Agar
Demokrasi Lokal Naik Kelas
Turunan Gulo ; Komisioner KPU Sumatera Utara 2003-2013;
Peneliti di Politica Institute
|
KOMPAS,
02 Januari 2015
DUET
Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama adalah contoh pemimpin ideal. Sebelum
dicalonkan sebagai pemimpin di DKI Jakarta, keduanya dikenal sebagai ”orang
baik”. Rekam jejak keduanya positif. Mereka memiliki dua modal yang amat
kuat: integritas dan kapabilitas. Pasangan ini pun dicalonkan oleh partai
(PDI-P dan Gerindra) dalam semangat idealisme. Artinya, perekrutan berjalan
tanpa prasyarat mahar yang biasanya mencekik leher. Juga tanpa ikatan janji
ini-itu nantinya kepada parpol pengusungnya—biasanya pos jabatan di
pemerintahan atau aneka proyek yang menggiurkan. Ini artinya, tahap awal ini
berhasil menghadirkan bibit berkualitas tinggi dengan biaya politik murah
meriah.
Menariknya,
meski diusung partai minoritas dan sang kandidat terhitung ”orang luar”,
warga Jakarta justru menunjukkan kecerdasannya. Warga Jakarta menyadari bahwa
merekalah pemilik kedaulatan untuk menentukan sendiri siapa yang akan jadi
pemimpinnya. Jauh hari sebelum memberi suara di tempat pemungutan suara
(TPS), warga Jakarta itu juga berlomba-lomba membantu ”orang baik” itu agar,
sekali lagi, biaya politik mereka jangan membengkak.
Dengan
berbagai cara, warga Jakarta dari beberapa komunitas membantu kampanye sang
kandidat agar dikenal, disukai, dan akhirnya dipilih. Ada pengorban- an
waktu, tenaga, bahkan uang yang tak sedikit dari warga Jakarta. Alhasil, sang
kandidat terhindar dari biaya politik tinggi yang bisa melilit lehernya ke
depan. Momok menakutkan itu berhasil diempaskan oleh energi dan gairah
politik warga.
Penyelenggaraan
pemilu juga berjalan demokratis, jujur, dan adil. Artinya, suara warga
Jakarta berhasil dirawat penyelenggara pemilu yang kredibel dan independen
meski ketika itu yang berkuasa Fauzi Bowo, pesaing berat Jokowi. Warga
Jakarta sukses membangun sejarahnya dengan memenangkan Jokowi-Ahok sebagai
gubernur-wakil gubernur DKI Jakarta pada 2012. Tidak berbeda jauh ketika
warga Amerika Serikat menciptakan sejarahnya pada 2008 dengan melahirkan
Barack Obama sebagai presiden. Ini yang disebut dengan partisipasi politik
yang cerdas dan rasional.
Setelah
terpilih, Jokowi-Ahok bukan berleha-leha. Juga bukan saling cakar berebut kue
kekuasaan. Keduanya bagi tugas. Ada yang gemar blusukan (Jokowi), ada yang
ditugaskan mengendalikan birokrasi dan proyek (Ahok), tanpa curiga di antara
mereka. Kedua tokoh ini langsung tancap gas guna merealisasikan janji
kampanye dengan kerja keras. Pemerintahan mereka efektif.
Dalam
tempo beberapa bulan, warga Jakarta bergumam, ”Oh, ternyata ada gunanya kami
memilih Jokowi-Ahok.” Mereka pemimpin yang dicintai rakyatnya, berhasil
membangun trust dari rakyat, bukan memproduksi kecurigaan, ketakutan, atau
perlawanan dari rakyat. Rakyat percaya bahwa apa yang dikerjakan pemimpinnya
semata-mata untuk kepentingan warganya.
Saya
juga mengamati, parpol pengusung tidak ”merecoki” mereka. Ada semacam
keikhlasan dari petinggi kedua parpol bahwa kedua tokoh ini sudah
”diwakafkan” untuk kemaslahatan umat Jakarta. Janganlah sampai mereka
diintervensi dengan berbagai kepentingan yang bikin mereka linglung bekerja,
bahkan terjebak skandal korupsi.
Penyakit pilkada
Berbagai
hasil studi menunjukkan, efek Jokowi-Ahok mulai menular di sejumlah daerah.
Demokrasi lokal sudah mulai bergairah dengan lahirnya sejumlah pemimpin
inspiratif di sejumlah daerah: Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Wali Kota
Bandung Ridwan Kamil, Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah, dan Gubernur Jawa
Tengah Ganjar Pranowo.
Namun,
tidak berarti tidak banyak masalah di seputar pilkada yang sudah berjalan dua
gelombang ini. Pilkada masih mengidap penyakit serius. Input dan mekanisme
perekrutan adalah penyakit yang kerap berkembang biak di hulu. Dalam banyak
kasus, ada banyak orang baik yang layak dan berminat menjadi pemimpin. Namun,
di tahap pencalonan saja, mereka sudah diperas dengan berbagai biaya ini-itu.
Mereka harus bayar mahar kepada parpol yang tak sedikit di beberapa tingkat.
Pola perekrutannya tidak demokratis, juga berbiaya tinggi. Pertimbangan
kredibilitas dan kapabilitas tak jarang diabaikan parpol pengusung. Biasanya yang
diajukan yang berkantong tebal.
Ketika
kampanye berlangsung, sang kandidat bukannya ditolong warga, malah diperas
dengan sumbangan ini-itu, biaya tim sukses, biaya saksi, bahkan belanja
suara. Dua tahap ini biasanya membuat orang baik sekali pun terjerembap ke
kubangan politik berikutnya. Biaya politik amat mahal, tidak sebanding dengan
penerimaan legalnya kalau terpilih. Di tingkat kabupaten atau kota saja,
pengeluaran bisa Rp 5 miliar-Rp 60 miliar. Bandingkan dengan penerimaan legal
yang sekitar Rp 2 miliar per lima tahun.
Yang
terjadi kemudian, banyak kepala daerah yang terjebak dengan berbagai skandal
penyalahgunaan kewenangan: jabatan diperjualbelikan, proyek yang beragam jadi
sasaran empuk, baik untuk mengembalikan modalnya maupun memakmurkan diri atau
kelompoknya. Kepala daerah dan wakilnya banyak yang berkelahi lantas pecah
kongsi. Maka, komitmen menyejahterakan warga terbengkalai.
Pilkada gelombang
ketiga
Pilkada
gelombang ketiga sebentar lagi digelar, diawali 204 daerah, pada 2015.
Pembelajaran apa yang bisa dipetik agar demokrasi lokal naik kelas? Pertama,
kita perlu mendorong dan memberi kesempatan kepada beberapa orang baik
tampil. Pada titik ini, seruan patut diarahkan kepada pemimpin parpol agar
perekrutan transparan, demokratis, dan berongkos minimum. Parpol mesti punya
komitmen menyejahterakan warga lewat kehadiran pemimpin ideal. Sungguh tragis
jika calon dibebani pengeluaran amat besar. Uang penting, tetapi bukan
segala-galanya. Dalam konteks ini, kita patut mengapresiasi kehadiran Perppu
No 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Dalam Pasal 47
sudah diharamkan transaksi semacam itu. Tinggal mengonkretkan dan membuktikan
saja.
Kunci
kedua adalah partisipasi warga. Sebenarnya kita sudah memulai budaya politik
yang meriah dan menggairahkan. Semangat voluntarisme warga, seperti
ditunjukkan dalam Pilkada DKI Jakarta 2012 dan Pilpres 2014, sungguh menarik.
Perlu ditularkan pada setiap momen pilkada ke depan. Pendukung tidak hanya
sekadar memberi suara, tetapi juga menjadi relawan tangguh yang siap
berkorban tenaga, waktu ,dan materi untuk memenangkan calon pemimpin yang
dikehendakinya.
Warga
dan seluruh komponen harus punya komitmen meminimalkan pengeluaran para
kandidat, bukan malah sebaliknya. Tradisi buruk selama ini perlu direstorasi.
Tim sukses jangan jadi pegawai musiman, yang hanya bergerak kalau dibayar.
Organisasi kemasyarakatan dan keagamaan juga perlu menahan diri untuk tidak
memberatkan para kandidat dengan berbagai permintaan sumbangan ini-itu. Warga
pemilih jangan mau disuap, dibeli suaranya.
Kedua
variabel ini akan kian sempurna apabila penyelenggaraan pemilu berjalan
demokratis, jujur, dan adil.
Menurut
saya, pemimpin ideal hanya bisa dilahirkan kalau memenuhi empat variabel
utama. Pertama, tersedianya figur yang
kredibel dan kapabel. Kedua, proses perekrutan yang demokratis dan berongkos
minimum. Ketiga, tingginya partisipasi warga meminimalkan biaya politik
kandidat. Keempat, penyelenggaraan pemilu yang demokratis, jujur, dan adil.
Ketimpangan
satu
atau lebih dari keempat variabel itu akan berujung pada petaka demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar