan tergerus habis
sehingga konsep membangun karakter semakin kabur. Bahkan, fondasi pembangun
kualitas jati diri bangsa seperti hakikat kemanusiaan, akal budi, dan
humanisasi tidak dilakukan secara afektif, tetapi sekadar kognitif. Fenomena
demikian jelas akan membuat IPM semakin melorot dan bukan tidak mungkin
terjun bebas.
Sinergi semua pihak
Guna memperbaiki bahkan meningkatkan IPM, sudah saatnya
pemerintah melakukan beberapa strategi efektif. Salah satunya dengan membuka
luas akses dan pemerataan pendidikan bagi seluruh anak bangsa secara adil.
Pemerataan pendidikan meliputi paling tidak pada persamaan kesempatan,
aksesbilitas, dan keadilan atau kewajaran. Persamaan kesempatan mengandung
maksud setiap anak bangsa memiliki peluang yang sama mengakses pendidikan
sebagaimana diatur dalam UU No 2/1989; UUD Pasal 30/1945. Aksesbilitas memberikan
kesempatan semua anak bangsa memiliki akses pendidikan yang sama, pada semua
jenis, jenjang, dan jalur pendidikan. Mereka yang berasal dari desa memiliki
akses pendidikan yang sama dengan yang tinggal di perkotaan. Demikian halnya
dengan mereka yang tinggal di kawasan terpencil. Selama ini, disparitas
struktur ekonomi sosial menyebabkan aksestabilitas yang tidak sama.
Masyarakat daerah perkotaan bisa lebih mudah mengakses pendidikan ketimbang
mereka yang berada di desa; lebih-lebih daerah kepulauan dan terpencil.
Menurut Sairin Hasbulah (2017), IPM kita bisa didongkrak naik jika program
pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) efektif dilaksanakan.
Tingginya angka ketimpangan di Indonesia dapat berdampak
pada nilai IPM yang lebih rendah. Singkatnya, semakin tinggi angka
ketimpangan, semakin rendah nilai IPM dengan penyesuaian ketimpangan.
Presiden Jokowi, kata Sairin Hasbulah, telah menekankan fokus pemerintah
tahun ini ialah mengatasi ketimpangan. Ini sangat tepat dan menunjukkan
keberpihakan pemerintah pada mereka yang lemah. Presiden Jokowi bahkan tidak
ingin sekadar menaikkan indeks pembangunan manusia saja, tetapi juga
memastikan bahwa setiap kenaikan IPM mampu menjangkau seluruh penduduk dan
keluarga Indonesia benar-benar mengalami peningkatan kualitas dan merasakan
manfaat pembangunan manusia. Program Indonesia Pintar melalui pendistribusian
dan pemanfaatan kartu Indonesia pintar (KIP) merupakan salah satu bentuk
upaya pemerintah untuk meningkatkan rata-rata lamanya sekolah dan menekan
angka dropout. Program KIP akan efektif, tentu saja jika didukung dan terjadi
sinergi segenap elemen bangsa. Pemerintah sebaiknya juga menambah jumlah anak
yang mendapat bantuan KIP setelah mendapat kucuran dana tambahan dari
pengalihan dana subsidi BBM dan efektivitas penggunaan pendapatan negara
lainnya.
Sekali lagi, seberapa besar keefektifan PIP sangat
bergantung pada kerja sama semua pihak. Untuk itu, sinergi pendataan di
daerah mutlak dilakukan, seperti dinas sosial, dinas kesehatan dan dinas
pendidikan dan kebudayan. Sementara itu, DPRD bisa melakukan pengawasan atas
implementasi pendataan ataupun validitas data yang dihasilkan. Dengan
demikian, kehadiran DPRD bisa dirasakan masyarakat, bukan hanya
memanfaatkannya ketika hajatan demokrasi lima tahun saja. Akhirnya, kita
tidak ingin bonus demografi yang sebentar lagi di panen menjadi kutukan
bangsa ini. Sebuah kutukan yang SDM-nya melimpah ruah, tetapi mereka
berkualitas rendah, bahkan tidak mampu bersaing. SDM demikian akan menambah
angka pengangguran, yang tidak urung menimbulkan persoalan sosial baru dan
rumit. Maka, mendesak bagi pemerintah untuk melakukan langkah-langkah efektif
mempersempit jurang kesenjangan serta membuka lebar akses pendidikan bagi
seluruh anak bangsa. Melalui strategi tersebut diharapkan, jurang kesenjangan
pendidikan tidak membentang lebar. Ini menjadi penting mengingat dalam
hitungan tahun bonus demografi akan segera dipanen bangsa ini.
Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar