Kebudayaan—sebagai suatu sistem
yang seolah tunggal dan pasti—adalah sebuah fiksi, kata ahli evolusi Ernst
Becker, suatu rekaan, sesuatu yang sebetulnya sangat terikat pada kerangka
wacana tertentu (discourse-specific).
Ini tidak berarti bahwa tidak ada yang bernama kebudayaan; sebaliknya,
justru ada terlampau banyak unsur yang dapat disebut sebagai kebudayaan.
Kebudayaan adalah sesuatu yang
teramat kompleks dan bergerak terus sehingga membekukan dan menunggalkannya
menjadi sistem dengan pola-pola yang jelas, apalagi menciutkannya menjadi
sekadar semacam ’ikon-ikon kesenian yang khas’, adalah bagai menganggap
hakikat air tak lebih dari es dalam kotak di kulkas. Kebudayaan
adalah meta-language, kata Umberto Eco.
Persoalan semacam itu menyembul
dalam aneka kerancuan persepsi ketika orang sibuk membicarakan kebudayaan
sebagai isu sentral dalam World Culture Forum 2013 (WCF) di Bali (24-27
November 2013), yang dihadiri menteri dari sekitar 17 negara dan lebih dari
1.000 peserta dari 65 negara.
Forum dunia yang diprakarsai Presiden SBY ini
pada dasarnya diarahkan pada upaya mengangkat dan mengintegrasikan kekuatan
kebudayaan dalam strategi Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development), terutama bagi agenda kebijakan global
di PBB pasca-2015 mendatang.
Sentripetal vs sentrifugal
Ketika dalam pidato
pembukaannya, Presiden SBY menekankan peran kebudayaan sebagai pendorong
bagi perkembangan ekonomi dan sekaligus jembatan antara perkembangan
ekonomi dan pelestarian lingkungan, pembicara kunci Amartya Sen
menggarisbawahi pula peran kebudayaan sebagai agen perubahan, tetapi
sekaligus mengingatkan bahwa sesungguhnya batas-batas kebudayaan bukanlah
sesuatu yang jelas dan pasti; bahwa keunikan-keunikan dalam sebuah
kebudayaan pun, dalam sejarahnya, umumnya terbentuk melalui interaksi
dengan budaya lain; dan bahwa pembekuan identitas dalam kategori-kategori
kultural tunggal cenderung terlalu simplistik, kadang menyembunyikan maksud
glorifikasi diri atau tendensi hegemonik, dan karenanya berbahaya.
Baginya, siasat penunggalan
identitas bisa melahirkan peta-peta konflik yang menyesatkan (seperti ’The Clash of Civilizations’ ala
Huntington). Identitas manusia itu jamak, multiple. Manusia
berafiliasi pada bermacam komunitas dan institusi. Siapa sesungguhnya kita
tergantung pada afiliasi mana yang kita prioritaskan, dan harus kita
rumuskan ulang setiap kali.
Pembangunan macam apa yang kita inginkan pun
harus merupakan pilihan kita sendiri kendati selalu dalam inter-relasi
dengan yang lain. Maka, apabila targetnya adalah ’Pembangunan
Berkelanjutan’, kebebasan rasional yang semakin mampu memilih dan
menentukan sendiri itulah yang perlu dikembangkan.
Jurnalis CNN kondang Fareed
Zakaria—pembicara kunci lain—juga mengingatkan bahwa sebenarnya tidak ada
korelasi langsung antara kebudayaan dan perkembangan ekonomi. Kebudayaan
selalu kompleks; unsur-unsur di dalamnya bisa menjadi pemicu, bisa juga
menghambat perkembangan ekonomi. Kunci keberhasilan bagi perkembangan di
berbagai negara (seperti China dan India) sebenarnya adalah kecintaan dan
penghormatan pada pengetahuan, keterbukaan untuk belajar terus dari pihak
mana pun. Dalam situasi saat ini, Barat dan non-Barat nyatanya sudah
sedemikian bercampur-baur. Yang perlu dilakukan bukanlah sikap defensif,
melainkan, melalui interaksi dan dialog dengan segala pihak yang lain itu,
kita tetap mencari unsur-unsur kultural kita sendiri yang dapat digunakan
untuk memperkaya dan menerangi proses perkembangan yang kita kehendaki.
Tampak di sini tegangan antara
tendensi sentripetal yang berkecenderungan menggali kembali khazanah
kearifan budaya lokal, dan tendensi sentrifugal dari para pemikir (termasuk
Goenawan Mohamad, Radhar Panca Dahana, dan sebagainya), yang lebih berfokus
pada pentingnya penglihatan kritis atas kompleksitas budaya, gerak
dinamisnya dalam interaksi ke luar, beserta aneka pretensi tersembunyi di
balik klaim-klaimnya.
Komitmen gerak dari bawah
Terlepas dari tegangan itu, hal
yang menarik adalah bahwa WCF telah melahirkan kesepakatan dalam rupa
pernyataan ”BALI PROMISE”, yang merekomendasikan kebudayaan sebagai hal
pokok yang mendorong, memungkinkan, dan memperkaya (driver, enabler and enricher) strategi pembangunan
berkelanjutan. Di dalamnya, sembilan butir rincian yang direkomendasikan
mencakup antara lain: membangun kerangka etis dan model partisipatoris bagi
demokrasi kultural, menjernihkan konsep tentang jender beserta
kesetaraannya, menumbuhkan budaya perdamaian, mendukung kepemimpinan kaum
muda dalam upaya-upaya kultural, mempromosikan pengetahuan lokal dalam
menyikapi masalah lingkungan, membangun kemitraan antara sektor publik dan
sektor privat, serta memberdayakan masyarakat sipil.
Semangat pokok yang terlihat di
sana bukan saja bahwa World Culture
Forum ini hendak menengahi tegangan antara World Economic Forum dan World
Social Forum sambil mengangkat isu mendasar (budaya) yang selama ini
diabaikan dalam kebijakan global, melainkan terutama bahwa ia hendak
mewadahi gerakan dari bawah, dari masyarakat, khususnya generasi masa
depan.
Namun, apabila benar bahwa
masalah kultural hari ini sebenarnya adalah kemampuan kritis rasional untuk
menentukan sendiri perkembangan yang kita kehendaki dalam interaksi
kultural yang kian tanpa batas ini, maka sebenarnya isu ’pendidikan’ dalam
arti keterbukaan untuk belajar dari segala sumber adalah sentral. Dan,
negeri ini persis sedang mengalami kebalikannya, yaitu bahaya ketertutupan,
kenaifan, dan kepicikan, akibat budaya juga: khususnya budaya etnis,
religius, ataupun konsumeris. Maka, kebudayaan perlu dilihat sebagai
’strategi’, alih-alih sekadar ”ikon”. Ini perlu menjadi topik penting dalam
WCF di Bali berikutnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar