”When someone puts you down and treats you badly, just remember
there is something wrong with them, not you...Decent people will not go
around destroying other human beings because they will respect others
feelings!”
Internal+Eksternal=....
Itu adalah status seorang teman
di salah satu media sosial. Benar. Bahwa orang itu memang sebaiknya tidak
menyakiti, tetapi menghormati perasaan orang, seperti keinginan setiap
manusia, bahkan termasuk manusia yang sedang menyakiti orang lain.
Tetapi, benarkah setiap orang
mau berbuat baik? Mau menghormati perasaan orang? Ada yang tidak mau dan
ada yang tidak tahu kalau perbuatan mereka adalah sebuah bentuk menyakitkan
dan tidak menghormati sesamanya.
Saya bahas yang memiliki alasan
tidak mau. Dulu saya pikir ajaran agama, etika sosial, nilai yang
ditumbuhkan dalam keluarga dan sekolah mampu menjamin seseorang untuk tidak
berbuat jahat. Tetapi saya lupa, kalau manusia itu dikasih otak. Otak
adalah faktor internal, sementara pelajaran adalah faktor eksternal.
Gabungan faktor internal dengan
faktor eksternal yang akan menjadikan seseorang ingin berbuat baik atau
tidak. Pengalaman saya mengatakan, kalau porsinya lima puluh-lima puluh,
semuanya aman, orang mengatakan seimbang.
Manusia yang jahat dan enggan
berbuat tidak baik, menurut saya porsinya tidak lagi lima puluh-lima puluh.
Faktor internalnya akan mendominasi berbuat tidak hormat. Sehingga, faktor
eksternal yang mungkin sudah diberikan puluhan tahun lamanya berefek
sedikit atau tidak sama sekali.
Itu mengapa, ada orang yang
datang ke dukun sekitar dua belas tahun yang lalu untuk membuat hidup saya
sengsara. Saya tidak tahu alasannya kenapa, tetapi menurut teman saya, ia
iri terhadap saya.
Faktor eksternal mengajarkan
orang tidak boleh iri hati. Itu tidak baik. Yang baik adalah menerima
setiap berkah yang diberikan Tuhan, memberi maaf, sabar, harus mampu merasa
bahagia melihat orang lain bahagia.
Tetapi sayang seribu sayang,
otak manusia juga memiliki kemampuan yang tak kalah dahsyatnya sehingga
seseorang lebih berkeinginan memilih ke dukun daripada berlutut dan
mengatupkan tangan meminta kepada Tuhan agar melepaskan perasaan iri hati
dan menggantikannya dengan kemampuan untuk menerima kebahagiaan orang lain.
Muna
Sekarang saya bahas yang
alasannya tidak tahu. Tidak tahu itu ada dua jenis. Benar-benar tidak tahu
akibat yang akan dihadapi dengan yang pura-pura tidak tahu. Yang akan saya
bahas pertama adalah yang pura-pura tidak tahu.
Seorang suami berselingkuh.
Manusia normal di mana pun tahu bahwa berselingkuh itu tidak benar. Kalau
langkah awal saja disadari adalah sesuatu yang tidak benar, dan toh
tetap kekeuh dijalankan, itu namanya pura-pura tidak tahu.
Maka, bohonglah kalau di dunia
ini ada orang yang tidak tahu kalau risiko itu selalu berteman baik dengan
setiap perbuatan. Tetapi masalahnya, apakah mereka yang pura-pura tahu peduli?
Tidak. Itu mengapa mereka melakukan kesakitan yang nikmat.
Pura-pura tidak tahu biasanya
diawali dengan kondisi kesenangan sejenak atau keputusasaan sejenak. Dan,
mereka melihat ada solusi instan di hadapan mereka, dan menyambarnya dengan
pengetahuan bahwa itu akan berakibat buruk. Egois, adalah kata yang paling
tepat menggambarkan cerita saya yang ngalor-ngidul ini.
Sekarang saya membahas yang
benar-benar tidak tahu. Sejujurnya tidak ada kelompok benar-benar tidak
tahu. Sekali lagi, semua orang itu tahu ada risiko dalam hidup ini yang
harus dihadapi. Kalau saya kelompokkan menjadi kelompok benar-benar tidak
tahu, itu bukan mengelompokkan orang naif, tetapi orang yang salah
menghitung risiko.
Mereka pikir, dengan strategi
yang dipilih, orang lain tidak tahu akan perselingkuhan itu. Mereka lupa,
kalau di dunia ini ada yang namanya penyadapan. Dengan strategi yang
dipilih, mereka lupa, kalau perasaan mereka yang awalnya cuma mau bermain
api sekarang mereka sendiri terbakar.
Dengan strategi yang dipilih dan
menurut mereka sudah benar-benar masak dipikirkan, mereka kaget, kok
ternyata pasangan sahnya yang dahulu begitu menyebalkan sekarang berubah
dan ia bisa menikmatinya.
Salah perhitungan itulah yang
mengakibatkan perasaan orang lain alias korbannya menjadi tersakiti, merasa
tidak dihormati. Korbannya akan berpikir, enak di elo, kagak enak
di gue. Maka saya berpikir lagi, kalau saya tersakiti karena ulah
mereka, paling tidak itu sebuah pelajaran. Kan, katanya apabila seseorang
datang ke dalam kehidupan kita, hanya ada dua akibat yang ditinggalkan.
Pelajaran atau berkah.
Jadi berhadapan orang yang
menyakiti adalah macam pergi ke sekolah. Sekolah kehidupan. Sekolah yang
mengajarkan saya untuk lebih berhati-hati. Berhati-hati jatuh cinta,
berhati-hati sama mulut manis orang.
Berhati-hati bercerita tentang
kesuksesan bisnis saya supaya tidak memancing mereka untuk menggosipkan
kalau bisnis saya bangkrut dan pergi ke dukun. Dan yang terutama, sekolah
yang satu ini mengajarkan saya untuk memaafkan mereka yang menyakiti dan
menghancurkan perasaan saya. Nurani saya langsung nyamber. ”Muna banget sih ciin.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar