Senin, 02 Desember 2013

Sekolah Kehidupan

Sekolah Kehidupan
Samuel Mulia  ;   Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
KOMPAS,  01 Desember 2013
  


”When someone puts you down and treats you badly, just remember there is something wrong with them, not you...Decent people will not go around destroying other human beings because they will respect others feelings!”
Internal+Eksternal=....

Itu adalah status seorang teman di salah satu media sosial. Benar. Bahwa orang itu memang sebaiknya tidak menyakiti, tetapi menghormati perasaan orang, seperti keinginan setiap manusia, bahkan termasuk manusia yang sedang menyakiti orang lain.

Tetapi, benarkah setiap orang mau berbuat baik? Mau menghormati perasaan orang? Ada yang tidak mau dan ada yang tidak tahu kalau perbuatan mereka adalah sebuah bentuk menyakitkan dan tidak menghormati sesamanya.

Saya bahas yang memiliki alasan tidak mau. Dulu saya pikir ajaran agama, etika sosial, nilai yang ditumbuhkan dalam keluarga dan sekolah mampu menjamin seseorang untuk tidak berbuat jahat. Tetapi saya lupa, kalau manusia itu dikasih otak. Otak adalah faktor internal, sementara pelajaran adalah faktor eksternal.

Gabungan faktor internal dengan faktor eksternal yang akan menjadikan seseorang ingin berbuat baik atau tidak. Pengalaman saya mengatakan, kalau porsinya lima puluh-lima puluh, semuanya aman, orang mengatakan seimbang.

Manusia yang jahat dan enggan berbuat tidak baik, menurut saya porsinya tidak lagi lima puluh-lima puluh. Faktor internalnya akan mendominasi berbuat tidak hormat. Sehingga, faktor eksternal yang mungkin sudah diberikan puluhan tahun lamanya berefek sedikit atau tidak sama sekali.
Itu mengapa, ada orang yang datang ke dukun sekitar dua belas tahun yang lalu untuk membuat hidup saya sengsara. Saya tidak tahu alasannya kenapa, tetapi menurut teman saya, ia iri terhadap saya.

Faktor eksternal mengajarkan orang tidak boleh iri hati. Itu tidak baik. Yang baik adalah menerima setiap berkah yang diberikan Tuhan, memberi maaf, sabar, harus mampu merasa bahagia melihat orang lain bahagia.

Tetapi sayang seribu sayang, otak manusia juga memiliki kemampuan yang tak kalah dahsyatnya sehingga seseorang lebih berkeinginan memilih ke dukun daripada berlutut dan mengatupkan tangan meminta kepada Tuhan agar melepaskan perasaan iri hati dan menggantikannya dengan kemampuan untuk menerima kebahagiaan orang lain.

Muna

Sekarang saya bahas yang alasannya tidak tahu. Tidak tahu itu ada dua jenis. Benar-benar tidak tahu akibat yang akan dihadapi dengan yang pura-pura tidak tahu. Yang akan saya bahas pertama adalah yang pura-pura tidak tahu.

Seorang suami berselingkuh. Manusia normal di mana pun tahu bahwa berselingkuh itu tidak benar. Kalau langkah awal saja disadari adalah sesuatu yang tidak benar, dan toh tetap kekeuh dijalankan, itu namanya pura-pura tidak tahu.

Maka, bohonglah kalau di dunia ini ada orang yang tidak tahu kalau risiko itu selalu berteman baik dengan setiap perbuatan. Tetapi masalahnya, apakah mereka yang pura-pura tahu peduli? Tidak. Itu mengapa mereka melakukan kesakitan yang nikmat.

Pura-pura tidak tahu biasanya diawali dengan kondisi kesenangan sejenak atau keputusasaan sejenak. Dan, mereka melihat ada solusi instan di hadapan mereka, dan menyambarnya dengan pengetahuan bahwa itu akan berakibat buruk. Egois, adalah kata yang paling tepat menggambarkan cerita saya yang ngalor-ngidul ini.

Sekarang saya membahas yang benar-benar tidak tahu. Sejujurnya tidak ada kelompok benar-benar tidak tahu. Sekali lagi, semua orang itu tahu ada risiko dalam hidup ini yang harus dihadapi. Kalau saya kelompokkan menjadi kelompok benar-benar tidak tahu, itu bukan mengelompokkan orang naif, tetapi orang yang salah menghitung risiko.

Mereka pikir, dengan strategi yang dipilih, orang lain tidak tahu akan perselingkuhan itu. Mereka lupa, kalau di dunia ini ada yang namanya penyadapan. Dengan strategi yang dipilih, mereka lupa, kalau perasaan mereka yang awalnya cuma mau bermain api sekarang mereka sendiri terbakar.

Dengan strategi yang dipilih dan menurut mereka sudah benar-benar masak dipikirkan, mereka kaget, kok ternyata pasangan sahnya yang dahulu begitu menyebalkan sekarang berubah dan ia bisa menikmatinya.

Salah perhitungan itulah yang mengakibatkan perasaan orang lain alias korbannya menjadi tersakiti, merasa tidak dihormati. Korbannya akan berpikir, enak di elo, kagak enak di gue. Maka saya berpikir lagi, kalau saya tersakiti karena ulah mereka, paling tidak itu sebuah pelajaran. Kan, katanya apabila seseorang datang ke dalam kehidupan kita, hanya ada dua akibat yang ditinggalkan. Pelajaran atau berkah.

Jadi berhadapan orang yang menyakiti adalah macam pergi ke sekolah. Sekolah kehidupan. Sekolah yang mengajarkan saya untuk lebih berhati-hati. Berhati-hati jatuh cinta, berhati-hati sama mulut manis orang.

Berhati-hati bercerita tentang kesuksesan bisnis saya supaya tidak memancing mereka untuk menggosipkan kalau bisnis saya bangkrut dan pergi ke dukun. Dan yang terutama, sekolah yang satu ini mengajarkan saya untuk memaafkan mereka yang menyakiti dan menghancurkan perasaan saya. Nurani saya langsung nyamber. ”Muna banget sih ciin.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar