Senin, 02 Desember 2013

Kebudayaan : Antara Ikon dan Strategi

Kebudayaan : Antara Ikon dan Strategi
Bambang Sugiharto  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  01 Desember 2013



Kebudayaan—sebagai suatu sistem yang seolah tunggal dan pasti—adalah sebuah fiksi, kata ahli evolusi Ernst Becker, suatu rekaan, sesuatu yang sebetulnya sangat terikat pada kerangka wacana tertentu (discourse-specific). Ini tidak berarti bahwa tidak ada yang bernama kebudayaan; sebaliknya, justru ada terlampau banyak unsur yang dapat disebut sebagai kebudayaan.

Kebudayaan adalah sesuatu yang teramat kompleks dan bergerak terus sehingga membekukan dan menunggalkannya menjadi sistem dengan pola-pola yang jelas, apalagi menciutkannya menjadi sekadar semacam ’ikon-ikon kesenian yang khas’, adalah bagai menganggap hakikat air tak lebih dari es dalam kotak di kulkas. Kebudayaan adalah meta-language, kata Umberto Eco.

Persoalan semacam itu menyembul dalam aneka kerancuan persepsi ketika orang sibuk membicarakan kebudayaan sebagai isu sentral dalam World Culture Forum 2013 (WCF) di Bali (24-27 November 2013), yang dihadiri menteri dari sekitar 17 negara dan lebih dari 1.000 peserta dari 65 negara. 

Forum dunia yang diprakarsai Presiden SBY ini pada dasarnya diarahkan pada upaya mengangkat dan mengintegrasikan kekuatan kebudayaan dalam strategi Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development), terutama bagi agenda kebijakan global di PBB pasca-2015 mendatang.

Sentripetal vs sentrifugal

Ketika dalam pidato pembukaannya, Presiden SBY menekankan peran kebudayaan sebagai pendorong bagi perkembangan ekonomi dan sekaligus jembatan antara perkembangan ekonomi dan pelestarian lingkungan, pembicara kunci Amartya Sen menggarisbawahi pula peran kebudayaan sebagai agen perubahan, tetapi sekaligus mengingatkan bahwa sesungguhnya batas-batas kebudayaan bukanlah sesuatu yang jelas dan pasti; bahwa keunikan-keunikan dalam sebuah kebudayaan pun, dalam sejarahnya, umumnya terbentuk melalui interaksi dengan budaya lain; dan bahwa pembekuan identitas dalam kategori-kategori kultural tunggal cenderung terlalu simplistik, kadang menyembunyikan maksud glorifikasi diri atau tendensi hegemonik, dan karenanya berbahaya.

Baginya, siasat penunggalan identitas bisa melahirkan peta-peta konflik yang menyesatkan (seperti ’The Clash of Civilizations’ ala Huntington). Identitas manusia itu jamak, multiple. Manusia berafiliasi pada bermacam komunitas dan institusi. Siapa sesungguhnya kita tergantung pada afiliasi mana yang kita prioritaskan, dan harus kita rumuskan ulang setiap kali. 

Pembangunan macam apa yang kita inginkan pun harus merupakan pilihan kita sendiri kendati selalu dalam inter-relasi dengan yang lain. Maka, apabila targetnya adalah ’Pembangunan Berkelanjutan’, kebebasan rasional yang semakin mampu memilih dan menentukan sendiri itulah yang perlu dikembangkan.

Jurnalis CNN kondang Fareed Zakaria—pembicara kunci lain—juga mengingatkan bahwa sebenarnya tidak ada korelasi langsung antara kebudayaan dan perkembangan ekonomi. Kebudayaan selalu kompleks; unsur-unsur di dalamnya bisa menjadi pemicu, bisa juga menghambat perkembangan ekonomi. Kunci keberhasilan bagi perkembangan di berbagai negara (seperti China dan India) sebenarnya adalah kecintaan dan penghormatan pada pengetahuan, keterbukaan untuk belajar terus dari pihak mana pun. Dalam situasi saat ini, Barat dan non-Barat nyatanya sudah sedemikian bercampur-baur. Yang perlu dilakukan bukanlah sikap defensif, melainkan, melalui interaksi dan dialog dengan segala pihak yang lain itu, kita tetap mencari unsur-unsur kultural kita sendiri yang dapat digunakan untuk memperkaya dan menerangi proses perkembangan yang kita kehendaki.

Tampak di sini tegangan antara tendensi sentripetal yang berkecenderungan menggali kembali khazanah kearifan budaya lokal, dan tendensi sentrifugal dari para pemikir (termasuk Goenawan Mohamad, Radhar Panca Dahana, dan sebagainya), yang lebih berfokus pada pentingnya penglihatan kritis atas kompleksitas budaya, gerak dinamisnya dalam interaksi ke luar, beserta aneka pretensi tersembunyi di balik klaim-klaimnya.

Komitmen gerak dari bawah

Terlepas dari tegangan itu, hal yang menarik adalah bahwa WCF telah melahirkan kesepakatan dalam rupa pernyataan ”BALI PROMISE”, yang merekomendasikan kebudayaan sebagai hal pokok yang mendorong, memungkinkan, dan memperkaya (driver, enabler and enricher) strategi pembangunan berkelanjutan. Di dalamnya, sembilan butir rincian yang direkomendasikan mencakup antara lain: membangun kerangka etis dan model partisipatoris bagi demokrasi kultural, menjernihkan konsep tentang jender beserta kesetaraannya, menumbuhkan budaya perdamaian, mendukung kepemimpinan kaum muda dalam upaya-upaya kultural, mempromosikan pengetahuan lokal dalam menyikapi masalah lingkungan, membangun kemitraan antara sektor publik dan sektor privat, serta memberdayakan masyarakat sipil.

Semangat pokok yang terlihat di sana bukan saja bahwa World Culture Forum ini hendak menengahi tegangan antara World Economic Forum dan World Social Forum sambil mengangkat isu mendasar (budaya) yang selama ini diabaikan dalam kebijakan global, melainkan terutama bahwa ia hendak mewadahi gerakan dari bawah, dari masyarakat, khususnya generasi masa depan.

Namun, apabila benar bahwa masalah kultural hari ini sebenarnya adalah kemampuan kritis rasional untuk menentukan sendiri perkembangan yang kita kehendaki dalam interaksi kultural yang kian tanpa batas ini, maka sebenarnya isu ’pendidikan’ dalam arti keterbukaan untuk belajar dari segala sumber adalah sentral. Dan, negeri ini persis sedang mengalami kebalikannya, yaitu bahaya ketertutupan, kenaifan, dan kepicikan, akibat budaya juga: khususnya budaya etnis, religius, ataupun konsumeris. Maka, kebudayaan perlu dilihat sebagai ’strategi’, alih-alih sekadar ”ikon”. Ini perlu menjadi topik penting dalam WCF di Bali berikutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar