Senin, 02 Desember 2013

Yogya Membaca Asia

Yogya Membaca Asia
Garin Nugroho  ;   Sutradara Film, Kolumnis “Udar Rasa” Kompas
KOMPAS,  01 Desember 2013

  

Sembilan tahun lalu, di sudut Yogya, puluhan anak muda berkumpul di sebuah rumah, mereka mempersiapkan sebuah festival film internasional. Uniknya setiap selesai pertemuan, mereka langsung menyebar ke warnet-warnet yang bertebaran di Yogya untuk berkomunikasi internasional karena rumah sekaligus kantor tersebut tidak mempunyai telepon dan komputer.

Namun, kini, para penggagas festival itu tumbuh menjadi manusia global, sebutlah Anggie-Cecep meraih film pendek terbaik Busan International Film Festival, Ifa meraih film terbaik FFI 2011, Ajish menjadi pemimpin produksi termasuk film Soekarno, Ismail membawa filmnya dari Rotterdam hingga berbagai festival, Damar bertumbuh menjadi programmer di berbagai film festival.

Catatan di atas adalah kisah awal dari Jogja Asia Film Festival (JAFF) yang akan berlangsung 2-7 Desember 2013. Catatan di atas menunjukkan salah satu ciri wajah kebangkitan Asia, yakni tumbuhnya komunitas-komunitas yang membangun organisasi dan ruang publik lokal-global sebagai ruang apreasi maupun proses kreasi.

Kisah lain yang lucu terjadi sewaktu Phillip Cheah-Singapura (kurator-penggagas JAFF ) bertemu sekitar 60 komunitas film di sebuah warung tenda nasi kucing. Sebuah jumlah yang tak terbayangkan jika berbanding luas kota. Kekagetan lainnya ketika melihat kenyataan setiap kali JAFF membuka volunter di dunia maya, hanya dalam sehari sudah tercatat lebih dari 100 pendaftar.

Harus dicatat, tumbuhnya masyarakat volunter di Asia menjadi dasar pertumbuhan masyarakat sipil yang terampil mengelola ruang-ruang pertumbuhan yang sering tak terjembatani oleh kondisi politik yang berkembang.

JAFF kali ini mengambil tema ”Altering Asia”. Tema yang menunjukkan upaya JAFF membaca dinamika Asia, sebutlah tema tahun sebelumnya bertajuk ”Diaspora Digital” hingga multikultur. Upaya membaca Asia bisa dirunut dalam film yang dikurasi. Sebutlah film pembuka Hanyut karya Uwe (Malaysia). Lewat karya yang diambil dari novel Conrad, terbaca sejarah awal tumbuhnya Malaysia atau bahkan Indonesia ketika sebutan ”Melayu” mulai dikenal di dunia. Lewat film Srilangka, terbaca konflik-konflik yang menyangkut separatisme menjadi ciri sudut- sudut Asia. Sementara lewat film - film box office Korea, terbaca bangunan industri kreatif dari negara garda depan budaya pop Asia ini.

Untuk membaca Asia dalam kebangsaan, JAFF juga membuat sesi khusus film-film berkait tokoh-tokoh bangsa seperti Ahmad Dahlan, Soegija, hingga Soekarno. Lewat forum ini terbaca gagasan kebangsaan serta kepemimpinan yang tidak lepas dari kondisi Asia pada awal kemerdekaan.

Sebuah festival senantiasa menuntut sebuah karakter. Ciri JAFF adalah menerbitkan buku berkait upaya membaca Asia. Tiga buku akan didiskusikan, yakni buku bertajuk Apa Itu Seni karya Bambang Soegiharto, buku Paradoks dan Krisis film Indonesia 1900-2013 (karya Garin dan Dyna) dan karya Hasan tentang sinema Malaysia. Buku-buku ini menunjukkan salah satu sejarah penting Asia, yakni dinamika multikultur seni, budaya pop, dan ruang kota dalam relasinya dengan politik. Sebutlah dinamika dialog pertumbuhan wayang, komedi stambul, hingga film.

Sewaktu menulis kolom ini, saya masih mengajar dan menjuri proposal dan presentasi anak-anak muda Asia ditalent campus FilmMex Tokyo Film festival. Sebuah forum anak muda film Asia untuk mendapatlan dukungan dana membuat film sekaligus pertemuan dengan organisasi funding, distributor, hingga produser internasional.

Yang menarik dari proposal yang ditawarkan, terasa membawa tema-tema persoalan penting Asia. Sebutlah sutradara Filipina membawa tema ”Kodokushi”, tentang orang-orang tua Jepang yang hidup sendiri dan mati telantar. Sutradara China menawarkan gejala sosial keluarga-keluarga Cina mengursuskan anak-anak menjadi pemain band. Atau juga Edward Gunawan- Indonesia menawarkan perjalanan dialog dua anak muda tentang tanggung jawab dan kebebasan di situasi sosial politik Papua.

Tema-tema ini merujuk isu-isu besar Asia: hiper-urbanisasi hingga post-sosialisme di tengah pertumbuhan generasi muda baru Asia. Saatnya kita membacanya secara sungguh-sungguh. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar